Kirana kembali ke rumahnya setelah membeli beberapa kebutuhan pokok dengan uang yang ada.
"Kirana?" panggil Syakir dari tetas rumahnya saat Kirana melewati rumah Nenek Syakir.
Kirana menoleh ke arah Syakir dan tersenyum ramah. Syakir berlari ke arah jalan untuk menemui Kirana.
"Kamu dari mana Kirana?" tanya Syakir pelan kepada Kirana.
"Kiran habis belanja Syakir, untuk Ibu," ucap Kiran pelan.
"Kiran mau melanjutkan kuliah dimana?" tanya Syakir pelan menatap wajah Kiran yang langsung berubah sedih saat Syakir menanyakan tentang kuliahnya.
Kiran menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Kiran tidak melanjutkan kuliah Syakir, mungkin Kiran akan bekerja saja membantu mencari nafkah," ucap Kiran dengan suara lirih.
"Boleh Syakir mengantar Kiran sampai rumah, Syakir ingin berkenalan dengan orang tua Kiran," ucap Syakir lembut.
"Untuk apa? Bapak tidak ada, Ibu Kiran sakit dan hanya berada di atas kasur," ucap Kiran melemah.
Syakir tersenyum manis, Kiran adalah sosok gadis sholehah dan penurut. Setiap hari Nenek Syakir bercerita tentang Keluarga Bapak Arif, tidak lain Bapak Kiran.
Kegigihan Bapak Arif dalam mencari nafkah untuk membiayai sekolah Kiran dan pengobatan sang Istri. Alasan itu yang membuat obsesi Bapak Arif menuntut Kiran untuk menjadi yang terbaik.
"Ayahku seorang dokter Kiran, biarkan Syakir melihat kondisi Ibu Asih secara langsung," ucap Syakir pelan meyakinkan.
Kiran tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Baiklah bila itu demi kesembuhan Ibu, silahkan datang dan temui Ibu," ucap Kiran dengan lembut.
Kiran dan Syakir berjalan beriringan menuju rumah Kiran yang sederhana. Rumah mereka hanya berbeda sekitar lima rumah saja, namun pertemuan itu mempunyai arti yang sangat berarti bagi keduanya.
Mereka bukan teman dekat di sekolah, hanya saling mengamati dan sekedar tahu, dipertemukan saat berada di depan lapangan sebagai murid teladan dan murid terbaik dengan nilai tertinggi, namun asa salah satu dari keduanya harus terhenti karena sebuah janji.
"Assalamu'alaikum, Ibu, ada Syakir teman Kiran," ucap Kiran pelan langsung memasuki kamar Ibu Asih.
Syakir ikut mengucapkan salam dan masuk ke dalam kamar tidur Ibu Asih mengikuti Kirana.
"Waalaikumsalam, Kiran? Halo Syakir," ucap Ibu Asih lirih sambil melambaikan tangan kanannya. Tatapannya sendu melihat keduanya masuk ke kamar Ibu Asih.
"Ini Syakir Bu, Cucu Nenek Sugondo, putra semata wayangnya Bunda Ayu dan Ayah Basith," ucap Kiran menjelaskan dengan pelan.
Syakir menoleh ke arah Kirana yang masih menatap lekat kedua mata Ibunya.
"Kamu tahu Syakir itu siapa? Hapal dengan kedua orang tuaku?" tanya Syakir pelan kepada Kirana.
Kirana menoleh ke arah Syakir dan tersenyum.
"Siapa yang tidak mengenalmu dan keluargamu Syakir," ucap Kirana pelan.
"Keluargaku sederhana Kiran, jangan kamu anggap berbeda dengan yang lain," ucap Syakir lembut.
"Syakir, Ibu, Kiran mau membuatkan makan siang untuk Ibu. Kiran tinggal sebentar," ucap Kiran pelan lalu beranjak dari duduknya menuju dapur untuk memulai mengolah bahan-bahan makanan yang tadi dibelinya.
Syakir berdua dengan Ibu Asih, saling bertanya dan berbagi cerita. Syakir yang dewasa dengan segala pemikirannya memiliki sikap yang lembut dan bijak.
"Syakir teman sekolah Kiran?" tanya Ibu Asih pelan dan lembut menatap Syakir.
Syakir mengangguk pelan.
"Betul sekali, Syakir teman sekolah Kiran, Syakir baru saja pindah ke sekolah Kiran beberapa bulan yang lalu, tapi kini Syakir harus kembali ke Bandung untuk kuliah kedokteran disana," ucap Syakir pelan menjelaskan.
Ibu Asih tersenyum.
"Selamat ya Syakir, semoga cita-citamu bisa terwujud tanpa halangan apapun dan Allah SWT meridhoi perjalanan hidup dan karirmu," ucap Ibu Asih pelan sambil terbatuk-batuk yang ditutup dengan selembar kain.
Kain itu langsung ditutup agar tidak terlihat oleh Syakir, namun sisa darah dari mulutnya menempel pada bibir Ibu Asih.
"Ibu sebenarnya sakit apa?" tanya Syakir lembut sambil memegang tangan Ibu Asih.
Ibu Asih hanya tersenyum dengan wajah sendu.
"Hanya sakit biasa, mungkin masuk angin," ucap Ibu Asih berbohong. Nadanya lirih dan melemah.
Syakir menatap lekat kedua mata Ibu Asih dan mengeratkan genggaman pada tangan wanita paruh baya itu.
"Ibu Asih bisa saja membohongi Bapak Arif dan Kirana, tapi tidak dengan Syakir. Ibu Asih memiliki penyakit serius, batuk dengan darah menggumpal itu bukan sakit ringan, itu penyakit kronis," ucap Syakir pelan dan lembut dekat telinga Ibu Asih.
Sakit dengan mendekatkan wajahnya ke arah wajah sendu wanita paruh baya yang lemah itu.
Ibu Asih menangis, air matanya dengan mudah sudah mengalir deras, rasanya sudah tidak kuat menahan sakit dan ingin lepas dari rasa sakit ini.
"Jangan katakan apapun pada Kirana, Ibu tidak ingin Kirana terbebani dengan penyakit Ibu. Sudah cukup hari ini Kirana menangis dan mengadukan kekecewaannya karena tidak bisa mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya. Impiannya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi pun hilang seketika. Kirana adalah gadis penurut, sifat ambisiusnya terdidik dari Bapak Arif yang selalu menuntut Kirana harus menjadi yang terbaik di manapun juga sejak kecil," ucap Ibu Asih pelan menjelaskan.
Syakir mengangguk pelan tanda paham dan mengerti apa yang dijelaskan oleh Ibu Asih.
"Ibu tahu siapa yang mendapatkan nilau tertinggi di sekolahnya?" tanya Syakir menyelidik.
Ibu Asih menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Kirana tidak bercerita, dan Ibu juga tidak perlu tahu. Menurut Ibu, ini semua sudah kehendak Allah SWT, apapun yang terjadi pada kita itulah yang terbaik untuk kita," ucap Ibu Asih pelan.
Satu tangan Ibu Asih memegang bagian dadanya yang terasa sakit dan sesak, namun tetap ditahan dan tetap bertahan demi Kirana.
"Ibu Asih sesak?" tanya Syakir melihat Ibu Asih dengan napas yang sudah terlihat sulit.
Ibu Asih tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Jaga Kirana untuk Ibu, jauhkan Kirana dari Bapak Arif. Ibu tidak tega Kirana selalu disiksa karena tidak bisa mendapatkan yang terbaik di sekolahnya," ucap Ibu Asih pelan menjelaskan.
"Sebenarnya ada apa Ibu, bisa ceritakan pada Syakir? Insha Allah, Syakir akan amanah menjaga Kirana untuk Ibu Asih. Ceritakan ada apa sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Syakir pelan dengan rasa penasaran terus memaksa Ibu Asih bercerita.
Ibu Asih memejamkan kedua matanya sejenak. Rasanya berat untuk menceritakan aib keluarga kecilnya sendiri tapi mungkin ini adalah cara terbaik untuk membuat lega pada hati dan pikiran Ibu Asih. Selama ini ibu Asih memendam beban perasaan dan beban moral yang sangat besar, tapi demi sebuah cinta semua dilakukannya walaupun tanpa restu dari keluarga.
Kedua mata itu semakin terlihat sayu dan lemah, Ibu Asih membuka mata itu dengan perlahan menatap kedua mata Syakir seolah memohon agar bisa menjaga Kirana sebelum maut kematian merenggut nyawanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Cinta Suci
knp pk arf menyiksa ya
2022-12-25
0
Taufiq Saparudin
😭
2022-11-16
1