Ayah Untuk Azka
"Bunda, abang kangen ayah. Ayah kapan pulang?"
Amanda tersadar dari lamunan, ketika Azka-sang anak-bersuara dan memeluk lehernya dari belakang. Napasnya menderu hangat, menandakan keadaannya sedang kurang sehat. Pun, setelah itu suara batuknya yang dirasa pasti menyakitkan.
Tangannya mengusap lembut rambut lebatnya, lalu menyusupkan wajah Azka di cekungan leher membuatnya berontak serta menangis.
"Abang kangen ayah, bunda."
Lagi, dan lagi. Jika boleh, Amanda ingin sekali tenggelam dalam ribuan kanvas dengan berbagai cat warna daripada harus melihat satu-satunya penyemangatnya menangis. Terlebih itu dikarenakan oleh ayahnya yang hampir satu bulan tidak pulang karena urusan kerja.
Dan selama itu pula, Amanda merasa hidup kesusahan. Ditambah, minggu-minggu terakhir ini ayah Azka susah sekali di hubungi, Amanda harus putar otak, mencari penghasilan lain, karena stok tabungan juga mulai menipis. Mereka hidup dalam kesederhanaan di sebuah kontrakan kecil di pemukiman padat penduduk. Ayah Azka hanya seorang karyawan swasta di salah satu perusahan kecil, penghasilannya tidak seberapa.
"Besok libul bunda, abang mau beli mobil ama motol. Boleh ndak?" tanyanya kemudian, tangisannya sudah reda. Sepertinya Azka ingat dengan hari Sabtu yang selalu diisi pergi bersama ke toko mainan.
"Mainan abang kan banyak, masih pada bagus semua lagi. Masa beli terus, abang harus ngehemat uang. Ayah kan lagi nggak ada. Kita belinya pas ayah udah pulang aja, ya?" Amanda memberi pengertian kepada Azka, walaupun agak sangsi anak seusianya bisa mengerti.
Azka cemberut, matanya nampak berkaca-kaca lagi. Hati Amanda terasa dicubit, melihat Azka bersedih membuatnya merasa menjadi ibu paling gagal. Hal se-sepele ini saja Amanda merasa sulit mengabulkannya.
Apa ini sebuah karma atas kesalahannya di masalalu? Dulu, Amanda tidak pernah se-susah ini. Ayahnya selalu mengabulkan permintaan Amanda, bahkan untuk hal-hal kecil. Tapi, kenapa nasib Azka malah berkebalikan?
Ada rasa hati, ingin meminta pertolongan pada keluarganya, supaya hidupnya lebih baik tapi rasanya malu, Amanda tidak ada keberanian untuk menunjukkan batang hidungnya terutama pada ayahnya.
Fy. Amanda dan suaminya menikah 5 tahun lalu ketika usia Amanda 17 tahun sementara ayah Azka 24 tahun. Mereka terpaksa menikah tanpa restu orang tua dan memilih merantau ke kota orang memulai hidup baru. Amanda lebih memilih lelaki yang sekarang menjadi suaminya, ketimbang melanjutkan pendidikannya padahal dulu masa depannya sudah dijamin oleh ayahnya.
"Bunda, kemalen uga bilang gitu telus. Maenan abang uda jelek semua, motolnya lusak, ban mobilnya ilang diinjek sepeda Lomi." Azka bercerita sembari sesenggukan, tangannya menunjuk mobil mainan berwarna merah yang sudah rusak dekat televisi.
Amanda menghela napas.
"Yaudah, besok kita pergi ke toko mainan. Kita beli yang baru, tapi janji sama bunda belinya satu, cuman satu."
Azka mengangguk antusias, menghapus air matanya dengan kedua tangan, kemudian memeluk leher Amanda. Tangannya mengusap pelan bahu Azka, sebenarnya ia tidak tahu sebenarnya darimana akan mendapatkan uang untuk mainan itu.
Amanda tidak punya keahlian, selain melukis. Tidak bisa masak, mencuci baju serta piring, menyetrika, dan hal lainnya karena Amanda memang terbiasa dimanjakan dari kecil. Pun, ketika Amanda berpisah dengan mereka, ayah Azka yang melakukan itu semua. Sampai banyak tetangga yang bilang, suaminya itu seperti pembantu istrinya.
Amanda ingin belajar, tetapi larangan dan tatapan mata ayah Azka-lah yang membuat Amanda tidak berkutik. Dia selalu bilang, Amanda tidak boleh capek dan pekerjaan utamanya adalah memberikan kasih sayang kepada Azka.
Amanda sekarang menyesal, jika saja mencoba mungkin keadaannya berbeda lagi. Ia tidak akan membeli makanan di luar, tidak akan mencuci baju hingga berjam-jam. Akibatnya hal lain yang dikerjakannya selalu tidak sempurna.
Contohnya, keadaan Azka sekarang. Amanda ceroboh membiarkannya bermain ketika hujan tanpa mantel, hingga membuatnya hanya berbaring di tempat tidur.
**
Keeseokannya, pada siang hari sekitar pukul sebelas. Amanda berhasil menemukan pinjaman dari tetangga sebelah yang memang seorang bidan. Namanya, Nissa. Amanda biasa memanggilnya, Teh Nissa. Wanita cantik yang memiliki satu orang anak seumuran Azka. Dia sangat baik, walaupun jam kerjanya padat tetapi selalu menyempatkan diri bercerita bersama, semisal tentang Amanda yang curhat tentang ayah Azka yang belum juga pulang, atau suaminya yang telah lama meninggal.
Bahkan sangking baiknya, dia memperbolehkan Amanda menitipkan Azka di rumahnya bersama seorang babby sitter tanpa perlu membayar.
Amanda memang tidak bisa diandalkan dalam pekerjaan rumah tangga, tetapi ia tetap berusaha mencari kerja terbukti dirinya diterima di salah satu restoran.
"Bunda, nanti abang mau beli mobil kelen kaya punya lomi. Telus motor lacing uga, ya bun?" Tanya Azka dengan mata berbinar lucu.
Rasanya Amanda tak kuasa untuk berkata tidak. Aku mengangguk, kemudian mencium gemas pipi gembul Azka. Azka tertawa cekikikan, menghalau ciuman yang bertubi-tubi. Ah, senangnya melihat Azka kembali sehat dan tertawa seperti ini.
"Siap, pangeran!"
Sebelum berangkat ke toko mainan yang jarak dari rumahnya lumayan jauh, Amanda terlebih dahulu memastikan kompor bekas memasak air sudah dimatikan, kemudian mengunci pintu rumah. Setelah itu, mulai berjalan menyusuri gang bersama Azka yang sudah siap dengan stelan baju minion.
Dulu, jika akan pergi ke toko mainan Amanda tidak perlu bersusah payah berjalan, karena ada ayah Azka yang bisa mengendarai motor. Ia dan Azka akan menjadi penumpang yang baik, memakai helm dan berpegangan ke baju atau kaos yang dikenakan ayah Azka. Dan saat itu pula dengan romatis ala-ala anak muda, ayah Azka akan tersenyum, Amanda bisa melihat senyumnya lewat kaca spion. Lalu setelahnya, ayah Azka akan mengeratkan pegangan tangannya menggunakan satu tangannya yang menganggur. Ah, rupanya Amanda sedang rindu dengan suaminya.
Akhirnya dengan kaki yang lumayan pegal, Amanda sampai di jalan raya. Kemudian, menaiki salah satu angkutan umun berwarna biru yang bertujuan langsung ke mall. Bukan mall elit, tetapi mall ramah kantong untuk semua kalangan.
Ini pertama kalinya Azka menaiki angkutan umum. Seperti yang Amanda bilang, selama ini hidupnya sangat bergantung kepada ayah Azka. Kemana-mana selalu bersama. Kalau pun, ada waktu di mana ayah Azka sibuk bekerja. Amanda akan dimintai menaik ojeg saja. Alasannya, lebih cepat dan Azka pasti nyaman.
Tiba-tiba Amanda terkejut dan panik, Azka muntah wajah berkeringat dan pucat pasi. Aku benar-benar bingung.
Aku memang sering, melihat Azka muntah. Tetapi bukan karena angkutan umum, apalagi keadaannya yang baru sembuh dari sakit membuatnya semakin khawatir.
"Aduh, neng kasian itu anaknya. Coba balurin dulu sama kayu putih, ke badannya."
Amanda tersenyum berterima kasih kepada satu-satunya penumpang yang ada di angkutan ini. Ibu berwajah ramah yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua.
"Makasih, bu."
Ku lihat dari ekor mata, ibu yang belum aku ketahui namanya itu. Mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah tisu dan plastik hitam kecil.
"Bersihin dulu neng, muntahnnya terus ini ibu kasih plastik takut anaknya muntah lagi."
Melihat kebaikan ibu ini yang tulus, membuat terharu dan teringat akan Mama. Huh, bagaimana kabar beliau setelah Amanda pergi hampir 5 tahun ini? Apa beliau sudah memaafkannya?
"Yaampun bu, makasih banget."
"Iya sama-sama, neng," balasnya seraya mengusap rambut Azka yang lemas dipangkuan Amanda. "Saya kepengen punya cucu, tapi anak saya satu-satunya malah nolak terus kalau disuruh nikah. Katanya belum ada yang cocok. Dasar anak saya memang bandel, kerjaannya kerja terus sampai lupa sama ibunya sendiri."
Amanda meringis, kehidupan seseorang memang berbeda-beda.
Dulu, Amanda memaksa ingin menikah tetapi semua keluarganya melarang. Sekarang, ada ibu yang mengharapkan anaknya menikah karena sudah mapan, tetapi anaknya tidak mau. Masa depan begitu sulit ditebak.
Seandainya dulu Amanda tidak selabil itu, mungkin sekarang dirinya seperti anak ibu di hadapannya ini, sedang meniti karier. Namun kelabilan itu tak serta-merta membuatku menyesal dengan kehadiran Azka. Justru, Azka adalah alasan Amanda terus bersyukur dan harus tetap menjalani hidup, bagaimanapun caranya.
Amanda yang sedang membaluri perut Azka dengan kayu putih. Tersenyum pedih ketika Azka mengadu dengan nada pelan.
"Bunda, abang pucing. Kita kenapa ndak naik motol ayah aja?"
"Kan ayah lagi kerja, sayang. Sibuk banget. Abang nggak mau kan ayah marah?"
"Kalau ayah lagi sibuk, kita kenapa ndak naik ojek motol aja?"
Dalam keadaan sakit saja, Azka masih bisa menjawab pertanyaan Amanda. Persis seperti ayahnya, rasa penasarannya selalu tinggi. Andai Azka tahu, kenapa dirinya memilih untuk menaik angkutan umum daripada ojeg, itu karena uang yang dipegang sedikit dan ojeg lebih mahal ongkosnya. Amandq bukan tipical orang pelit, sedikitnya rezeki pasti disisihkan untuk orang-orang yang lebih membutuhkan. Tetapi dalam kondisi seperti ini, Amanda harus bisa hemat.
"Udah ya, abang jangan banyak bicara dulu. Nanti makin lemes, mau muntah lagi?"
Amanda menghela napas lega, karena Azka mulai menganggukkan kepalanya dan memejamkan mata. Melihat keringat yang mengucur dari pelipis, tanganku bergerak mengusap keringat Azka.
Brak!
Tangan Amanda memegang erat badan Azka, agar tidak terpental ke depan. Akibat angkot yang meng-ngerem mendadak.
"Heh, pak! Kalau nyetir teh pelan-pelan, kasian ada anak kecil. Untung, nggak kenapa-napa!" gerutuan si ibu baik hati itu, sama persis dengan gerutuan yang akan Amanda ucapkan.
"Maaf bu, maaf." Pak supir memohon maaf, kemudian membuka pintu. Dari sini bisa dilihat, banyak orang yang berkerumun. Mungkin ada orang yang tertabrak. Ia tidak tahu jelas, sebab pokusnya hanya kepada Azka. Sempat melirik, ternyata si ibu baik hati itu juga, keluar dengan raut panik.
"Rendra! Aduh, tolong ini anak saya! Tolong, bawa ke rumah sakit!" Tak lama kemudian teriakan terdengar di telinganya. Disusul oleh beberapa warga yang menggotong korban, menuju ke arah angkutan umum yang sedang mereka naiki.
Benar saja, setelahnya Amanda melihat si ibu tersebut naik angkot kembali dengan tangisan, plus si korban yang di baringkan di bawah kursi.
"Bun, abang takut." Amanda memeluk Azka yang bangun dan ketakutan karena keadaan ramai.
"Nggak apa-apa, kita pindah angkutan."
Ketika Amanda akan turun dari angkutan umum, si ibu itu malah meminta tolong kepadanya untuk menghubungi suaminya. Tentu, ia tidak bisa menolak dan sempat heran, dari sekian banyaknya orang kenapa harus dirinya yang dipintai tolong.
"Tolong sekali ya, neng."
Aku mengangguk, mulai mencari kontak suami ibu tersebut yang ternyata dinamai 'my husband love' Amanda tertawa dalam hati. Romantis sekali mereka ini.
Setelah berhasil menelpon suaminya, Amanda mengembalikan ponsel si ibu dan berkata kalau suaminya akan langsung ke rumah sakit.
"Makasih ya, neng."
"Sama-sama bu." Saat angkutan melaju, Amanda hendak berkata untuk berhenti saja. Tetapi suara penolakan dari korban, entah kenapa familiar dengan seseorang.
"Ma, mama nggak usah lebay sampe bawa Rendra ke rumah sakit. Rendra nggak apa-apa ma!" Responnya tersebut mendapat pelototan dari si ibu.
"Kamu luka Ren, gimana mama nggak panik! Lagian udah mama bilang nggak usah jemput, kamu kan baru aja sembuh dari tipes! Liat, sekarang jadi gini! Untung tadi mama ngenalin kamu!"
Amanda merasa pernah merasakan hal ini alias deja vu.
"Kamu nggak usah lebay ca, aku cuma jatoh dari pohon. Aku nggak apa-apa!"
Sekelebat bayangan masa lalu terlintas diingatan, ketika masa sekolah menengah atas. Hal ini sama apa yang pernah dirasakannya, bahkan suaranya sama persis.
Amanda mendongkak dan mendapati lelaki berpenampilan santai dengan rambut klimis itu, matanya melotot tidak percaya.
"Rendra?"
Dia menatapku, Amanda tebak dia sudah mengetahui keberadaanya sesaat masuk ke dalam angkutan umum. Namun, sepertinya dia memilih diam.
"Rendra?"
Amanda memanggilnya kembali, dia buang muka. Ibunya malah kelihatan bingung.
"Kalian saling kenal?"
Lagi-lagi, Amanda hanya bisa mengangguk lirih.
"Bang, stop, bang!" Rendra berteriak nekad, angkutan berhenti dengan jalan pincang sebab kaki satunya terkilir. Dia turun mengabaikan teriakan khawatir ibunya.
Setelah hanya ada Amanda dan Azka yang menjadi penumpang. Mulutnya mendesah lelah, setelah sekian lama. Kenapa dalam keadaan seperti ini, Amanda harus bertemu dengannya lagi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
mampir thor
2022-09-18
0