Siang yang begitu panas, Kirana kembali ke rumahnya. Kirana masuk ke dalam rumahnya, dan menemui Ibunya yang masih terbaring lemah di atas kasur tipis dengan selimut yang menutupi tubuhnya wanita paruh baya itu.
Kirana menangis dengan keras hingga Ibunya terbangun dari tidurnya. Kedua matanya terbuka dan mendengar suara Kirana sesegukan menangis di samping tubuh Ibunya yang lemah itu.
"Kiran? Pulang tidak mengucapkan salam?" ucap Ibundanya dengan suara lirih.
Tangannya sang Ibu ingin menggapai kepala Kirana agar bisa mengusapnya pelan.
Kirana menatap sendu wajah Ibunya yang semakin hari semakin lemah tidak berdaya.
"Assalamu'alaikum, Kiran pulang Bu, maaf Kiran melupakan salam karena Kiran sedang bersedih," ucap Kiran pelan. Kedua matanya sudah basah karena cucuran air mata yang begitu deras.
"Waalaikumsalam, ada apa Kiran? Kenapa harus sampai menangis seperti itu? Ada masalah? Bukankah hari ini hari kelulusan Kiran? Bagaimana, selalu menjadi juara umum kan?" ucap Ibu Asih pelan dan terbata-bata.
Kiran memeluk Ibunya dengan sangat erat, lalu menangis lagi sejadi-jadinya hingga seluruh kerudung dan pakaian seragamnya basah karena air mata.
"Kamu kenapa Kiran? Cerita pada Ibu?" tanya Ibu Asih dengan penuh kelembutan.
Kiran menggelengkan kepalanya di bahu Ibunya, rasanya dunia Kiran ingin berhenti begitu saja. Hari yang begitu pahit setelah semua kerja keras tidak ada artinya lagi.
'Bolehkah Kiran marah dengan Allah SWT atas takdir ini?' batin Kiran di dalam hati.
"Kiran? Ada apa sebenarnya?" tanya Ibu Asih pelan sambil mengusap kepala Kiran yang tertutup hijab putih.
"Kiran memang lulus, tapi Kiran tidak mendapat nilai tertinggi sesuai keinginan Bapak. Kiran tidak bisa melanjutkan kuliah, Bu," ucap Kiran dengan lirih. Suaranya pelan tertutup dengan tangisannya hingga terdengar terbata-bata.
Ibu Asih tersenyum lalu menangkup wajah Kiran dengan satu tangannya. Tubuhnya yang lemah dan terasa sakit sudah tidak dirasa lagi, karena kebahagiaannya mendengar Kiran sudah lulus, walaupun bukan dengan nilai tertinggi tapi sudah memberikan yang terbaik untuk diri Kiran sendiri atas jerih payahnya selama ini belajar dengan sungguh-sungguh.
Kiran menatap wajah Ibunya dengan heran.
"Ibu tidak marah? Ibu tidak kecewa? Ibu tidak menangis?" tanya Kiran kepada Ibu Asih yang tersenyum manis kepadanya.
Ibu Asih menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Untuk apa? Apakah ada untungnya jika Ibu menangis? Jika Ibu harus kecewa? Jika Ibu marah? Ibu malah bangga dengan Kiran yang selalu berusaha keras belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan ujian nasional dengan baik. Adapun hasilnya, itu yang harus kita syukuri bukan disesali karena ini dan itu, cobalah menerima suatu keadaan yang sudah diberikan oleh Allah SWT, mungkin itu yang terbaik buat kita karena Allah SWT telah meridhoi bila jalannya seperti itu," ucap Ibu Asih dengan pelan menjelaskan.
Kiran menegakkan duduknya dan mengusap wajahnya dengan ujung hijabnya. Menatap Ibu Asih yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya seolah menjadi cambuk tersendiri bagi Kiran.
"Bapak kemana Bu?" tanya Kiran pelan mencari sosok Bapak Arif.
Keluarga Kiran adalah keluarga yang sangat sederhana, dan Kiran adalah anak tunggal dari pasangan Bapak Arif dan Ibu Asih.
Bapak Arif seorang guru ngaji di kampungnya, terobsesi memiliki anak yang rajin, cerdas dan pintar. Didikan Bapak Arif selalu keras dalam hal belajar, entah pelajaran sekolah ataupun belajar mengaji. Kirana Hapsari, adalah putri semata wayang yang berhasil dididik sesuai dengan keinginan Bapak Arif, ditambah lagi Kiran memang memiliki tingkat kecerdasan diatas rata-rata.
