"Dar, aku pulang duluan, ya. Adikku nelpon terus, biasa Azka lagi rewel." pamitnya kepada Dara. Setelah diizinkan pulang oleh Rendra.
Sebetulnya, Amanda belum bisa pulang. Masih ada satu jam, untuk berganti shift dengan pegawai lain. Tapi, keadaan memaksanya.
"Iya, Man. Gue maklum kok, semoga dedek Azka sehat terus."
Ia mengangguk, seraya tersenyum berterima kasih atas pengertian Dara yang memang satu-satunya pegawai yang paling akrab dengannya.
"Makasih, Dar."
Amanda mengacungkan jempol kiri ke arahnya sebagai jawaban. Sambil menggendong tas kecil, ia mulai berjalan cepat. Namun, tarikan tangan seseorang yang, membuat Amanda terkejut. Tangan itu, menarik tangan Amanda menuju parkiran.
"Rendra? Apaan-apaan sih! Lepas!" Setelah keterkejutannya hilang, lantas Amanda berontak mencoba melepaskan tangannya dari kungkungan erat tangan Rendra-seseorang yang tadi menariknya-.
Rendra tidak peduli, dia tetap melangkah lebar tidak peduli.
"Ren!" Amanda berseru lagi, kemudian meringis sakit dipergelangan tangan yang dicengkeram erat oleh Rendra.
"Rendra lepas!"
Ia belum bisa bernapas lega, ternyata Rendra mendorongnya untuk masuk ke dalam mobil, karena panik Amanda berteriak seraya menggedor-gedor kaca mobil.
Masih dengan mengabaikan penolakannya, Rendra duduk di kursi kemudi, kemudian mulai melajukan mobil tanpa persetujuan.
"Aku antar sampai ke rumah kamu."
"Aku bisa sendiri, Ren," balas Amand tegas.
"Kalau kamu takut suami kamu marah, aku bisa jelaskan kita udah nggak ada hubungan apapun. Anggap kita hanya sebatas atasan dan bawahan."
Amanda menghela napas sesak, tangannya berhenti menggedor-gedor kaca mobil. "Mau kamu apa, sih?"
"Udah cukup, dulu kamu nyakitin aku. Kenapa sekarang kamu harus muncul lagi?" Lirihnya, mulai lelah dengan perilaku Rendra yang seolah menganggap semuanya baik-baik saja.
Rendra tidak berbicara apapun, lelaki itu mengambil sebuah foto di dasboard mobil. Lalu, memberikannya pada Amanda. Foto Azka se-masa kecil.
"Aku nemuin itu, di dekat dapur. Seharusnya kamu tau, apa yang menjadi pertanyaanku sekarang."
Amanda memegang foto itu, yang memang sempat dicarinya kemarin karena hilang dari dompetnya. "Kamu berpikir foto anakku mirip sekali dengan foto kamu waktu kecil?" tebak Amanda dengan senyuman getir. "Jangan berasumsi terlalu jauh, mirip bukan berarti sedarah."
"Udahlah, Ren. Buat apa mengusik kehidupan aku lagi, toh kita udah sepakat buat berpisah," saran Amanda yang semakin muak.
Rendra mencengkram stir mobil dengan kuat, pancaran matanya menyimpan kesedihan dan penyesalan mendalam. Ia masih tidak rela, jika tidak dipersatukan kembali dengan Amanda. "Kesalahan paling fatal yang aku sesali dulu adalah meninggalkan kamu. Aku menyesal, karena terlalu sibuk untuk melupakan sampai nggak sadar kalau kamu sudah menikah. Aku nggak tau kenapa hatiku mengatakkan kalau kamu menyembunyikan sesuatu, terutama tentang anak kita."
"Putri Salju, seperti julukan yang diberikan teman-teman. Kamu nggak mungkin tega menggugurkannya."
"Sudah aku bilang Ren. Anak itu udah mati, seperti yang kamu inginkan dulu. Terlepas dari kemiripan kamu sama Azka, ayah kandungnya itu Mas Adit! Jangan buat kerumitan lagi, karena semuanya udah selesai. Kalau kamu masih bersikap seenaknya begini sama aku. Aku bakal resign dari restoran, ini bener-bener buat aku nggak nyaman."
Final, Amanda berharap Rendra mengerti.
"Berhenti!"
Rendra masih mengabaikannya.
"Aku bilang berhenti, Rendra!"
"BERHENTI"
Baru setelah Amanda mengerahkan suaranya sekeras mungkin, Rendra menginjak pedal rem. Lalu membiarkan Amanda keluar dari mobilnya. Lelaki itu masih sepenuhnya belum yakin dengan pernyataan Amanda.
"Asal kamu tau, Manda. Aku nggak bakal meminta apapun, selain kejujuran kamu. Aku hanya ingin menebus kesalahanku dulu," gumam Rendra dengan nada sedih.
