Suasana ba’da isya.Di sebuah rumah bertingkat dua. Bercat hijau daun. Angin berhembus semilir, meniup pepohonan di depan rumah. Faris masih berdiri bersedekap di teras lantai atas. Pandangannya jauh menembus gelap malam di depannya. Sesekali ia melirik ke arah sampingnya. Persis di dekat pintu keluar teras tempatnya kini berdiri. Ia tersenyum. Seperti masih terdengar tawa dan canda dari sepasang kekasih yang bercengkrama kemarin malam. Seperti sedang merayakan kebersamaan yang telah lama hilang akibat perpisahan dan kerinduan yang lama terpendam.
Walaupun berat dan membutuhkan waktu yang cukup lama, tapi akhirnya Hafiza memberinya maaf. Dan itu sudah lebih dari cukup bagi Faris. Tak perlu muluk-muluk, apalagi untuk mengajaknya kembali merajut kisah cinta yang lama tenggelam. Terlalu mudah, setelah sesuatu yang menyakitkan yang ia perbuat dulu ketika meninggalkannya menikah dengan orang lain. Dan seharusnya ia malu, setelah sekian lama pergi dengan menyisakan luka mendalam di hati gadis itu. Kini dengan mudahnya ia mendapatkan maaf, bahkan lebih dari itu, keramahan dan canda yang begitu bersahabat.
Kembali Faris tersenyum. Di arahkannya pandangan ke bawah. Ia terkenang ketika dulu ia meminta Hafiza membuktikan cintanya. Dia teringat bagaimana dulu saat ia mengejar Hafiza di bawah derasnya guyuran hujan. Hafiza berusaha menegaskan bahwa cintanya bukanlah cinta yang dibuat-buat. Kenangan itu yang tak sedikitpun ia lupakan. Kenangan itu juga yang selalu menenangkannya, ketika rumah tangganya seperti bagian besar dari nyala neraka yang membara.
Faris mulai gelisah.Seharusnya Hafiza sudah terlihat di gerbang rumah seperti biasanya. Tapi kini sudah lewat satu jam sejak azan isya dikumandangkan, ia belum juga terlihat. Apakah malam ini dia akan melewatkan lantunan sajak yang ia persiapkan sejak maghrib tadi? jenuhkah ia dengan tari yang temanya tak pernah berubah? Ataukah ada kaitannya dengan pertemuan mereka sore tadi di rumah salah satu kerabat Faris?
Hafiza memintanya datang sore itu. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan. Sangat penting dan Faris harus datang. Tak biasanya Hafiza mengajaknya bertemu di tempat lain. Sepenting apakah yang akan dibicarakan Hafiza? Ah, yang jelas Faris senang. Jalinan hubungan yang baru terajut, tentunya akan semakin membaik dengan seringnya bertemu. Mungkin Hafiza rindu, dan jangan pernah ditanya bagaimana perasaan Faris saat itu. Ia kini yang sangat membutuhkan Hafiza. Jadi kemanapun dan dimanapun Hafiza mengajaknya, ia akan menurut.
Tapi kenyataan yang ia dapati ternyata berbeda dengan yang ia bayangkan. Berita yang ia dengar begitu mengagetkannya. Berita yang sama sekali tak pernah terpikirkan dan tak mau ia pikirkan. Hafiza memberitahukannya, bahwa ia akan segera menikah dengan seseorang. Mungkin Salah satu dari sembilan pacar yang sering ia ceritakan ketika mereka bertemu. Ada rasa sakit, ada berjuta-juta kekecewaan saat mendengar begitu banyaknya pacar yang dimiliki Hafiza, tapi ia hanya bisa menyimpannya dalam hati. Dia selalu menegarkan hatinya, bahwa kekecewaan dan rasa sakitnya saat itu adalah salah satu dari sekian penebusan, walaupun ia merasa itu belum setimpal dengan rasa sakit yang mungkin dirasakan oleh Hafiza dulu ketika meninggalkannya.