Kembali lagi dengan yang namanya ridho Allah SWT, jalan takdir yang sudah tertulis untuk kita.
"Tadi pamit untuk mengajar di kampung sebelah," ucap Ibu Asih pelan.
"Ibu sudah makan?" tanya Kiran pelan.
Ibu Asih menggelengkan kepalanya pelan.
"Sepertinya Bapak tidak memiliki uang untuk membeli bahan makanan," ucap Ibu Asih pelan menyembunyikan rasa sedihnya dari hadapan Kiran dengan memejamkan kedua matanya.
Kiran beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur sempit itu untuk mencari bahan makanan yang bisa diolah untuk makan Ibu Asih.
Sepuluh menit berada di dapur, Kiran tidak menemukan apapun disana, beras tidak ada, bahan-bahan makanan lain pun juga tidak ada.
Kiran menatap sedih dengan keadaannya, baru sekarang Kiran perduli dengan kehidupannya. Biasanya Kiran tida memperdulikan, tugasnya hanya belajar, belajar dan belajar saja. Semua tugas dirumah sudah beres oleh Bapaknya karena Ibunya sakit keras.
Kiran masuk kembali ke dalam kamar Ibu Asih.
"Dirumah tidak ada apa-apa, lalu bagaimana ini, Bu?" tanya Kiran pelan kepada Ibunya.
Tidak seperti biasanya, Bapak selalu meninggalkan makanan untuk Istri dan anaknya walaupun hanya nasi dan kerupuk. Kiran tidak pernah mengeluh dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan itu. Bisa bersekolah di SMA BAKTI sebagai SMA favorit saja sudah menjadi kebanggaan tersendiri bagi Kiran.
Kiran masuk ke dalam kamar tidurnya, hanya ada kasur lantai yang tipis dan sudah lusuh. Satu lemari pakaian yang terbuat dari bambu buatan Bapak Arif dan meja tulis yang penuh dengan tumpukan buku.
Selama ini, Kiran tidak pernah membawa bekal berupa uang ke sekolah, Kiran hanya membawa air minum didalam botol minum kesayangannya.
Kiran duduk di kasur lantai itu sambil memeluk bantal tipis yang sudah tidak layak dipakai lagi.
'Apa gunanya buku-buku ini saat ini, apakah bisa aku jual untuk membeli makanan dan obat untuk Ibu Asih,' batin Kiran dalam hati.
Kiran dengan segera mengganti pakaian seragamnya dengan rok panjang dan kaos berlengan panjang, tidak lupa hijab instant yang menutup hingga bagian perutnya.
Buku-buku tulisnya ditumpuk menjadi satu dan dimasukkan ke dalam kardus bekas.
Kiran berpamitan pada sang Ibu yang sedang beristirahat lalu pergi ke tempat pasar loak dekat jalan raya di ujung desa tempat tinggalnya.
"Assalamu'alaikum, Pak, mau jual buku-buku bekas bisa?" tanya Kirana pelan kepada salah satu pekerja pasar loak itu.
"Waalaikumsalam, bisa neng, tapi lihat dulu ya, itu putih apa buram, harus dipisah karena harganya juga beda," ucap pemilik pasar loak itu.
Satu pekerjanya mengambil kardus yang dibawa Kiran untuk dicek dan ditimbang.
"Ini uangnya neng," ucap pemilik pasar loak itu.
Kiran menerima uang puluhan sebanyak dua lembar. Nominalnya memang kecil, bahkan seperti tidak berarti. Tapi bagi Kiran, uang dengan nominal segitu bisa untuk digunakan makan selama dia hari.
Kiran meninggalkan pasar loak itu dan membawa dua puluhan uang itu untuk membeli beras dan bahan-bahan makanan lainya untuk dijadikan lauk.
Jarak tempuh dengan berjalan kaki kira-kira setengah jam saja untuk pulang dan pergi.
Sebelum sampai di rumah, Kiran mampir ke sebuah warung untuk membeli beras dan telur untuk menyuapi Ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Cinta Suci
ah sedih bngd deh
2022-12-25
0
Taufiq Saparudin
🤧
2022-11-16
1
Lela Lela
kasian kirana
2022-11-15
1