"Mas."
Aleesa berpikir sejenak. Berarti yang membayarkan makanannya ini adalah seorang laki-laki. Aleesa masih terdiam dan matanya mulai mencari sosok laki-laki baik hati itu.
"Mbak, Mas-nya tadi pakai baju apa, ya?" Aleesa benar-benar penasaran.
"Kaos putih, masker dan topi hitam." Aleesa mengangguk.
"Sa, udah?" Aleesa segera menoleh, Yansen sudah ada di belakangnya. Dia pun mengangguk. Yansen membawa makanan yang Aleesa pesan.
Dari kejauhan, pria bertopi hitam itu tersenyum perih. Dia menghela napas kasar. Kemudian, pergi.
Tak ada selera bagi Aleesa. Dia merasa hancur dan sakit. Namun, dia bertahan karena Yansen pun masih bertahan di saat kedua orang tuanya dengan terang-terangan mengatakan bahwa tidak mengijinkan hubungan itu dibawa ke jenjang serius.
"Apa ketika kamu tahu bubu dan baba tak merestui hubungan kita, hati kamu sesakit dan sehancur ini?"
Aleesa menatap ke arah Yansen yang sedang menikmati makanan. Air matanya sudah menganak. Yansen menoleh ke arah Aleesa dan menghentikan kunyahannya ketika melihat sang kekasih sudah berkaca-kaca.
"Kenapa?" Yansen segera memeluk tubuh Aleesa. Dia paling benci akan hal ini. Di mana Aleesa menangis.
Aleesa tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala. Usapan lembut Yansen berikan di rambut Aleesa yang hari ini dia gerai.
"Jangan menangis, Sa." Yansen terus menenangkan Aleesa hingga tangis Aleesa reda.
Yansen mengendurkan pelukannya. Dia menatap lekat wajah Aleesa dan tangannya menghapus air mata yang sudah membasahi wajah perempuan yang dia sayangi.
"Bilang ke aku. Kamu kenapa?" Yansen benar-benar ingin tahu apa yang tengah Aleesa rasakan.
"Gak tahu, hari ini aku melow banget." Berdusta lagi, itulah yang Aleesa lakukan. Dia tidak mungkin berkata apa yang dia rasakan kepada sang kekasih karena sudah mendengar fakta yang sesungguhnya.
Yansen mengusap lembut ujung kepala Aleesa. Mencoba untuk memberikan kenyamanan kepadanya.
"Jangan sembunyikan apapun dariku." Aleesa pun mengangguk.
.
Mereka sudah masuk ke dalam bioskop. Tangan Aleesa terus Yansen genggam. Dia tidak membiarkan tangan itu terlepas walau sedetik pun. Ketika langkah Aleesa memasuki bioskop, dia merasakan ada hal yang berbeda di sana. Bukan perihal makhluk tak kasat mata. Itu sudah biasa baginya.
"Kenapa dengan hatiku ini?"
Aleesa melirik ke arah kanan dan kiri. Dia merasa dekat dengan seseorang. Namun, hanya orang-orang yang tidak dia kenal yang dia lihat.
Mata Aleesa masih mencari sosok yang terasa dekat dengannya. Hingga film diputar, barulah dia fokus pada film tersebut. Di awal-awal Aleesa masih terlihat biasa saja. Ketika di pertengahan film, melihat orang yang dipukuli secara membabi-buta membuat memori Aleesa berputar pada kejadian tiga tahun lalu. Di mana dia melihat sendiri seorang anak yang dipukuli tanpa ampun oleh ayahnya sendiri. Seketika air mata Aleesa menetes begitu saja.
"Kak Restu."
Nama itu yang dia ingat. Dadanya mulai sesak. Dia mengambil tisu untuk menyeka air matanya. Untung saja Yansen sedang fokus pada film tersebut.
"Kenapa hari ini gua cengeng banget sih?" batinnya dengan sangat kesal.
Aleesa menyandarkan tubuhnya. Sejenak memejamkan mata. Bayang wajah pria yang pernah mengusik hatinya muncul di kepalanya sekarang. Pria itu tersenyum seraya memakaikan jaket denim di pundak Aleesa.
"Pakai ini ketika kamu merindukan aku."
Tak terasa bulir bening itu meleleh lagi. Hati Aleesa hari ini benar-benar rapuh sekali. Bawaan hatinya ingin menangis dan menangis saja. Aleesa mulai fokus kembali pada film yang serius Yansen tonton. Adegan terjebak di dalam lift membuat memorinya mengulang sesuatu yang pernah terjadi.
Pelukan hangat yang membuat Aleesa seketika merasa dilindungi. Pelukan yang sudah sangat lama tidak dia dapatkan. Hembusan napas kasar keluar dari mulut Aleesa.
"Kenapa mengingat dia lagi? Ada apa ini?"
Dia melihat ke arah kursi belakang. Matanya memicing ketika dia melihat seseorang yang sepertinya dia kenali.
"Kaos putih, masker, dan topi hitam."
"Apa itu Kak Restu?"
"Sa." Panggilan Yansen membuat Aleesa menoleh.
"Kamu bosan ?" Aleesa menggeleng. Yansen mengeratkan genggaman tangannya dan membuat Aleesa mau tidak mau melihat ke arah layar besar di depannya.
"Benar gak sih itu Kak Restu?" Batinnya masih menerka-nerka.
Dua jam sudah mereka berada di dalam bioskop. Yansen tersenyum bahagia ketika film itu berkahir dengan apa yang dia harapkan. Aleesa hanya ikut tersenyum. Sedari tadi kepalanya masih memikirkan Restu.
"Mau main dulu atau--"
"Pulang aja, ya. Aku capek banget." Yansen pun mengangguk. Dia membawa langkah Aleesa keluar dari mall tersebut.
Tibanya di rumah, dia mengkerutkan dahi ketika melihat mobil sang paman. "Uncle Papih."
Begitu dia masuk benar saja Rindra ada di sana. Aleesa mencium tangan sang paman.
"Dari mana? Kok baru pulang?" Sang paman bertanya dengan begitu lembut.
"Nonton dulu tadi," jawab Aleesa. "Udah ijin kok sama Bubu. Baba dikasih tahu 'kan sama Bubu?" Radit pun mengangguk.
"Kirain Sasa Uncle Papih sama Kak Iyo ke sini."
"Rio belum pulang. S2-nya belum selesai. Kalau udah selesai, pasti dia pulang kok." Aleesa pun mengangguk. Raut kecewa dia tunjukkan.
"Kamu merindukan dia atau--"
Dahi Aleesa mengkerut mendengar ucapan dari sang paman yang menggantung.
"Atau siapa?" Rindra hanya tersenyum dan menggeleng pelan.
"Gak jelas!" sungut Aleesa kepada Rindra. Aleesa pun beranjak dari sana dan membuat Rindra dan Radit tertawa.
"Sa, Bubu dan Baba malam ini mau pergi. Kamu gak apa-apa 'kan di rumah sendiri?" Langkahnya di hadang oleh sang ibu ketika dia hendak menuju lantai dua.
"Sasa bukan anak kecil lagi, Bu." Echa pun tersenyum dan mencubit gemas pipi Aleesa.
"Pulangnya bawa makanan." Echa pun tertawa dan mengiyakan.
Ketika kedua orang tuanya pergi, Aleesa menghubungi sang kakak yang tengah menimba ilmu di negeri Singa. Aleesa menceritakan semuanya dengan air mata yang mengalir begitu deras.
"Kakak Sa harus gimana, Kakak Na? Rasanya sakit banget." Suara Aleesa benar-benar sudah berat.
"Sabar ya, Kakak Sa. Kakak Na yakin, pasti akan ada jalan keluarnya." Aleena pun tidak bisa berkata apapun. Dia tidak menyalahkan perasaan yang tumbuh di hati sang adik. Tidak ada yang bisa melarang cinta itu hadir.
Bagi Aleesa menumpahkan isi hatinya kepada sang kakak membuat hatinya tenang. Kakaknya tidak pernah menyudutkan dirinya. Dia seakan mengerti dengan apa yang Aleesa rasakan.
"Udah ya, jangan nangis lagi." Aleesa hanya tersenyum tanpa bisa menghentikan laju air matanya.
Aleesa pun tertidur dengan jajak air mata yang kentara di wajahnya. Seseorang masuk ke dalam kamar. Dia melangkah dengan begitu pelan. Menatap wajah sendu Aleesa dengan senyum banyak arti.
.
Di lain tempat, seorang pria tengah menggenggam tangannya seraya memejamkan mata.
"Tuhan, aku mencintai dia. Ijinkan aku lebih lama lagi menjaganya. Ketika aku pergi, jangan buat dia menangis dan bersedih terlalu lama, Tuhan. Aku tidak suka dia menitikan air mata. Semoga Engkau mendengar doa hamba-Mu yang kecil ini."
...***To Be Continue***...
Komen dong ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments
Dilan Dilan
yansen punya penyakit kah ?
2022-10-05
0
Anha Ruheni
Yansen ada penyakit mba Fie ? kok mau pergi ?
2022-10-03
1
ms. yati74
duuuh kok tebak" buah manggis yaaa....kayanya maut yg memisahkan kak Saa danYansen😢
2022-09-13
0