Zifa memandikan kakaknya dengan sabar, seperti yang ibunya biasa lakukan. Yah, mulai saat ini ia harus menggantikan ibunya mengurus kakaknya. Zifa jadi teringat dengan ibunya betapa beliau sabar sekali dengan cobaan yang di hadapi keluarganya. Di mana ia baru beberapa jam di tinggal ibunya saja rasanya sudah ingin mengeluh dan ingin menangis sekencang-kencangnya. Namun sang ibu dengan sabar merawat mereka sampai kakaknya berumur delapan belas tahun dan dia tujuh belas tahun. Yah mereka memang berbeda hanya satu tahun.
"Ibu tolong, lapangkan hati ini sesabar ibu. Ajarkan Zifa arti sabar, agar Ifa bisa menjaga kakak Zara," gumam Zifa di dalam hatinya. Sesak lagi-lagi datang di relung hatinya. Kepergian ibu yang tiba-tiba masih terasa mimpi. Tidak ada persiapan apapun, tapi Zifa di paksa untuk bisa melewati cobaan ini semua.
Tidak ada obrolan diantara Zara dan Zifa. "Ifa ibu kemana? Kerja?" tanya Zara setelah selesai mandi. Zifa hanya menjawab dengan anggukan samar. Ingin ia menjelaskan bahwa ibunya tidak akan pernah bertemu lagi dengan mereka, tetapi hati Zifa tidak kuat. Baru akan membuka mulutnya tenggorokanya sudah tercekik.
"Ini ujan Ifa," ucap Zara lagi, mungkin ia ingin mengatakan cemas pada ibunya yang tidak kunjung pulang, padahal ujan di luar sangat deras.
Air mata yang sejak tadi di tahan Zifa, tidak lagi bisa dibendung, samar tersengar isakan dari Zifa ketika melihat kakaknya berdiri di balik jendela mengamati derasanya hujan di luar sana.
Zifa di atas sova yang udah usang menutup wajahnya tidak bisa membayangkanya bagaimana perasaan yang kakaknya rasakan. Ibu paling dekat dengan Kak Zara, bahkan mereka selalu tidur bersama. Pasti nanti kakaknya akan terus mencari ibunya. Sampai kapan Zifa terus berbohong? Dan sampai kapan Zara akan mengerti keadaan ini?
Ia tidak kuat melihat pemandangan itu, Zifa pergi kedapur dan teringat kue yang ia bawa dari sekolah niatnya dia peruntukan buat ibu dan kakaknya, tetapi semuanya tidak sesuai dengan apa yang ia rencanakan. Bahkan karena acara ulang tahun itu ia kehilangan ibunya.
Tanganya tanpa sadar membejek-bejek kue itu. "Aku benci perayaan. Aku benci ulang tahun. Aku benci kue ini. Karena ulang tahunku, aku kehilangan ibuku. Aku benci ulang tahun," teriak Zifa memenuhi rumahnya.
Zara yang masih menunggu ibunya pulang ketika mendengar adiknya teriak, teriak di dapur hati nuraninya tergerak agar ia melihat kenapa adiknya berteriak dan menangis.
Langkahnya membawa ia menyusuri ruangan yang tidak luas dan melihat adiknya tengah dudul bersimpuh dengan tangan belepotan kue ulang tahu. Fikiranya menangkap memory dulu ketika ibunya pernah memberikan sepotong kue ulang tahu dan rasanya sangat enak. Sehingga ketika Zara melihat kue itu air liurnya seolah menetes dan menginginkanya.
"Ifa, aku mau kue itu," ucap Zara, tidak paham bahwa adiknya justru benci kue itu, dan ingin membuang kue yang sudah ia hancurkan itu.
Zifa mengangkat wajahnya yang penuh air mata. Wajah polos Zara yang seolah memohon agar kuenya diberikan padanya, karena Zara sangat ingin kue itu. "Kue ini ada racunya, kakak enggak boleh makan nanti kakak sakit," jawab Zifa dia terlalu takut akan terjadi apa-apa dengan kakaknya apabila memakan kue itu. Zifa terlalu takut kalau ulang tahunya juga berdampak buruk pada kakaknya. Ia bahkan telah lupa bahwa kematian adalah takdir bukan kutukan ulang tahun.
"Ifa, aku mau kue itu." Kali ini suara Zara semakin mengiba dan seolah dia benar-benar sangat menginginkan kue yang hancur itu, bahkan di tanganya juga menempel sisa-sisa kue yang ia hancurkan.
"Oh, mungkin ini bawaan hamil, dan anaknya ingin memakan kue yang aku hancurkan," batin Zifa, hatinya pun melunak dan medorong kue yang telah hancur itu.
"Makan lah," lirih Zifa, egonya coba ia tahan meskipun dalam hatinya ia ingin membuang kue itu dan menginjak-injaknya. Zara tampak menikmati ke ulang tahun itu.
"Ifa enak. Ifa mau?" tanya Zara benar-benar kakaknya memancing dia untuk muntah melihatnya.
"Kakak saja yang makan," balasnya.
Zara kembali memakan kue itu, bahkan ia j*lati pinggiran piring yang masih tersisa cream dan remakan kuenya.
"Ifa, di tangan ifa." Zara yang melihat tangan Zifa banyak remakan kue mungkin masih mengingkanya.
"Kakak mau lagi?" tanya Zifa, sembari menyodorkan tanganya agar Zara menji-lat sisa kue yang ada ditanganya.
Zara mengangguk dan segera memakan lagi kue yang ada di tangan adiknya.
Zifa lagi-lagi tidak kuasa menahan penderitaan ini, bagaimana kalau orang-orang tahu bahwa kakaknya hamil. Apa kata mereka nanti?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Wina Yuliani
bengek mak... 😭😭😭😭😭
yg kuat ya neng, cuma kamu tempat zara berlindung,
2022-09-18
1
misli abimana
mantep tur, lanjut sampai zifa tau siapa yg bunuh ibunya jangan kasih ampun. nyawa bayar dgn nyawa.
2022-09-13
2
Haira raf
sedih banget dari bab 1 udah keren....
2022-09-13
3