Terdengar suara HP berdering di atas meja. Hafiza segera beranjak bangkit. Diraihnya HP. Sebuah nomor yang tak dikenal. Jantung Hafiza berdegup. Nomor tanpa nama tapi cukup menyenangkan hatinya dengan tebakan yang mengarah ke Raka. Seratus persen tebakannya kali ini mengarah pada Raka.
“Assalamualaikum” terdengar suara tegas tapi lembut dari seberang. Hafiza memejamkan matanya sembari terus bibirnya mengulum senyum. Ia memegang dadanya kelewat bahagia. Ia melonjak girang. Ternyata Benar, itu memang benar Raka.
Seakan-akan orang yang menelponnya berada di depannya dan sedang memperhatikannya, cepat-cepat Hafiza memperbaiki posisi duduknya.
“Waalaikum salam, siapa ya”. awab Hafiza pura-pura tidak tahu. Ia masih saja tersenyum senang.
“Mmh...Siapa ya? Mungkin orang yang mengantarmu ke kampus tadi siang” . Kata suara di seberang.
Lagi-lagi Hafiza tersenyum. “Emh, siapa ya? Katanya dengan nada manja.
“Lagi ngapain dik”. Tanya Raka di seberang singkat. Sepertinya ia tidak tahan main tebak-tebakan. Hafiza begitu kegirangan ketika Raka mulai menanyakan kabarnya.
“Lagi tiduran kak, barusan selesai buat tugas kampus. Kakak sendiri lagi ngapain”. Kata Hafiza masih dengan nada manja.
“Emh…lagi ngapain ya. Emh, mungkin lagi memikirkan adik”.
Hafiza terdiam. Ia mengernyitkan dahi sembari bibir bawahnya digigit agak kuat, seperti hendak menahan sorak kegirangan dalam dadanya. Dan sepertinya, kata-kata itu yang ingin ia dengar walaupun mungkin Raka hanya ingin bergurau.
“Ah gombal, memangnya aku pantas dipikirin?
“Kenapa gak pantas, malah terlalu pantas untuk dijadikan inspirasi”.
Kembali untuk beberapa saat Hafiza terdiam. Kata-kata Raka sangat mengena di hatinya. Ada keseriusan yang ia tangkap walau mungkin hanya bahan obrolan saja. Tapi Ia merasa Senang sekaligus malu.
“Halo. Kok diam”. Terdengar suara Raka membuyarkan lamunan Hafiza.
“Eh maaf kak. Habis Kakak romantis sih”. Hafiza mulai membuka sekat-sekat rasa sungkannya. Obrolan malam itu semakin menarik. Hafiza menarik ujung charger yang di sampingnya dan mulai mencharger hp nya. Ia tidak ingin obrolannya dengan Raka terputus gara-gara HP nya mati kehabisan baterai.
"Oya, baru kali ini ada gadis yang mengatakan aku ini romantis. Aku jadi tersanjung. Atau jangan-jangan kamu cuma mengolokku saja”.
“Memangnya pacar-pacar kakak yang lain tidak pernah bilang kalau kakak itu romantis? Tanya Hafiza.
“Kok pacar-pacar sih. Memangnya pacar kakak berapa menurut adik”.
Hafiza mengerutkan keningnya. Ia mencoba menerka angka yang pas untuk Raka.
“Emh, mungkin saja banyak, dulu saja waktu Hafiza masih nyantri, kakak-kakak santriwati yang cantik-cantik semua kakak pacari. Jadi pacar kakak mungkin lima”. Terdengar tawa renyah Raka.
“Ah, itu kan dulu. Sekarang kakak hanya mencari wanita yang ingin menjadi istri yang shalehah untuk kakak”. Hafiza mengangkat alisnya.
“Memangnya mantan istri kakak tidak shalehah”. Jawabnya.
“Kalau shalehah mana mungkin kakak ceraikan. Mungkin Hafiza mau bantu nyarikan kakak”. Hafiza terdiam sejenak. Biasanya kalau laki-laki mengeluarkan kata-kata seperti itu, pasti ujung-ujungnya, sasaran tembaknya adalah wanita yang diminta bantuan. Hafiza tersenyum sembari menggaruk kepalanya. Hafiza sengaja mengulur waktu berharap Raka deg-degan menunggu jawabannya.
“Hafiza jadi bingung nyari yang sepadan dengan kakak, apalagi yang shalehah. Kayaknya sulit deh kak”. Kata Hafiza berpura-pura. Dia yakin pada akhirnya Raka akan bilang bahwa wanita shalehah itu adalah dia.
“Tapi menurut kakak tidak sulit kok. Orangnya sudah ada, tinggal minta bantuan Hafiza untuk mendapatkannya”.
Kembali Jamila mengernyitkan keningnya. Ternyata tebakannya salah. Ternyata ia tidak termasuk gadis shalehah yang dimaksud Raka. Hafiza memijit-mijit keningnya. Seperti sedang mulai menerka gadis yang dimaksud Raka. Mungkin ia mengenal wanita itu sehingga Raka bilang membutuhkan bantuannya. Seriuskah Raka mengatakannya. Atau memang ada salah seorang teman dekatnya yang ditaksir Raka? Dan itu berarti, jika ada gadis lain seperti yang dimaksud Raka, dia bukan termasuk yang diinginkan Raka. Tujuan Raka meminta nomor HP nya mungkin untuk menjadikannya Mak comblang saja. Dan itu tentu saja mengecewakannya. Ternyata Raka masih menganggapnya gadis ingusan seperti dua puluh tahun lalu. Ternyata Raka tidak tertarik kepadanya. Tiba-tiba saja Hafiza jadi tidak bersemangat.
“Hafiza tidak biasa jadi mak comblang kak. Kakak saja yang bilang sendiri. Kan lebih nyambung kalau tanpa prantara”. Suara Hafiza terdengar melemah.
“Gak bisa, harus adik. Soalnya hanya adik yang mengerti gadis ini".
“Maksud kakak, apa Hafiza mengenal dekat gadis itu?”. Tanyanya penasaran.
“Pergilah ke depan cermin. Jika adik melihat bayangan seseorang di depan cermin, berarti itulah gadis yang kakak maksud”.
Hafiza menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Ia spontan tersenyum. Jantungnya seketika berdegup kencang. Kini hatinya begitu kegirangan setelah tadi Raka menggiringnya dengan teka-teki yang hampir membuatnya tak bersemangat meladeninya.
“Hafiza tak percaya kalau kak Raka menginginkan gadis di dalam cermin. Apa menariknya dia”. Kata Hafiza. Ia mulai memancing Raka untuk mengatakan sesuatu yang menyenangkan hatinya melebihi kejutan yang pertama.
“Segalanya menarik di mataku. Dan tak butuh waktu terlalu lama untuk membuatku tertarik. Mungkin waktu telah lama memisahkan kita, namun pertemuan kita tadi siang seperti pertemuan yang kesekian kalinya. Pertemuan yang menumbuhkan rasa cinta di hati kakak”.
Untuk beberapa saat Raka terdiam, begitupun Hafiza. Seperti saling menunggu untuk lebih dahulu melanjutkan pembicaraan.
“Hafiza, memang ini terlalu cepat, tapi Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Aku tidak mau munafik. Mungkin aku kesepian karena perceraianku, tapi alasan itu adalah alasan terakhir, ketika rasa kagumku dan keyakinanku yang kuat menyimpulkan bahwa kamu memang gadis yang aku cari”. Raka menghentikan pembicaraannya beberapa saat. Seperti tidak ada suara dan gerakan di seberang sana. Ia berfikir Hafiza pergi atau mungkin tertidur.
“Halo, kamu masih mendengarku Hafiza”. Sambung Raka.
“Aku masih di sini kak”. Jawab Hafiza dengan senyum mengembang.
“Maukah kamu jadi pacarku. Maukah kamu menjadi pengisi hatiku yang sedang kalut? Mungkin menurutmu ini terlalu cepat, tapi apakah semua hubungan harus melewati waktu yang lama? Tidak cukupkah jika aku meyakinimu sebagai gadis yang baik, sebagai titianku menjadikanmu kekasihku seutuhnya? Aku meyakinimu sebagai gadis shalehah dan sekarang aku menunggu penilaianmu tentangku”. Raka cemas menanti jawaban. Hafiza masih belum juga memperdengarkan suaranya.
“Mungkin kak Raka mengenalku, tapi itu dulu ketika aku masih duduk dibangku MI. Sekarang aku mungkin sudah jadi gadis yang berbeda. Aku malu jika kak Raka menyebutku gadis shalehah”. Jawab Hafiza beberapa saat kemudian.
“Mungkin, tapi setidaknya kamu punya pengetahuan agama yang cukup untuk menjadikanmu wanita shalehah”. Sahut Raka tegas tanpa menunggu Hafiza benar-benar menyelesaikan pembicaraannya.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Masing-masing menunggu siapa yang akan membuka kembali pembicaraan. Dalam hati Hafiza bertanya, mungkinkah Raka masih menunggu jawabannya. Tapi Raka sudah diam terlalu lama, setidaknya ia ingin Raka mengulangi lagi kata-katanya.
“Halo”. Terdengar kedua suara dalam waktu bersamaan. Hafiza tersenyum. Walaupun Raka tak melihatnya, tapi ia merasa malu.
“Apa adik butuh waktu untuk menjawabnya. Aku siap kok, tapi jangan terlalu lama ya, nanti aku gak bisa tidur”. Raka mencoba mengusir kekakuan suasana. Ia ingin suasana mencair seperti di awal-awal obrolan.
“Masa sih, memangnya pertanyaannya apa ya”. Hafiza mencoba menggoda. Tampak ia ingin sekali Raka mempertegas lagi pertanyaannya.
“Maukah adik menjadi pacarku? Kata Raka lembut namun terdengar sangat jelas di telinga Hafiza.
“Emh, bagaimana ya. Adik jadi malu”.
“Kenapa harus malu. Bilang saja dengan terus terang. Jika adik tidak menginginkan kakak, tidak masalah. Aku tidak marah”. Kata Raka lembut tapi mencoba mempertegas.
Kembali Hafiza terdiam. Dia mulai menghitung dalam hati untuk memberi aba-aba pada dirinya kapan ia akan menjawab.
“Ya, Hafiza mau” kata Hafiza singkat.
“Mau apa”. Jawab Raka mencoba mempertegas.
“Hafiza mau jadi pacar kakak”. Kata Hafiza dengan nada mengeja. Ia tersenyum manja.
“Alhamdulillah. Terimakasih Ya Allah. Mungkin malam ini adalah malam paling membahagiakan bagiku. Aku janji akan jadi yang terbaik untuk adik”. Kata Raka tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya.
“Semoga. Semoga saja kakak tidak bohong”. Tenggorokan Hafiza serasa tercekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments