Sementara itu, Raka masih duduk menikmati secangkir kopi selepas makan sahur tadi. Sesekali dihisapnya pelan rokok kretek di tangannya. Sesekali melirik ke arah ponsel di sampingnya. Hafiza belum juga membalas sms nya. Mungkin ia belum bangun atau sedang menikmati makan sahur, sehingga belum sempat membalas sms nya. Gumamnya menenangkan diri.
Sambil menunggu Hafiza membalas sms nya, ada baiknya ia mulai merangkai kata-kata yang pas untuk memulai pembicaraan panjangnya nanti dengan Hafiza. Pembicaraan yang ia harapkan dapat diterima dengan baik oleh Hafiza. Ia hanya merasa terkendala dengan statusnya yang tak terlalu lama berpisah dengan mantan istrinya. Terlalu singkat, Hanya sebulan. Tapi di satu sisi, ia merasa memiliki kesempatan besar untuk memiliki Hafiza. Dilihat dari sikap, intensnya pertemuan dan pembicaraan, ia mantap menyimpulkan bahwa tak diragukan lagi, gadis itu juga berharap dan mungkin juga menunggu ia melamarnya.
Entah, ia pun tak mengerti kenapa dorongan itu begitu kuat. Dorongan untuk mengatakan keinginannya mengajak Hafiza menikah, tiba-tiba saja terbetik kuat di hatinya. Bukan dari kemarin, tapi baru tadi ketika ia terbangun dan menyadari betapa membosankannya menikmati makan sahur sendiri. Dia berhayal, bulan Ramadhan tahun depan, Hafiza lah yang akan menghidangkan untuknya makan sahur dan berbuka puasa. Membuatkannya kopi dan menikmati waktu berdua sebelum imsak, di tempatnya duduk kini. Bukankah itu lebih membahagiakan? Hafiza lah yang akan membangunkannya nanti.
Dan ia harus mengungkapkannya sebelum ia didahului lelaki lain. Dan usaha pertamanya adalah mengikat Hafiza terlebih dahulu. Ia yakin Hafiza tak akan menolak. Dia tahu betul gadis itu tergila-gila kepadanya. Dan jika ternyata nanti Hafiza setuju, maka ia tak akan berlama-lama untuk meminangnya. Usai ramadhan nanti, ia akan datang melamarnya.
Ponsel terdengar berbunyi. Raka menoleh dan segera meraihnya. Ia membuka pesan. Tangannya gemetar. Balasan dari Hafiza.
“Maaf kak, Hafiza baru selesai makan sahur."
Raka terdiam sejenak. Sedang memutuskan, membalas sms Hafiza atau langsung menelponnya. Tapi Raka berfikir mungkin belum saatnya untuk membicarakannya lewat telpon. Dia akan melihat situasi dulu. Kalau memang nanti ada titik terang lewat sms, baru ia akan menelpon Hafiza. Tapi baru saja ia hendak menulis balasan, ponselnya berdering. Hafiza menelponnya. Jantung Raka berdegup.
“Assalamualaikum,” terdengar suara lembut Hafiza dari seberang. Jantung Raka berdegup lebih kencang.
“Waalaikumsalam, bagaimana kabarnya Dik,” jawab Raka
“Kok lama jawabnya, Hafiza kira kakak sudah tidur."
Raka tersenyum. “Gak kok, kakak masih duduk di teras rumah. Kopi kakak saja belum habis,"
“O ya, yang membuatkan kakak kopi siapa." Raka tersenyum. Pertanyaan yang ia tunggu. Pertanyaan itu akan menggiring obrolan mereka ke jalur yang benar.
“Buat sendiri dong, memangnya ada bidadari yang mau datang buatkan kopi untuk kakak,”
“Kalau Hafiza yang buatkan gimana," goda Hafiza manja. Raka tersenyum. Darah di sekujur tubuhnya seperti berdesir. Kesempatan untuk mengatakan keinginannya kepada Hafiza seperti sudah terbuka lebar. Tinggal menggiringnya sedikit saja.
“Memangnya Hafiza mau?"
“Siapa yang gak mau membuatkan kopi untuk abang ganteng seperti kakak. Tinggal kakaknya mau jemput adik atau tidak." Nafas Raka tertahan. Kata-kata Hafiza membuat duduknya jadi tidak beraturan.
“Adik gak bohong mau dijemput?", ini sepeda motor kakak masih di luar. Tinggal adik perintahkan, kakak pasti sudah disana," canda Raka tapi tetap berharap Hafiza serius menyuruhnya datang.
“Hafiza bercanda Kak. Gak enak dilihat orang. Nanti saja kalau memang sudah waktunya kakak menjemput adik, adik pasti di sana." Raka tersenyum.