***
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan dan sempat dikejar oleh Rendra. Akhirnya Amanda sampai di rumah dan menadapati Azka masih menangis digendongan Gilang. Terlihat pula Risti yang duduk di soffa dengan wajah lesu, ia kira gadis itu kewalahan.
"Abang kenapa? Ampe nangis gini, duh anak bunda yang ganteng ini kasihan banget digalakin sama om Gilang ya? Cup-cup biar bunda marahain si om-nya." Amanda mengulurkan tangannya untuk mengendong Azka. Tangisannya mereda setelah melihat sang ibu.
Di usapnya puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang. Azka pasti lelah menangis, sampai menimbulkan perubahan di matanya yang semakin sipit dan bengkak.
"Kok, bisa nangis sih Lang?" Tanya Amanda pada Gilang yang beralih duduk di soffa, terlihat lega.
Gilang mengangkat bahunya. "Tadi sih, Azka minta dianterin katanya mau main ke rumah sebelah. Nggak se-jam Gilang tinggal nonton televisi. Denger tangisan di luar. Ternyata Azka nangis sambil di gendong sama babby sitter."
"Kamu nggak tanya sama bi Sumi Azka kenapa?"
Gilang menggelengkan kepala. "Nggak sempet, keburu panik. Azka nangisnya kenceng banget."
Amanda memutar bola mata. "Alesan."
"Nggak percayaan amat."
"Abang kenapa nangis?" tanyanya setelah anak itu sudah tidak menangis. Masih cemberut.
"Ada temen Lomi, dia ejek Abang sama Lomi. Katanya kita nggak punya ayah. Padahal kan, Abang punya ayah. Ayah lagi kelja kan bunda?" tanyanya dengan nada polos. "Abang malah sama temen Lomi, Abang pukul telus dia dolong Abang sampe kepala Abang sakit."
Amanda lantas mengusap kepala anaknya, seraya memeriksanya. "Udah nggak apa-apa, jangan didengerin. Bentar lagi ayah pasti pulang, kok. Nanti bisa main lagi sama Abang, sama Romi juga."
Beban sekali sebenarnya harus menjadikan perihal kepulangan suaminya yang entah akan pulang kapan. "Eh, Om Gilang sekarang mau pulang, loh. Abang mau ikut anterin nggak ke depan?"
Amanda mengalihkan topik. Azka langsung berdiri, semakin memberengut. "Kenapa pulang bunda? Om Gilang kenapa ndak tinggal di sini aja?"
"Coba Abang tanya sendiri ke Om Gilang, sana!"
Anak itu lantas berlari menghampiri pamannya yang sedang siap-siap.
Sementara Amanda mengambil ponselnya. Walaupun tidak terlihat berusaha mencari suaminya, ia selalu menyempatkan diri untuk memberinya pesan atau mencoba menghubunginya.
To : Mas Adit❤️
Kapan pulang? Azka nangis diejek temennya, gara-gara dikira nggak punya ayah, loh. Aku aja sedih dengernya, gimana kamu, pasti marah besar.
To: Mas Adit ❤️
Katanya, kamu pengen banget Azka punya adek. Kalau gini caranya, kapan kita melanjutkan prosesnya. Aku kangen tau.
To : Mas Adit❤️
Kamu sepertinya lagi sibuk. Yaudah deh, tetap semangat. Aku tunggu akhir bulan ini, sayang❤️
Amanda tersenyum sedih melihat ketikannya di ponsel itu. Ia tahu suaminya tidak akan membaca apalagi membalas, tetapi hal ini cukup membuat perasaannya membaik. Ia menyimpan ponselnya kembali ke tas.
Kakinya melangkah menghampiri Azka dan Gilang. Meskipun adiknya hanya bertemu sebentar dengannya, Amanda merasa itu cukup mengobati kerinduannya pada keluarga.
Niat Gilang menemuinya ternyata bukan hanya untuk melepas rindu, tetapi adik satu-satunya itu akan pamit, karena dia akan pergi ke Magelang untuk sekolah kedinasan, bahkan Gilang meminta padanya untuk datang ke Bandung, H-1 sebelum keberangkatan.
Amanda punya waktu beberapa minggu untuk memikirkan itu, ia sebenarnya belum punya nyali besar menemui ayahnya. Terlalu malu dengan kehidupannya sekarang. Bagaimana jika dia di usir lagi? Ah, membayangkannya saja membuat hatinya sakit.
Ting.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya dari nomor asing.
From: 0856xxxxxxxx
Maafin aku, Amanda.
Tetapi Amanda belum menyadarinya, ia sedang tengah menikmati waktu terakhirnya bersama sang adik di ruang tamu.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments