3 : Kedatangan sang adik

"Mauuuuu motol racing!"

Amanda kelimpungan menghadapi Azka yang menangis karena hanya dapat membeli mobil-mobilan seharga 50 ribu. Sementara motor tersebut seharga 200 ribu. Ia hanya bisa menenangkan Azka dengan usapan di bahu dan meng-iming-iming hal yang lebih indah dari membeli motor mainan itu.

Suatu hal yang sekarang Amanda sesali adalah, tidak tegas pada anaknya. Seharusnya dulu, ia dan suaminya tidak memanjakan Azka, lihat setiap Romi membeli mainan baru, anaknya itu pasti merengek ingin dibelikan. Padahal, minggu lalu Amanda sudah ke mall ini untuk membeli mainan.

"Abang jangan nakal. Abang udah janji lho sama bunda, beli satu aja. Nanti kalau ayah udah pulang, kita beli banyak mainan. Abang boleh beli robot, terus lego, apa lagi ya. Oh, itu beli mobil remot? Gimana? Mau ngga?" Azka mengangkat kepalanya dari cekungan leher. Matanya memerah dan ingusnya meler di baju yang dipakai oleh Amanda.

"Abang maunya motol lacing! ndak mau lobot. Mau motol lacing! Motol lacing!" Azka memukul-mukul muka ibunya hingga kewalahan. Barang yang tadi dibeli Amanda berikan pada Azka.

"Nih, ada mobil keren kaya Romi. Katanya abang mau yang kaya gini, yang abang lebih bagus lho." Amanda mencoba untuk membuat Azka menghentikan tangisnya.

"Ndak mau!"

Amanda memejamkan matanya, ketika mainan tersebut malah di tepis oleh Azka, anak itu  menangis semakin kencang.

Dalam hiruk-pikuk manusia yang berkeliaran di sekeliling tidak ada yang peduli. Mereka nampak biasa saja. Melewati dan sesekali ada yang melirik kasihan.

"Aduh, kak anaknya kenapa?"

Amanda menoleh, dan mendapati gadis lebih muda menggunakan cardigan hitam dan rok abu-abu khas anak SMA itu, memungut mobil mainan yang tergeletak di lantai.

"Makasih ya, nggak apa-apa, kok." Tangannya mengambil alih mainan tersebut.

"Abang, jangan nangis malu tuh diliatin kakak cantik."

Digoda seperti itu, Azka malah semakin meraung. Kemudian memeluk leher Amanda, masih dengan tangisannya walaupun sudah mulai reda.

"Yang, kenapa?"

Amanda terdiam, baru minggu lalu dia bertemu dengan Rendra orang di masalalunya, sekarang  ada suara familiar yang menyapa indera pendengarannya.

"Gilang, liat deh, kakak ini yang ada di foto keluarga kamu kan? Mirip banget,"

"Lho iya, Kak Amanda. Ini beneran kakak?"

Suara itu, suaranya yang sangat Amanda rindukan, tetapi ia memilih menunduk, menahan gelojak rasa sedih dan senang yang bersatu padu.

"Gilang pikir kita nggak bisa ketemu lagi."

***

"Terus perasaan kakak gimana sekarang?" tanya Gilang, setelah Amanda menceritakan suka-duka menikah dengan suaminya.

"Baik-baik aja." Amanda sebenernya malas membicarakan perihal masalah keluarga. Entah, merasa ini sudah tidak terlalu penting untuk dibahas.

Gilang mengangguk pelan, nampak tidak puas dengan jawaban sang kakak.

"Eum, Ris. Kamu bisa nggak ajak Azka main kemana gitu. Aku ada bicara serius sama Kak Manda." Gilang berbicara ke Risti.

"Oke."

Amanda bisa menyimpulkan jika Risti itu anak yang ceria.  Risti membujuk Azka agar mau bermain di Playground. Tentu anak itu mengangguk antusias dan menerima uluran tangan Risti.

Azka memang anak baik, di saat anak lainnya terkadang menangis atau malu-malu bertemu dengan orang asing. Azka bisa cepat berbaur dan menyesuaikan diri, ditambah Risti tampaknya punya cara untuk membuat Azka tertawa.

"Jadi, kenapa kakak bohong sama Gilang dengan mengatakan baik-baik aja?" tanya Gilang seraya mendengus kesal.

"Gilang, Kakak mohon, jangan pedulikan. Kakak cerita sama kamu, bukan berarti kamu harus ikut campur sama kehidupan rumah tangga kakak, karenankakak, Mas Adit dan Azka sudah cukup bahagia hidup di sini." Amanda memang egois. Ia hanya mencoba menutup telinga dari kenyataan pahit tentang suaminya itu.

"Nggak bisa kak! Aku nggak bisa diem aja, saat liat kakak menderita apalagi sampai nggak bisa beli mainan untuk Azka! Sekarang, mana pertanggung jawaban Kak Adit terhadap kakak, kemana dia sekarang? Apa kakak tau?"

"Dia bekerja, Lang, sibuk. Kakak ngerti kok, ini semua pasti untuk keluarganya."

"Kak--" Gilang seperti sulit berkata-kata. "Dari cerita kakak tentang Kak Adit yang nggak pulang hampir sebulan ini, itu tuh patut dicurigai apalagi sampe nggak ngasih kabar!"

"Lang, cukup." Amanda mulai panik, karena beberapa orang di restoran itu menjadikan mereka pusat perhatian karena suara Gilang yang mulai naik satu oktaf.

Gilang menghela napas, mencoba sabar. "Sebenarnya, tiga minggu yang lalu Gilang ketemu Kak Adit, di daerah sekitaran rumah orangtuanya. Saat itu Gilang lagi main ke rumah temen. Gilang tanya, tentang kakak sama dia, tapi dia bilang Kakak ada di Jakarta. Dia di Bandung, cuman lagi nengok keluarganya."

"Gilang sempet minta nomor dan alamat kakak ke Kak Adit, tapi dia nggak ngasih. Yaudah Gilang terpaksa minta ke salah satu keluarga Kak Adit, ternyata di kasih tapi cuman alamatnya...,

.... Tadi Gilang mampir ke kontrakan tapi kakak nggak ada, tanya ke tetangga, katanya kakak ke sini. Gilang sama Risti cari-cari, akhirnya kita ketemu. Maaf, Gilang baru ada waktu sekarang buat ketemu kakak, karena ayah bener-bener membatasi kegiatan Gilang."

Amanda mengangguk paham. Pantas saja adiknya itu jauh-jauh ke Jakarta masih dengan pakaian seragamnya.

"Ouh, jadi Mas Adit ke rumah orangtuanya," balas Amanda dengan tatapan kosong. Ia memainkan sedotan yang berada di gelas. Sekarang dia tahu, kalau lelaki itu ternyata merindukan orangtuanya.

"Kak, apa kakak nggak mau menyusul Kak Adit?"

"Buat apa, Lang?"

"Dia suami kakak, seenggaknya kakak harus minta penjelasan."

"Udahlah, nanti juga pulang. Toh, Mas Adit hanya pulang ke rumah orangtuanya, bukan ke rumah istri barunya," canda Amanda seraya tertawa tetapi terdengar terpaksa.

"Oke, kalau itu keputusan kakak. Gilang akan bantu kakak. Sepulang dari sini, Gilang bakal temuin Kak Adit ke rumah orangtuanya."

"Gausah, Lang. Nanti pasti Mas Adit pulang, kok. Kamu pokus aja sama sekolah. Sekarang udah lulus kan? Mau kuliah di mana?"  tanya Amanda mengalihkan pembicaraan.

Gilang mengerti, Amanda tidak ingin membahasnya lagi. "Oke, sepertinya kakak nggak mau bahas tentang Kak Adit lagi ... Gilang, ambil sekolah tentara, Kak."

"Wah, akhirnya cita-cita ayah bakal terwujud. Dia kan pengen banget kamu jadi tentara, Lang."

"Ya, walaupun itu bertolakbelakang sama apa yang Gilang cita-citakan."

Amanda menepuk bahu adiknya.  Ia tahu persis bagaimana perasaan Gilang, yang penuh tekanan dari ayah. "Semangat, Lang! Cuman kamu yang jadi harapan ayah."

"Oiya, kamu mau nginep?"

Gilang mengangguk. "Iya, Kak. Karena aku izin ke ayah, ada acara khusus kelulusan di salah satu villa teman satu hari dua malam. Pastinya Gilang bakalan nginep di rumah kakak sama Risti."

Amanda mengangguk. "Tapi maaf ya, rumah kakak jelek. Pasti bakal bikin kamu nggak nyaman."

"Nggak apa-apa, Kak."

***

Sesampainnya di rumah, Azka langsung mengeluh pusing dan pegal, di kepala dan di kakinya.

"Abang pengen pijit." Amanda tertawa kecil, melihat aksi Azka yang berselonjoran di soffa yang terdapat di rumah minimalisnya. Sebelumnya, hanya dari mengontrak, di umur Azka berusia dua tahun, suaminya berhasil membeli rumah ini.

"Sini bunda pijit." Amanda hendak duduk di samping Azka, tetapi Gilang buru-buru mengambil posisi dan memegangi kaki kecil Azka.

Azka cemberut. "Om sana!" Mungkin Azka masih marah dengan Gilang yang meledeknya, cengeng karena Azka menangis ketika ditinggal ke toilet.

"Hey, boss kecil. Masih marah sama om? Oke, om punya mainan bagus loh, mau nggak?" tawar Gilang, merubah ekspresi Azka menjadi antusias.

"Mauuuu, om!" Azka menjadi duduk dan bertepuk tangan.

"Besok om beliin, tapi jangan marah sama om!"

"Siap!" Azka menghormat gemas. Membuat Gilang gemas, terlihat dari tangannya yang mulai menggelitiki pinggang Azka, anak itu tertawa kegelian.

Melihat pemandangan itu, Amanda tersenyum tipis, kenangan di rumah bersama Mas Adit kembali menguap di kepala. Mas Adit selalu berlaku seperti itu, ketika gemas dengan Azka. Ah, rasanya rindu ini semakin tak terbendung.

"Lang, jagain dulu Azka yaa. Kakak mau ke dapur dulu."

"Yooo!" sahut Gilang.

Di dapur Amanda mendapati Risti yang tengah memegang ponsel, saat melihat ke arahnya, dia tergesa-gesa mengantongi kembali ponselnya dengan wajah tegang.

"Kenapa, Ris? Santai aja kali, sama kakak. Di sini kamu nggak usah malu-malu anggap aja rumah sendiri. Ya, walaupun rumah kakak emang terbilang kecil. Tapi inshaallah bisa bikin nyaman."

Risti nampak tersenyum dipaksakan, auranya masih tegang. "Eu-m iya kak."

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!