“Tapi kakak gak tahan kalau waktunya tidak pasti. Kakak gak bisa jika harus menunggunya terus.” Sudah mulai ada titik terang. Pembicaraan dengan sendirinya sudah menjurus kesana. Raka merasa tidak perlu mencari lagi kata dan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Pembicaraan mereka perlahan membimbing mereka ke arah itu.
“Tidak perlu menunggu lama karna keputusannya ada di tangan Kakak."
Jawaban Hafiza membuat Raka kembali terdiam. Seperti yang ia tebak. Tuhan telah memberinya jalan yang begitu mudah. Tak perlu berlama-lama, ataupun mendengarkan banyak alasan dari Hafiza. Hafiza sudah tahu dan mengerti.
“Maksud Adik?” Raka pura-pura tidak mengerti. Ia ingin Hafiza mempertegasnya kembali dengan kata-kata yang lebih singkat dan jelas.
“Ah, masa adik harus menjelaskannya lagi." Raka tersenyum. Ia berfikir ada baiknya mengatakannya langsung kepada Hafiza. Ia takut adzan subuh mendahuluinya.
“Sebenarnya inilah yang ingin kakak bicarakan dengan adik. Kakak hanya takut mengatakannya langsung kepada adik. Sudah kakak pikirkan matang-matang. Jika adik bersedia, kakak ingin Hafiza menjadi istri kakak,"
“Kakak ingin melamar Hafiza?"
“Ya, itu jika Hafiza menginginkannya juga. Selesai Ramadhan ini kakak ingin langsung melamar adik." Untuk sejenak tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Hafiza. Itu membuat Raka was-was.
“Hafiza mau, tapi kakak jangan datang ke rumah. Hafiza mau kakak mengambil adik seperti orang kebanyakan. Hafiza takut nanti ayah melarang." Terdengar Hafiza setengah berbisik. Raka membuang nafasnya panjang. Seperti hendak membuang segala cemas di hatinya. Kali ini hatinya menjadi plong.
“Alhamdulillah, kakak kira tidak akan semudah ini. Kakak kira Hafiza akan menolak. Maha Besar Allah yang telah memberikan kemudahan ini,"
“Kenapa Hafiza harus menolak kakak disaat Hafiza menginginkan kakak. Hafiza sendiri sudah berjanji, siapapun yang mengajak Hafiza menikah, Hafiza tidak akan menolaknya,"
“Terimakasih Dik. Sekarang kakak akan mulai mempersiapkan segalanya. Mudah-mudahan, usai lebaran ketupat nanti kakak sudah siap menjemput adik,"
“Baik kak, Hafiza menunggu."
Suara lantunan ayat suci Al-quran mulai terdengar menjelang subuh. Raka menghela nafas panjang. Ia ingin terus berbicara selama mungkin dengan Hafiza, tapi sudah waktunya untuk mengakhirinya.
“Baiklah Dik, sebentar lagi subuh. Besok malam kakak telpon lagi. Sekali lagi terimakasih. Aku mencintaimu." Senyum di bibir Hafiza mengembang. Sebuah kata penutup yang indah untuk memulai hari.
“ Love you too."
Dengan berat hati Raka menutup telponnya. Rasa bahagia semakin menjalar merasuki tubuhnya. Lengkap sudah seperti apa yang diinginkannya. Menjadikan Hafiza pacar, dan kini tinggal menunggu waktu saja gadis itu akan rebah di pangkuannya. Dan dia bisa membuktikan kepada mantan istrinya, bahwa dia tidak akan pernah kesulitan mendapat perawan lagi, bahkan yang lebih cantik darinya. Terbukti hanya dalam waktu sebulan saja, Hafiza telah takluk tanpa banyak pertanyaan dan syarat.
Senyum Raka terus mengembang puas.
Begitupun kini yang sedang dirasakan Hafiza. Doanya dua jam lalu telah terkabulkan tanpa harus menunggu lama seperti perkiraannya. Dia tidak menyangka, walaupun itu harapannya, Rakalah yang paling cepat mengutarakan keinginannya mengajaknya menikah. Allah benar-benar telah mengabulkan doanya. Tinggal sabar menunggu lebaran ketupat tiba. Kalau dihitung dari sekarang, kurang lebih tinggal sembilan atau sepuluh hari lagi. Tinggal mempersiapkan dirinya saja. Mempercantik wajahnya, menghaluskan kulitnya dan jadi sesempurna mungkin untuk suaminya nanti. Dia ingin menjadikan dirinya benar-benar pantas mendampingi Raka.
Adzan subuh sudah terdengar berkumandang. Beberapa orang terlihat mulai melangkah menuju masjid. Malam terasa tenang seakan-akan ikut menjawab seruan untuk tunduk kepada Sang Pencipta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments