Ibu Asih memberanikan diri untuk mengutarakan seluruh isi hatinya kepada Syakir. Beban beratnya akan ditumpahkan pada hari ini juga.
"Janji pada Ibu, untuk menyimpan seluruh rahasia ini," ucap Ibu Asih pelan kepada Syakir.
"Syakir berjanji Bu, Syakir akan menyimpan rahasia Ibu untuk selamanya," ucap Syakir meyakinkan Ibu Asih.
Ibu Asih mulai menceritakan kehidupannya dimasa lalu, saat semuanya belum berubah drastis seperti sekarang ini. Ada hikmah dibalik semua ujian yang diterima keluarga kecilnya ini, hingga tetap kuat dan tabah dalam menjalaninya.
"Kehidupan kami sewaktu awal menikah tidak seperti ini, Ibu menyukai Bapak karena Bapak adalah seorang pekerja keras. Cinta yang membutakan segalanya hingga kami berdua memutuskan untuk menikah. Restu dari kedua orang tua kedua belah pihak sudah didapat, namun keluarga Ibu masih kurang merestui pernikahan itu dengan sebab kasta. Ibu dan Bapak nekat menjalani kehidupan yang penuh kerumitan ini, namun kami berdua senantiasa sabar hingga kami memiliki Kirana. Semenjak Kirana lahir, Bapak menjadi berubah sikap, lebih posesif, protektif, ambisius dan terlalu terobsesi untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal alasannya adalah faktor sakit hati dengan keluarga Ibu yang menuntut banyak hal dari Bapak," ucap Ibu Asih dengan pelan.
Air matanya kembali menetes luruh ke pipinya, mengingat kembali kejadian belasan tahun yang lalu.
Syakir mengusap air mata Ibu Asih dengan kain yang ada di samping kasur. Dengan pelan air mata itu dihapus agar tidak berbekas.
"Lalu?" tanya Syakir dengan lembut kepada Ibu Asih.
"Sejak Kirana masuk sekolah lanjutan tingkat pertama, awal mula perubahan sikap Bapak kepada keluarga terutama kepada Kirana. Bapak selalu menuntut Kirana menjadi anak yang selalu unggul dalam segala bidang. Kirana harus belajar, belajar dan belajar sampai suatu hari Kirana jatuh sakit saat mendapatkan nilai tidak sempurna dan dikurung dikamar belakang," ucap Ibu Asih menjelaskan.
Syakir masih menatap lembut ke arah Ibu asih, masih mencari tahu tentang keluarganya terutama tentang Kirana. Kesederhanaan dan kesholehan Kirana telah mencuri hati Syakir selama beberapa bulan terakhir ini sejak kepindahannya ke kampung ini.
"Lalu bagaimana kondisi Kirana saat itu?" tanya Syakir pelan masih memegang tangan Ibu Asih dengan erat.
Tangan itu semakin dingin dan tidak membalas genggaman Syakir.
"Bapak seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda, terkadang memiliki sifat buruk yang menyiksa batin Kirana dengan keinginan konyolnya, namun terkadang menjadi Bapak yang baik, peduli dengan keluarga, penyayang dan pekerja keras. Ibu tidak tahu apa yang akan terjadi bila Bapak mengetahui Kirana lulus bukan dengan nilai tertinggi," ucap Ibu Asih pelan.
"Ibu Asih, Syakir cukup mengerti dan paham, apa yang Ibu Asih jelaskan pada Syakir. Syakir akan amanah menjaga Kirana apapun resikonya," ucap Syukur dengan mantap meyakinkan.
"Kamu yakin dengan ucapannya itu? Syakir kamu hanyalah anak sekolah yang baru saja lulus dan akan meneruskan pendidikanmu untuk menggapai cita-citanu menjadi seorang dokter. Dengan cara apa kamu akan menjaga Kirana?" tanya Ibu Asih menyelidik.
Syakir tersenyum lebar, dirinya paham dengan maksud pertanyaan Ibu Asih.
"Dengan doa dan lewat doa, hanya itu yang Syakir bisa lakukan saat ini. Nama Kirana akan Syakir pinjam untuk disebut selalu di sepertiga malam," ucap Syakir pelan.
Ibu Asih tersenyum sangat manis, senyum yang sejak tadi tidak pernah terbit dari wajahnya yang masih terlihat cantik.
Kedua mata Ibu Asih semakin lama mulai terpejam dan seluruh tubuhnya mulai dingin. Syakir menyadari ada yang aneh langsung memegang denyut nadi Ibu Asih yang sudah tidak terasa denyutnya.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un ..." ucap Syakir pelan, kedua matanya basah secara tiba-tiba.
Senyum manis Ibu Asih yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup Syakir. Amanah yang diberikan kepadanya tidaklah sulit namun berat untuk dijalani.
"Ibu, Kirana buatkan sup dan telur untuk Ibu," ucap Kirana dari ruang tengah dengan suara yang keras sambil membawa piring berisi nasi dan sup serta teh manis panas untuk Ibu Asih.
Kirana masuk ke dalam kamar dengan rona bahagia. Seumur hidupnya baru hari ini Kirana memasak dengan tangannya sendiri, walaupun Kirana tidak yakin dengan hasilnya, minimal Kirana sudah pernah mencoba membuatnya.
Saat Kirana masuk ke dalam kamar, Kirana mendengar Syakir mengucapkan kata Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un dengan lirih, namun masih terdengar oleh Kirana. Tangan Kirana gemetar, piring dan gelas yang dipegangnya jatuh ke lantai dan pecah, isinya pun berhamburan dan berceceran di lantai.
"Ibu!!" teriak Kirana dengan suara yang sangat keras.
Kirana berlari dan menubruk tubuh ibu Asih yang sudah mulai dingin dan sedikit kaku. Tubuh Ibunya di goyang-goyang agar terbangun kembali, namun kedua mata Ibunya tetap terpejam dan tidak membuka sama sekali.
Tangisan Kirana begitu keras dan sangat kencang hingga memenuhi seluruh ruangan kamar sempit itu.
Syakir menatap ke arah Kirana yang merubuhkan kepalanya di atas perut Ibu Asih, tangisannya tidak mau berhenti, wajahnya sudah penuh leleran air mata dan cairan dari hidung yang bercampur menjadi satu.
Syakir berdiri dan mendekati Kirana mengangkat bahu gadis itu dengan pelan.
Gadis itu meronta dan menolak untuk menegakkan tubuhnya. Kirana terus saja meraung-raung di atas tubuh Ibu Asih, sesekali mengeratkan kedua tangannya pada tayangan Ibu Asih.
"Kirana, sudah cukup. Percuma kamu menangisi Ibu Asih yang sudah tiada lebih baik kamu doakan saja Ibu Asih," ucap Syakir pelan kepada Kirana yang masih kacau dengan pikirannya.
Baru saja Kirana terbebani dengan masalah kelulusannya yang tidak mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya, dan kini harus kehilangan Ibunya yang selama ini membelanya dan memberikan motivasi positif untuk Kirana pada hari yang sama dengan waktu yang hampir bersamaan pula.
Syakir memberanikan diri memeluk Kirana, dengan menarik gadis itu untuk menyandarkan kepalanya di dada Syakir.
"Menangislah bersamaku, luapkan semua emosimu dan lupakan semua beban yang memberatkanmu. Ada aku disini Kiran," ucap Syakir dengan suara pelan dan lirih tepat di dekat telinga Kiran.
Kiran memukul dada Syakir berulang kali, rasanya masih belum bisa dipercaya. Ibu Asih Zura ibundanya seolah masih hidup dan hanya tertidur dengan pulas.
Syakir menyandarkan Kiran ke dinding kamarnya yang dingin.
"Kiran, aku ingin mencari ustad dan beberapa tetangga untuk mengurus jenazah Ibu Asih agar segera di kebumikan, karena hari semakin sore," ucap Syakir dengan suara pelan.
Kiran hanya mengangguk pelan, kedua matanya masih tertuju pada jenazah Ibundanya.
'Bolehkah Kiran marah Ya Allah? Bolehkah Kiran menangisi takdir Kiran?' batin Kiran di dalam hatinya.
Syakir sudah beranjak ke luar rumah Kiran dan memanggil ustad dan beberapa tetangga untuk membantunya mengurus jenazah ibu Asih untuk segera dikebumikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Cinta Suci
tunggu suaminya lah
2022-12-25
0
Taufiq Saparudin
koq sedih gini🤧😭
2022-11-16
1
Lela Lela
Duuh kasiann kirani
2022-11-15
1