Jessifer menggulingkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia membuka matanya perlahan, kemudian menggeliat meregangkan otot-ototnya.
Apakah aku lupa mematikan video player-ku lagi? Ia bertanya dalam hatinya. Pasti ya. Terpaksa deh, harus sarapan omelan lagi. Orang-orang sarapan omelette, aku sarapan omelan. Kuharap masih ada waktu untuk menonton sebelum berangkat ke sekolah.
Jess menoleh untuk melihat jam yang ada di atas meja di samping tempat tidurnya. Kalau aku bangun sekarang, mungkin aku masih sempat menonton dulu, pikirnya.
Isi kepalanya belum sepenuhnya jernih.
Begitu ia menoleh ke samping, ia tergagap dan mengerjap-ngerjapkan matanya.
Tidak ada meja!
Tidak ada kamar tidur.
Matanya memandang liar ke sana kemari. Dan ketika pandangannya tertumbuk pada langit-langit dari semen berwarna abu-abu, ia baru ingat di mana ia berada.
Kemudian ingat semua yang terjadi.
Tangannya mencengkram selimut kasar yang menutupi tubuhnya dan menyentakkannya ke atas hingga menutupi kepala, kemudian meringkuk seperti bola.
Aku tak ingin mengingatnya, pikirnya. Pokoknya tidak mau!
Samar-samar tercium bau segar cairan antiseptik di bawah selimut. Jess merasa seolah bau itu sudah bercokol sejak dulu di rongga hidungnya.
Tak lama kemudian terdengar bunyi pegas-pegas besi tempat tidur berderit. Gadis-gadis lain di ruangan itu mulai terbangun.
Selamat pagi, teman-temanku sesama psikopat, Jess membatin pahit.
Tak-tok, tak-tok, tak-tok.
Jess mengenali suara langkah-langkah kaki di permukaan lantai yang keras itu. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengetahui bahwa hanya para penjaga yang langkah kakinya kedengaran.
Semua gadis memakai sepatu kain warna hijau lunak yang tidak menimbulkan bunyi. Semua gadis yang ditempatkan di bagian khusus untuk "para pelanggar hukum dengan masalah kejiwaan" ini tidak diperbolehkan memiliki benda-benda keras atau tajam, bahkan sepatu pun tidak.
"Bangun, West! Cepat!" bentak wanita gembrot berambut cokelat pendek dengan mata bulat berwarna hitam.
Jess tahu, ia harus segera bangun. Peraturan di Rumah Tahanan Khusus "Remaja Bermasalah Dengan Kejiwaan" itu sangat ketat.
Ia juga tahu persis seharusnya ia tak boleh memanggil mereka---para wanita kasar dan berisik itu "penjaga". Seharusnya ia memanggil mereka, Miss atau Mrs. Tapi Jess tetap nekat memanggilnya "penjaga."
Sehelai handuk abu-abu usang tersampir di ranjang besi Jessifer. Disambarnya handuk itu, sementara kedua kakinya ia jejalkan ke dalam sepatu kain berwarna hijau yang menjadi seragam resmi di Rumah Tahanan itu. Termasuk juga pakaian tidur yang sekarang dikenakannya. Warnanya juga hijau dan tanpa saku.
Jess mengucek-ucek matanya dan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ayo baris," perintah wanita gembrot tadi.
Gadis-gadis itu berdiri membentuk barisan di depan pintu.
Jess berjalan mengikuti mereka menyusuri lorong berwarna kuning pucat yang dingin menuju kamar mandi.
Sambil berjalan malas-malasan, tatapan Jessifer menerawang keluar jendela yang berteralis besi. Di luar sedang hujan lebat. Jendela-jendela itu terlihat seperti disiram berember-ember air. Mendadak terdengar suara guntur yang menggelegar, membuat Jess serentak terlonjak.
Aku rela melakukan apa saja asal bisa berhujan-hujan di luar sana, pikirnya dengan perasaan merana. Kebebasan---bahkan untuk sekadar bermain hujan dan menggigil kedinginan---masih lebih menyenangkan daripada dikurung di tempat ini.
Apa pun masih lebih mendingan dibanding terkurung di sini.
Gadis-gadis itu akhirnya sampai di depan kamar mandi. Empat orang gadis sekaligus masuk untuk mandi. Ketika tiba giliran Jess, ia masuk bersama tiga gadis lain yang berwajah masam. Sesama "pelanggar hukum yang memiliki masalah dengan kejiwaan" seperti dirinya.
Tampangku mungkin juga sama jeleknya dengan mereka, pikir Jess. Diliriknya cewek-cewek itu melalui sudut matanya. Semua cewek psikopat bertampang sama.
Di dalam kamar mandi yang lampunya terang menyilaukan, Jessifer mencipratkan air ke wajahnya. Diamatinya bayangannya di cermin.
Jelek, Jess, katanya dalam hati pada bayangannya. Tampangmu sangat mengerikan!
Matanya yang cokelat besar itu sekarang dihiasi lingkaran hitam di bagian bawah matanya. Kulitnya yang semula cokelat karena terbakar matahari sekarang mulai menguning---kelihatan tidak sehat, pucat seperti warna dinding-dinding di rumah tahanan itu.
Dan rambutku kenapa? Ia bertanya dalam hati sembari menarik-narik rambut ikalnya yang sekarang kuyu dan lemas. Dalam waktu tiga hari rambutnya telah mati.
Ya, tiga hari!
Selama itulah aku berada di neraka ini, kenangnya pahit. Baru tiga hari. Tapi rasanya sudah seperti tiga tahun. Jess mengeluh.
Lebih baik aku berusaha membetah-betahkan diri, katanya dalam hati. Aku bakal lama mendekam di tempat ini.
Ia ingat waktu kebetulan mendengar pengacaranya memberitahu kedua orang tuanya bahwa ia tidak diizinkan pulang bersama mereka. "Pembunuhan merupakan pelanggaran hukum yang sangat berat," kata pengacara itu.
"Tentu saja!" Jess tertawa sendiri sambil menyikat rambut cokelatnya yang ikal gelombang.
Gadis di wastafel sebelah mengangkat kepala dan meliriknya dengan tajam.
Jess spontan membuang muka. Hebat, batinnya. Jadi sekarang aku juga mulai mengoceh sendirian? Benar-benar sinting. Mungkin aku memang cocok berada di sini!
"Hey! Yang di dalam sana cepat," teriak seorang wanita dari ambang pintu. Penjaga itu bertubuh besar dan wajahnya berbedak tebal. "West, setelah sarapan, kau harus langsung menemui Dr. Tjang. Jadi cepatlah."
Jess seketika merasa ngeri. Aku malas menemui Dr. Tjang lagi!
Kemarin dokter itu menanyai macam-macam, sampai kepalanya berdenyut-denyut.
Bagaimana kejadiannya?
Apa yang kau pikirkan saat itu?
Bagaimana perasaanmu waktu itu?
Jess tidak mau bicara lagi dengan dokter itu. Untuk apa diperpanjang kalau semuanya sudah dapat disimpulkan hanya dengan satu penjelasan…
KEPARAT!
.
.
.
Ghostroses, 2020…
Angin kencang menerpa wajah Jess ketika lampu merah di sudut perempatan jalan berganti kuning dan hijau. Puluhan kendaraan menyeruak tak sabar melewatinya, meninggalkan udara lembab yang bercampur debu.
Jess menaikkan tali ransel yang melorot dari bahunya, menarik tudung parkanya yang berwarna gelap untuk menudungi matanya, kemudian berjalan cepat di sepanjang trotoar dengan tertunduk, berusaha melindungi wajahnya dari pandangan semua orang yang berseliweran di sekitarnya, kemudian menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku parkanya dan mempercepat langkahnya.
Memasuki blok perumahan tempat kedua orang tuanya tinggal, Jess menghentikan langkahnya.
Rumahnya tidak begitu jauh dari jalan besar. Atap runcingnya terlihat dari tempat ia berdiri, menyeruak di antara pepohonan.
Sederet mobil polisi terparkir di tepi halaman rumahnya yang telah dipasangi police line.
Dua unit ambulans meluncur pelan memasuki pekarangan rumahnya. Sejumlah paramedis berlarian menyongsong ambulans-ambulans itu. Sejumlah personel kepolisian berjaga di sepanjang jalan masuk.
Apa yang terjadi?
Jessifer menghambur dan menerobos penjagaan. Dua orang polisi menyergap pinggangnya dan menahannya. Jess berhenti dengan napas terengah-engah. Dadanya mendadak terasa sesak dan perutnya serasa ditusuk-tusuk.
Satu per satu pintu-pintu ambulans itu terbuka. Satu per satu pula kereta usungan keluar dari dalam rumahnya.
Jessifer memekik tertahan. Kedua tangannya refleks membekap mulutnya. Usungan pertama melintas di depannya. Di atas usungan itu, terbaring seorang pria paruh baya berambut abu-abu---ayahnya. Kemudian usungan kedua menyusul, ibunya.
Jess jatuh berlutut. Menangis tanpa suara.
Setelah ia melewati tahun-tahun yang menyiksa di rumah tahanan, Jess akhirnya pulang, hanya untuk mendapati kedua orang tuanya tewas?
Jess tertunduk, kedua bahunya menggantung lemas.
Sepasang kaki bersepatu hitam mengkilap, mendekat ke arahnya. Seorang pria berpakaian dokter berjongkok di depannya.
Jess mengangkat wajahnya, menatap wajah di depannya dengan penglihatan buram oleh air mata.
Seraut wajah tampan tersenyum murung, menatap Jess dengan prihatin.
Jess mengenali pria itu sebagai Takeshi Felix, seorang ahli forensik, kolega ayahnya.
Pria itu merogoh ke dalam saku jas putihnya dan mengeluarkan selembar amplop dan memberikannya pada Jess.
Jess menerimanya dengan tangan gemetar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Seul Ye
Pengen maki2 si ash sutradara gadungan itu tapi ngeri si jess lagi mengkhayal..
2022-10-25
1
Ichi
Mulai seru ini 💃
2022-09-21
0
van Jake
Halo, Dokter Tjang!
Halo, Dokter Felix!
2022-09-18
0