Dua tahun menjalin hubungan dengan Yansen membuat Aleesa semakin larut akan perasaaan yang dia miliki. Bagaimana tidak, Yansen selalu membuat hari-hari Aleesa dipenuhi bahagia.
Contohnya hari ini, Aleesa baru turun dari mobil sang ayah. Dia mencium tangan sang ayah sebelum keluar dari mobil. Baru beberapa langkah menuju halaman kampus, beberapa teman Aleesa sudah memberikan kejutan. Mereka memberikan cake cokelat bertuliskan happy anniversary Sasa dan Sensen. Lengkungan senyum terukir di wajah Aleesa.
"Langgeng terus, ya." Sebuah doa yang begitu tulus dari para teman Aleesa ucapkan.
Namun, Aleesa tidak menjawab apapun. Dia hanya tersenyum dengan raut yang tak terbaca.
"Tiup lilinnya dong," ucap teman Aleesa yang lainnya.
Aleesa sudah menundukkan sedikit tubuhnya ke arah lilin. Namun, dia merasa ada kalung yang menggantung di lehernya. Dia segera menoleh dan sang kekasih yang sudah memasangkannya. Dia tersenyum ke arah Aleesa.
"SS, Sasa Sensen."
Aleesa segera melihat ke arah liontin kalungnya. Ternyata inisial panggilan mereka berdua. Tak hentinya Aleesa melengkungkan senyum.
"Makasih," ucap Aleesa. Yansen tersenyum dan tangannya mengusap lembut ujung kepala Aleesa. Hal sederhana yang selalu membuat Aleesa merasa nyaman diperlakukan seperti ini oleh Yansen.
"Ini kapan ditiupnya? Lilinnya udah mau abis woiy." Aleesa dan Yansen pun tertawa. Mereka berdua meniup lilin yang ada di atas kue tersebut.
"Doanya apa nih?" tanya teman Yansen yang usil.
"Sederhana aja," jawab Yansen dengan begitu santai. Seketika Aleesa menatap ke arah Yansen.
"Selama jantung gua masih berdetak, gua akan selalu ada di samping Sasa." Yansen menatap Aleesa yang membeku dengan mata yang berair.
"Aku benci kamu nangis, Sa." Yansen menarik tangan Aleesa ke dalam pelukannya.
"Manis banget sih," puji teman Aleesa yang lain.
Aleesa dan Yansen bisa dikategorikan pasangan yang teramat manis oleh para mahasiswa di sana.
"Pulang dijemput sopir?" tanya Yansen kepada Aleesa.
"Gak tahu, tadi Baba gak bilang apa-apa. Kenapa emang?"
"Nonton yuk," ajak Yansen.
"Tapi, gak mau cerita horor. Bukannya takut aku malah geli. Setan aslinya juga gak gitu-gitu amat." Yansen malah tertawa. Setiap kali diajak nonton film horor, pulangnya Aleesa akan mengoceh ria.
"Aku pengen nonton film action." Yansen tahu Aleesa tidak menyukai film tersebut. Mimik wajah Aleesa pun sudah berubah. Namun, dia sangat ingin menontonnya. "Aku lagi ingin ditemani kamu. Kamu mau 'kan?" Yansen sudah menggenggam tangan Aleesa. Sorot matanya sangat memohon.
"Iya," jawab Aleesa. "Aku kangen popcorn di bioskop."
.
Yansen masih setia menunggu Aleesa menyelesaikan kelasnya. Dia menunggu di kantin kampus di mana banyak wanita yang mengidolakan Yansen. Namun, Yansen seakan acuh.
"Kakak," panggil seorang perempuan dengan begitu manja. Dia duduk di samping Yansen dan Yansen segera menggeser duduknya. Terdengar perempuan itu berdecak kesal.
"Kenapa sih, Kak? Mau dekat aja susah."
Yansen menatap ke arah perempuan itu. Sorot mata tidak suka dia perlihatkan.
"Kamu tahu alasannya 'kan."
"Perempuan itu? Perempuan yang beda agama itu?" Mulut perempuan itu seperti tidak ada filternya. Ingin rasanya Yansen meremas mulutnya.
"Cukup Nathalie!" seru Yansen. Tak dia permasalahan dia menjadi pusat perhatian para mahasiswa yang tengah berada di kantin.
"Kenapa, Kak? Kak Grace saja bilang jika Kakak dan perempuan itu hanya berteman. Tidak ada yang spesial. Itu tandanya apa? Kak Grace aja gak merestui hubungan Kakak dengan perempuan itu."
Tubuh Aleesa menegang ketika mendengar penuturan dari Nathalie. Adik kelasnya yang secara terang- terangan menyukai Yansen.
"Apa aku harus melanjutkan hubungan ini?" gumam Aleesa.
Aleesa memilih untuk pergi ke kamar mandi dengan wajah yang sendu. Satu fakta lagi terungkap bahwa kakak dari Yansen ternyata tidak merestuinya. Dia melihat pantulan dirinya dari cermin. Dia tersenyum kecut.
"Hubungan yang dimulai dengan air mata, pasti akan berakhir dengan lelehan air mata jua."
Suara yang jelas terdengar di telinga. Aleesa mencari asal suara tersebut, tetapi tidak ada. Para penunggu toilet pun tidak ada sama sekali. Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya.
Aleesa mencuci wajahnya untuk menghilangkan semua rasa yang bersarang di dada. Dia tidak boleh egois, pasti Yansen juga merasakan hal yang sama ketika mengetahui jika kedua orang tuanya tidak merestui hubungan mereka.
Langkah Aleesa terhenti ketika Yansen menghadangnya tepat di depan toilet wanita.
"Aku kira kamu pergi."
"Pergi?" ulang Aleesa pura-pura tak mengerti. Yansen mengusap lembut rambut Aleesa.
"Mau 'kan temani aku nonton?" Aleesa pun mengangguk.
"Betapa kuatnya hati yang dimiliki Sasa," ujar teman Sasa dari kejauhan.
"Padahal dia sudah mendengar jelas ucapan si Nathalie tadi."
Itulah yang Yansen khawatirkan. Maka dari itu, dia mengejar Aleesa ke toilet setelah Aleesa tak kunjung ke kantin. Sedangkan kedua teman Aleesa sudaj berada di sana. Untungnya, Aleesa masih ada. Yansen takut Aleesa mendengar apa yang dikatakan Nathalie perihal sang kakak. Dia tidak ingin Aleesa terluka.
.
Yansen menarik tangan Aleesa yang berada di samping pinggangnya ketika motor yang dia kendarai berhenti di lampu merah. Dia menggenggam erat dan mengusap lembut punggung tangan Aleesa. Aleesa yang tengah terbengong pun sedikit terkejut. Namun, dia membiarkannya saja.
Di samping motor Yansen, ada sebuah mobil hitam mengkilap di mana sang pengemudi tengah menatap sendu ke arah Aleesa dan Yansen yang tengah begitu dekat di matanya.
Lampu pun sudah berubah. Motor dan mobil itu pun melaju kembali. Motor sudah terparkir di parkiran mall cukup besar. Yansen sudah membantu Aleesa membuka helm yang tersemat di kepalanya.
Kemudian, dia membantu Aleesa membenarkan rambutnya dan menggenggam erat tangan Aleesa memasuki mall tersebut. Kali ini, Aleesa tidak banyak bicara. Dia mengikuti saja ke mana Yansen membawanya.
Yansen sudah membeli tiket secara online dan dia hanya tinggal menunggu jadwal yang tertera di tiket tersebut saja.
"Satu jam lagi," ucap Yansen kepada Aleesa. "Apa mau makan dulu?" Aleesa menggeleng. Mendadak dia kenyang semenjak mendengar ucapan Nathalie tadi.
Lima belas menit menunggu, Aleesa terbangun dari duduknya. Yansen mencekal tangan Aleesa.
"Mau ke mana?"
"Mau beli makanan dulu," jawabnya.
"Aku antar." Yansen baru saja hendak berdiri, tapi ponselnya berdering. Sang kakaklah yang menghubunginya.
"Kak Grace."
"Jawab saja. Aku beli makanan sebentar." Yansen pun akhirnya mengangguk.
Aleesa sudah berdiri di depan counter makanan. Dia tengah memilih makanan yang dia inginkan. Padahal, perutnya tidak lapar. Dua makanan yang sama dia pesan begitu juga dengan minumannya. Ketika dia hendak membayar ternyata dompetnya ketinggalan. Juga ponselnya ini belum dipasang m-banking karena baru dua hari yang lalu dia ganti ponsel.
"Tunggu sebentar ya, Mbak." Penjaga counter pun mengangguk.
Ketika Aleesa menghampiri Yansen, seorang pria berkaos putih dengan topi berwarna hitam juga masker berwarna putih mendekat ke arah penjaga counter tersebut.
"Berapa yang harus dibayar perempuan tadi?" Sang penjaga counter pun menyebutkan nominalnya.
Pria itu memberikan kartu kepada penjaga counter tersebut. Kemudian, dia menekan pin dan makanan yang Aleesa pesan sudah dia bayar.
"Nanti tinggal kasih ke perempuan tadi aja, ya." Si penjaga counter pun mengangguk.
Si pria misterius itupun pergi dan Aleesa kembali dengan membawa kartu yang Yansen berikan.
"Maaf, Mbak. Ini kartunya."
"Ini semua sudah dibayar, Mbak." Aleesa tercengang dengan apa yang dikatakan oleh si penjaga tersebut.
"Siapa yang membayarnya?"
"Saya juga tidak tahu, Mbak. Setelah membayar makanan ini, Mas-nya langsung pergi."
"Mas?"
...***To Be Continue***...
Komen dong ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments
Adila Ardani
mampir maaf telat
2023-02-23
0
Anha Ruheni
restu sudah kembali
2022-10-03
2
ms. yati74
Oooh nak Gantengnya emak daah pulang😘😘
2022-09-13
1