Freemason Code Cinderella
Ghostroses, 2015.
"TOLONG! Tolong!" Jeritan itu menggema dari sebuah kamar hotel di lantai 13. Pada jendela bertirai putih terihat bayangan seorang gadis tengah merunduk di atas tubuh gadis lainnya seraya menghujamkan pisau ke leher gadis yang ditindihnya. Tak lama jeritan itu berakhir.
Jessifer menguap bosan.
Ia sudah empat kali menonton film itu. Sebagai film action yang satu ini tidak begitu seru, pikirnya kecewa. Dan ia seharusnya sudah tahu. Ia sudah menonton semua jenis film action.
Ia dan temannya Jasper bahkan berangan-angan untuk memproduksi film action saat mereka besar nanti. Saat ini Jessifer baru berumur 13 tahun, sementara Jasper baru 17 tahun. Masih terlalu muda untuk dianggap serius, menurut Jasper. Tapi mereka sudah membuat beberapa film sederhana bertema penculikan dengan camcorder milik ibu Jasper.
Biasanya, Jessifer berperan sebagai cewek jagoan. Dengan wajah lancip berbibir tebal, ditambah wajah arogan kelaki-lakian, membuat Jessifer terlihat seperti Angelina Jolie dalam film Tomb Rider. Selain itu, gaya berpakaiannya juga cenderung tomboi.
Tapi sekarang Jessifer menganggur. Ia berpisah dengan Jasper seminggu yang lalu karena harus pindah ke kota Ghostroses.
Ayah Jessifer adalah seorang Ahli Genetik dan ibunya seorang Ahli Sejarah. Keduanya baru saja menerima pekerjaan baru di kota yang sama.
Dan…
Di sinilah Jessifer sekarang. Mendekam di rumah baru mereka. Ia tidak punya kegiatan dan ia belum menemukan tempat menarik. Bahkan anak seumurnya juga tidak ada di sekitar sini.
Ayah dan ibunya bukan tidak pernah menyarankan untuk ia bersenang-senang di luar, tapi Jessifer lebih suka mendekam di dalam rumah. Menonton film action kesukaannya. Dan selama satu minggu ini, ia sudah menonton semua kaset yang dibawanya dari tempat lama.
Ibunya tidak mengijinkan Jessifer menggunakan laptop maupun telepon seluler karena khawatir anaknya mengakses situs film action sepanjang waktu. "Kau harus keluar, Jess! Tidak sehat bagi anak seumurmu untuk duduk terus di dalam rumah dan memelototi layar monitor sepanjang waktu!" Begitulah celoteh ibunya jika ia berani coba-coba meminta dibelikan laptop atau telepon seluler.
Jessifer menggeliat bermalas-malasan di atas tempat tidurnya.
Tak lama kemudian ibunya masuk dan menyibakkan tirai. "Jess! Aku mau pergi ke mall untuk belanja beberapa peralatan rumah dan stok makanan. Kau mau ikut?"
Jessifer mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau.
"Jessie!" Ibunya berkata dengan nada tegas. "Kau mau ikut atau tidak?"
Ini sih bukan ajakan, batin Jessie sebal. Tapi perintah!
Ibunya menyilangkan kedua tangannya di depan dada seraya mengetatkan rahang.
"Tapi, Mom, aku sedang menonton film pendidikan tentang pertolongan pertama pada kecelakaan!" Jessifer berdalih. Ia memperlihatkan kotak kaset bergambar ambulans dan paramedis.
Ibunya melotot. "Itu film pembunuhan, Jessie! Aku tahu. Dan kau menyia-nyiakan masa mudamu dengan menonton film seperti itu. Ayo kita pergi!"
Begitu sampai di dalam mall ibunya langsung memasuki toko perabotan, sementara Jessifer memilih menunggu di selasar lantai dua.
Di selasar itu ada sebuah bangku kayu yang menghadap ke sebuah toko senjata mainan. Di atas pintu masuk toko itu ada sebuah televisi yang menghadap ke arah bangku kayu tadi. Tayangan pada layar televisi itu menarik perhatian Jessifer.
Sebuah cuplikan film action menampilkan beberapa figur jagoan berkekuatan super. Ada manusia robot berwajah khas Asia dengan sepeda motor yang bisa berbicara. Figur itu di beri nama Edson_99. Lalu ada wanita bermata biru mengenakan seragam model Army yang disebut New Born. Tak lama tayangan gambar seseorang sedang mengetik berlapis gambar matrik bercahaya biru yang berkelebat-kelebat berganti-gantian dengan gambar seseorang yang sedang menulis pada sebuah buku. Gambarnya berkedip-kedip cepat hingga tak tertangkap secara utuh. Tahu-tahu gambar sudah berganti gambar buku yang terbuka dan melayang dalam mode slow motion.
Jessifer mendengar suara di belakangnya, tapi cuplikan film itu sedang seru-serunya.
Seorang pria Asia berwajah lancip khas boneka migi dengan rambut lurus sebahu bergaya hun—diikat separuh di bagian atas khas pendekar samurai, mencengkeram bahu seorang pria berseragam medis yang tengah sibuk memelototi layar monitor.
Dan Jessifer merasakan bahunya juga di cengkeram.
Pria berpakaian medis itu menatap tangan di bahunya kemudian menoleh ke belakang. Tapi pria Asia itu seketika lenyap meninggalkan semburan debu yang diperlambat sebelum muncul tulisan: Ash.
Jessifer menahan napas dan menyentakkan kepalanya ke belakang. Cuplikan adegan film tadi masih melekat dalam kepalanya. Dan ketika ia menoleh, ia tak melihat tangan yang mencengkeram bahunya tadi. Jessifer spontan tergagap. Rasanya seperti adegan dalam film tadi, pikirnya.
"Jess!" Ibunya melotot tak sabar di sampingnya.
Jessifer memekik tertahan. Pantas saja tidak ada orang di belakang, pikirnya.
Ibunya mengamati layar televisi di atas pintu masuk toko senjata mainan itu dan mengerang. "Film-film semacam ini membuatmu jadi sering kaget. Kau harus berhenti menonton. Ayo pulang!"
"Apa?" Jessifer melengak. "Tapi--"
"Aku tak mau dengar kata tapi!" Ibunya menyela.
Tapi bukannya tadi dia bilang ingin berbelanja stok makanan, kata Jessifer dalam hati. Ia berusaha mencari tahu judul film tadi tapi ibunya keburu menyeretnya menjauh. "Mom--" Jessifer mengerang. "Memangnya Mom sudah belanja stok makanan?"
"Oh, ya ampun!" Ibunya melepaskan cengkeramannya. "Beruntung kau mengingatkanku!"
Jessifer membeliak sebal menanggapi kebiasaan buruk ibunya.
"Kau jangan ke mana-mana!" Ibunya memperingatkan.
"Aku akan menunggu di tempat tadi!" Jessifer memberitahu ibunya.
"Berhentilah menonton film-film aneh, Jess!" Ibunya berteriak dari depan pintu masuk toko makanan.
Jessifer hanya mengangkat bahu. Lalu berbalik mengabaikan peringatan ibunya.
Tak lama kemudian ia merasakan tangan seseorang mencengkeram bahunya dengan kuat. "Mom!" Jessifer berusaha menyentakkan tangan itu dari bahunya. Tapi ia merasa kepalanya mendadak pusing. Angin kencang menghempas dirinya seperti tornado. Tak lama kemudian ia terjerembab ke lantai dalam posisi berlutut. Ia menggulingkan tubuhnya ke posisi duduk terlentang, kemudian mendongak dan mengerjap kebingungan.
Seorang pria berwajah lancip khas boneka migi dengan rambut lurus sebahu bergaya hun menatapnya dari atas tubuhnya yang sedang terduduk di lantai. Usianya sekitar lima tahun lebih tua dari Jessifer. Tapi tampangnya terlihat seumuran. Pria itu mengenakan kostum assassin dalam film tadi.
Jessifer menelan ludah. Wajah pria itu juga sama persis seperti karakter bernama Ash.
Jessifer segera beranjak dari lantai dan mengedar pandang. Ia melihat ruangan di sekelilingnya dipenuhi senjata mainan. Apa dia mendorongku tadi?
Pria berwajah khas Asia itu menarik sudut bibirnya membentuk seringai tipis.
"Kau—" Jessifer terbata-bata. "Ash..."
"Commander!" pria itu menegaskan. "Namaku Ashley Commander," katanya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Jessifer menelan ludah dan beringsut mundur menjauhinya.
"Apa kau takut padaku?" Pria itu bertanya seraya menaikkan sebelah alisnya.
Jessifer tergagap-gagap. Entahlah, katanya dalam hati. Ia hanya tak yakin dengan apa yang terjadi.
"Apa kau suka film-ku?" Pria itu bertanya lagi.
Jessifer menepuk-nepuk bagian belakang celananya untuk menepiskan debu. "Aku belum pernah menonton film-mu," katanya terus terang.
"Kalau begitu lupakan saja!" sergah pria itu. "Bagaimana kalau kau ikut bermain saja dalam film-ku? Apa kau tertarik?"
Jessifer terkesiap.
"Apa kau punya pengalaman akting?"
"Sedikit!" Jessifer menjawab ragu.
"Tidak masalah," pria itu mendesah pendek. "Aku hanya butuh kesediaanmu. Apakah kau mau ikut bermain dalam film-ku?"
"Apa aku boleh meminta waktu untuk bicara pada ibuku?" Jessifer mencoba bernegosiasi. Tapi matanya berbinar-binar senang dan bersemangat. Aku main film sungguhan, batinnya senang.
"Aku hanya membutuhkanmu beberapa detik saja," tutur pria itu. "Hanya sebagai figuran. Tidak ada kontrak atau apalah, tidak ada perjanjian yang akan mengikatmu dalam jangka panjang."
"Oh," gumam Jessifer sedikit kecewa.
"Aku akan memberimu 7000$ untuk akting membidik dan menembak. Bagaimana? Apa kau mau membantuku?"
Tujuh ribu dolar hanya untuk akting membidik dan menembak? Jessifer membelalakkan matanya. "Baiklah!" Ia langsung menyetujuinya.
"Baiklah!" Pria itu menyeringai. Lalu meletakkan kedua tangannya di bahu Jessifer dan memutar tubuhnya. "Pilihlah sendiri jenis senjata favoritmu!" pria itu memajukan dagunya untuk menunjuk koleksi senjata mainan di depan mereka.
Jessifer kembali tergagap.
"Ayolah pilih saja!" Pria itu mendesaknya.
Jessifer menunjuk salah satu senjata model Barrett M82A1.
Pria itu tersenyum puas. Lalu ia menjentikkan jarinya pada dua pria berpakaian serba hitam model army yang segera menghampirinya. Pria itu memberikan instruksi pada kedua pria itu kemudian membimbing Jessifer ke tepi balkon.
"Aku bayar di muka!" Pria itu menyodorkan setumpuk uang pada Jessifer.
Jessifer membeku sesaat kemudian menerimanya. Lalu ia menghitungnya dan benar saja. Jumlahnya memang 7000$.
"Senjatamu akan siap sebentar lagi," pria itu memberitahu. "Omong-omong, siapa namamu?"
"Jessifer West!"
"Senang bekerja sama denganmu, Jess!" Pria pirang itu menyalami Jessifer.
Dua orang pria berpakaian serba hitam model army tadi membantu Jessifer memasangkan senjata mainannya pada railing di selasar lantai tiga. Sementara Ashley memberitahukan sasarannya pada Jessifer. Ia menunjuk ke arah salah satu pengunjung pria dengan tuxedo yang tengah berdiri di depan pintu masuk di lantai dasar.
Tiba-tiba saja Jessifer merasa gugup. "Itu saja?" tanyanya tak yakin.
"Ya!" jawab Ashley. "Bagianmu hanya membidik dan menembak, itu saja. Setelah itu, tugasmu selesai."
Baiklah, kata Jessifer dalam hati. Akting ini tidak membutuhkan ekspresi tertentu. Seharusnya mudah. Ia menoleh ke belakang dan seorang pria lain sudah bersiap dengan kamera di tangannya.
Ashley bersedekap di sisi kameraman itu seraya mengangguk ke arah Jessifer, mengisyaratkan gadis itu untuk bersiap.
Seorang pria lainnya berdiri di belakang Jessifer dan mendemonstrasikan bagaimana cara menggunakan senjata itu.
Jessifer mengangguk mengerti. Lalu bersiap.
"And…" Ashley menaikkan sebelah tangannya memberikan aba-aba, "Action!"
Dan Jessifer membidikkan senjatanya dan menekan pelatuknya. Senjata itu meletup dan mengentak keras di tangannya---rasanya seperti senjata sungguhan.
JLEB!
Jessifer terkesiap.
Pria dengan tuxedo di lantai dasar itu tersungkur di lantai dan tak bergerak lagi.
Seketika lantai dasar berubah gaduh. Orang-orang memekik dan berteriak.
Dan sebelum Jessie menyadari apa yang terjadi, Ashley dan para stafnya sudah menghilang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
hanz
biasanya anak cewek paling suka kalau diajak shopping.
2024-12-24
0
MUL
karya nya fresh 🤭
2022-12-04
1
Lee
mampir di sini lagi Thor.
suka karyamu bisa mendeskripsikan situasi dan kondisi sehingga pembaca seolah-olah melihat sendiri kejadiannya 🤩🤩
2022-11-03
2