Hafiza akan menikah dan itu dengan seseorang, yang katanya ia kenal. Statusnya pun sama. Ketika Faris tahu laki-laki yang dimaksudkan adalah Raka, hatinya menolak dan ingin memprotes keputusan Hafiza. Dia menolak jika Hafiza harus memilih laki-laki itu sebagai pendamping hidupnya. Apalagi dia adalah seorang duda yang baru saja bercerai dengan istrinya. Tak usah menelitinya terlalu jauh. Dari sikap dan gelagatnya pun, orang bisa menebak betapa angkuhnya laki-laki itu. Ia ingin Hafiza memikirkannya matang-matang, kenapa laki-laki itu bercerai dan apa masalahnya. Hafiza harus dengan matang mempertimbangkannya agar ia tidak tertimpa masalah yang sama di kemudian hari. Dia ingin Hafiza bahagia, tapi tidak dengan laki-laki itu.
Tapi lagi-lagi Faris segera sadar, ia mulai menghakimi dirinya sendiri. Ia merasa, ia pun tak lebih baik dari yang ia tuduhkan. Ia adalah suami dan ayah yang buruk dalam pandangan mantan istrinya. Tak usah menggurui dan menjelek-jelekkan orang jika kenyataannya ia lebih buruk dari itu. Ia juga merasa masih sebagai orang asing yang belum pantas ikut terlalu jauh mendikte pribadi dan kehidupan Faris. Walaupun ia merasa, ia masih berhak memiliki Hafiza. Bahkan yang paling berhak. Iapun segera mengambil kesimpulan, karena Raka lebih tampan dan lebih segalanya darinya, pantas dan sangat beralasan Hafiza memilihnya. Dan ia seharusnya memilih diam tanpa komentar apapun.
Tapi Entah, Faris masih belum mengerti apa maksud Hafiza mengutarakan rencananya menikah dengan orang lain dihadapannya langsung. Mungkin saat itu ia ingin memberi isyarat, bahwa ia pun bisa melakukan apa yang Faris pernah lakukan. Atau mungkin ingin melihat Reaksi Faris. Atau mungkin ia ingin Faris mencegahnya dan sebaliknya menikah dengannya. Apapun itu, Faris merasa kecewa. Itu bukan sesuatu yang ingin ia dengar. Jika Hafiza ingin dia mencegahnya, bukan itu caranya. Bukan dengan bercerita bahwa dia akan menikah dengan seseorang, apalagi itu adalah seseorang yang terakhir datang dalam kehidupan Hafiza. Jika gadis itu menginginkannya menikahinya, seharusnya ia bertanya kesediaan dan kesiapan Faris.
Walaupun pada waktu itu Faris akan menolak dengan alasan terlalu cepat. Faris berusaha bersikap bijak. Dia tidak ingin orang-orang beranggapan bahwa Hafizalah penyebab runtuhnya rumah tangga Faris dengan mantan istrinya.
Walaupun merasa tak pantas, Faris ingin hidup bersama Hafiza untuk menebus dosa dan kesalahan yang pernah ia perbuat. Tapi kemungkinan Hafiza mau menikah dengannya amatlah tipis. Ia masih meragukan Hafiza menginginkannya menjadi suaminya begitu cepat.
Memang seringkali Faris menyuruh Hafiza menikah agar karma setimpal terbalas, tapi itu hanyalah sajak pecundang yang ketakutan jika benar-benar ditinggal pergi. Itu hanyalah nyanyi sumbang ketika mencoba menyimpulkan, bahwa Hafiza tidak mungkin mau jatuh di lubang yang sama, dengan orang yang sama pula. Jika Hafiza benar-benar menginginkannya kembali, dia tidak akan tergesa-gesa memutuskan menikah dengan orang lain. Dalam pikiran Faris, ada sesuatu yang sedang dipersiapkan Hafiza. Sesuatu yang akan membuatnya sangat terkejut. Oleh karenanya, berkali-kali dia menyuruh Hafiza menikah, agar rasa takut kehilangan Hafiza tidak terlalu menanjak tinggi. Cukuplah ia bersyukur, bahwa hubungan sesama manusia kembali terjalin baik, demikian juga kesalahan dan dosa yang telah termaafkan.
“Faris, Faris. Turunlah! Rapat akan segera dimulai. Kita kumpul di mushalla." Terdengar panggilan dari bawah. Faris terbuyar dari lamunan panjangnya. Ia mendesah. Ia kemudian melangkah lemah dan turun dengan rasa gelisah yang kian besar mengeruhkan pikirannya.
Sesampainya di mushalla, Faris memperhatikan satu persatu orang-orang yang hadir di mushalla.
“Hafiza tak ada,” gumamnya setengah kesal. Ia mulai merasa tak bersemangat. Menaiki lantai mushalla pun ia terlihat malas.
Entah apa yang dibicarakan orang-orang saat itu. Iapun nyaris tak mendengarnya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah Hafiza dan keberadaannya. Rasa was-was yang berdetak di dadanya semakin besar. Memberinya sebuah isyarat mungkin ada sesuatu yang tidak baik yang akan terjadi malam ini.
“Faris.” Terdengar lagi panggilan dari arah depan. Faris kaget. Dilihatnya peserta rapat memandang ke arahnya. Semuanya tersenyum. Jika senyum mereka karna melihat kekagetannya, dia masih tak percaya. Pandangan dan senyuman orang-orang teetuju ke arahnya. Mereka terus tersenyum sambil terlihat berbisik satu sama lain. Melihat itu Faris mencoba ikut tersenyum. Tapi senyum mencurigakan yang terus menerus, membuatnya mulai kesal, tapi ia memilih diam sambil mencoba menebak apa gerangan yang sedang terjadi.
Salah satu temannya bangkit dan melangkah ke arah Faris. Semakin dekat dan kini bibir temannya terasa sudah berada dekat di telinganya. Pelan temannya berbisik, “Hafiza menikah malam ini."
Jika tidak sedang berada di tempat ramai, mungkin tangis Faris akan pecah seketika itu juga. Ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum, yang siapapun melihatnya akan bisa menebak bahwa itu senyum yang dibuat-buat. Begitu juga dengan binar matanya yang terlihat berkaca-kaca dan memerah. Ya Tuhan, mimpi apa ia semalam sehingga ia belum siap menerima kabar itu, walaupun memang sebelumnya Hafiza sudah memberitahukannya. Terlalu cepat, bahkan terlalu cepat, sehingga telinganya tak bisa menundanya sejenak untuk dikabarkan kepada hatinya. Ataupun menyembunyikannya agar hatinya tidak berduka.
Sejenak Faris merenung. Sesakit inikah yang dirasakan Hafiza ketika mendapat kabar aku menikah dengan orang lain? kenapa rasa sakit ini lebih pedih dari rasa sakit yang aku dapatkan ketika memilih menceraikan istriku, dan berpisah dengan anak semata wayangku? kenapa ini lebih menyakitkan dan lebih tidak aku terima? Kenapa ini terjadi di saat aku begitu menginginkannya kembali? Kenapa ini terjadi disaat aku punya kesempatan?
Berbagai pertanyaan resah berkumpul dalam hatinya. Udara malam itu seketika berubah begitu menggerahkan bagi Faris. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
“Mungkin demikian yang bisa kita bahas pada malam ini. Terkait hal-hal yang belum di bicarakan, mungkin akan kita bahas di hari lain. Terimakasih, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Nadian mendongak dan berusaha tenang ikut menjawab salam. Ternyata rapat Remaja Mushalla telah selesai.
“Ingat semua, malam ini akan ada teman kita yang yang matanya kelilipan debu," sela salah seorang temannya sambil tersenyum ke arah Faris. Kembali mata-mata mengarah ke arah Faris. Lagi-lagi dengan senyuman yang tak dimengerti Faris. Senyum kasihan atau hanya candaan. Entah, yang jelas ia ingin secepatnya keluar dari tempat itu. Ia ingin segera pulang dan memastikan bahwa kabar itu benar adanya. Jika benar, iapun ingin merenungi apakah malam ini ia bisa melewatinya dengan tenang atau tidak.
Kenapa ia harus menangis. Toh ia tidak punya hubungan apa-apa dengan Hafiza . Doakan saja semoga dia bahagia.
Faris mencoba mengelak. Berusaha terlihat setenang mungkin sembari bangkit dan bergegas pergi. Ia berusaha tak menghiraukan suara-suara yang menggodanya. Suara yang sedari tadi terdengar menyebalkan dan menusuk hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments