Perjalanan menuju ke Kantor Bank Nasional Pusat membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam. Seperti saat datang ke sekolah, mobil Mercedes S-Class juga mendapatkan pengawalan ketat dari Polisi. Jangankan hanya lampu merah, bus besar yang sering ugal-ugalan pun dipaksa berhenti dan menepi karena rombongan ini. Surya benar-benar merasa seperti tamu negara penting.
Di dalam mobil remaja tujuh belas tahun itu banyak bertanya-tanya pada Pak Erik yang ternyata adalah seorang GM. Ia banyak belajar mengenai strategi bisnis dan manajemen. Bu Lovita yang merupakan Chief Public Relation juga ikut serta menjawab beberapa pertanyaan Surya.
Saking serunya diskusi mereka, tidak terasa rombongan bak pejabat negara itu akhirnya sampai di gedung Bank Nasional Pusat. Sebuah gedung megah nan indah dengan sepuluh lantai. Sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia memang pantas jika memiliki gedung pusat seperti ini.
Jam operasional bank adalah sampai jam tiga sore dan rombongan Surya tiba pukul lima. Suasana di sekitar gedung pusat sangat lengang.
Begitu turun dari mobil, puluhan karyawan bank telah berbaris rapi di depan lobi untuk menyambutnya. Surya yang tak pernah mendapatkan sambutan seperti ini merasa sedikit canggung dan malu.
"Selamat datang, Pak Surya!"
"Senang melayani anda, Pak."
Surya hanya bisa mengangguk sopan atas sambutan itu.
"Apa sambutan seperti ini tidak berlebihan, Pak Erik?" Bisik Surya.
"Ini hanya sambutan biasa, Pak. Anda adalah nasabah prioritas kami, sudah sewajarnya anda disambut dengan khusus. Tetapi jika anda tidak berkenan, saya bisa membubarkan mereka." Jawab Erik dengan penuh nada hormat. Surya adalah nasabah prioritas. Jika Erik sampai menyinggung Surya, hanya dengan satu kalimat saja karir nya sebagai GM bisa tamat dan bisa jadi tak ada perusahaan maupun bank yang mau menerimanya.
"Tolong Pak Erik untuk ke depannya tidak perlu menyambut saya seperti ini. Terlalu mencolok." Kata Surya.
"Saya mengerti, Pak." Kata Erik.
Di dalam hati Erik dan Lovita merasakan kekaguman yang luar biasa terhadap remaja itu. Biasanya remaja yang baru kaya sedikit saja sudah sangat angkuh dan sombong dengan kekayaannya. Sedangkan Surya sangat rendah hati dan tidak ingin mencolok. Orang kaya sejati memang beda.
Erik segera memberi kode pada rombongan penyambutan untuk membubarkan diri. Melihat para penyambutnya bubar, Surya menjadi lebih tenang.
Rombongan Surya bergegas menuju lift khusus direksi. Setelah menekan tombol untuk lantai sepuluh, mereka menunggu lift dengan tenang.
Tak sampai lima menit lift sudah sampai di lantai teratas gedung Bank Nasional Pusat. Saat lift terbuka Surya kembali dikejutkan dengan barisan penyambutan. Namun berbeda dengan rombongan dibawah yang diisi karyawan muda, yang menyambutnya di koridor lantai sepuluh sepertinya adalah dewan direksi dan karyawan senior. Baju yang mereka kenakan adalah setelan yang mewah dan bermerek.
Kecanggungan Surya kembali datang dan ia belum beranjak dari dalam lift.Berhadapan dengan orang penting begini banyak membuat nyali Surya menciut.
Erik yang menyadari kecanggungan Surya, segera bergegas keluar dari lift dan menghampiri seorang pria paruh baya yang berdiri tepat di depan lift. Melihat dari pakaian dan wibawanya, sepertinya pria itu adalah pimpinan dari bank ini. Setelah Erik membisikkan beberapa kalimat, wajah pria itu berubah dari semringah, menjadi terkejut dan takut.
"Bapak ibu sekalian mari kita segera ke ruang meeting untuk agenda selanjutnya!" Pria itu berkata dengan tegas sepertinya yang sudah Surya duga sebelumnya, dia adalah pemegang tampuk pimpinan di bank ini.
"Tapi Pak Rama penyambutan nas..."
"Ini perintah langsung dari nasabah prioritas!" potong pria yang ternyata bernama Rama itu.
"Baik, Pak Rama. Kami mengerti." Barisan penyambutan itu segera membubarkan diri. Meskipun begitu mereka masih tetap berada di sepanjang lorong. Seperti sedang menunggu sesuatu.
Pak Rama segera bergegas menghampiri Surya dengan wajah penuh senyum dan hormat.
"Perkenalkan nama saya Rama Suteja Direktur Umum dari Bank Nasional Pusat. Saya mewakili segenap dewan direksi mengucapkan selamat datang. Kami meminta maaf atas ketidaknyamanan yang anda alami."
"Tidak perlu terlalu sungkan dengan saya, Pak Rama. Saya malah tidak nyaman. Lagi pula anda juga bekerja sesuai protokol." Jawab Surya sopan.
"Sekali lagi kami mohon maaf. Mari masuk ke ruangan saya terlebih dahulu. Setelah perjalanan jauh ini anda pasti merasa lapar dan lelah. Saya sudah menyiapkan jamuan kecil untuk anda di ruangan saya. Mari ikuti saya.
"Erik, Lovita. Segera siapkan ruang meeting!" Titah Pak Rama.
"Siap, Pak!"
"Baik, Pak!"
Pak Rama kemudian membimbing Surya masuk ke ruangan nya. Interior ruangan begitu mewah, yang bahkan Surya tidak pernah bayangkan. Pemandangan Kota Jakarta saat senja benar-benar memukau. Gedung-gedung perkantoran seperti berlomba ingin menjadi yang paling berkilau. Lampu beraneka warna menjadi kontras tersendiri untuk langit yang mulai dipeluk kegelapan.
Di atas meja tamu sudah tersedia berbagai jenis makanan yang benar-benar membuat air liur Surya mengalir deras. Aroma yang menggoda membuat perutnya protes ingin mencicipi semuanya. Steak, ayam bakar, seafood apapun yang hanya pernah Surya lihat di televisi semuanya tersaji di depannya.
"Saya harap hidangan ini sesuai dengan ekspektasi anda, Pak Surya."
"Apa ini semua tidak terlalu berlebihan, Pak Rama.?" Tanya Surya ragu. Ia masih belum berani menyentuh makanan tersebut. Biasanya ia akan dihina habis-habisan kalau sampai ketahuan membayangkan bisa memakan makanan yang mahal ini.
"Ini bukanlah apa-apa. Dibandingkan dengan bunga yang dihasilkan oleh perputaran uang anda, semua makanan ini hanyalah hal sepele. Jadi silakan dinikmati sepuas anda."
Setelah mendengar penjelasan Pak Rama, meskipun sama sekali tak mengerti, Surya merasa lega dan langsung mengambil piring dan memilih makanan. Kalau seandainya ia menceritakan pengalaman hari ini kepada teman-teman di sekolahnya atau mbak Riri, ia yakin mereka tidak akan percaya.
Setengah jam kemudian Surya telah selesai makan. kapasitas perutnya hanya bisa menampung tiga piring dan itu hanya menghabiskan kurang dari sepersepuluh dari makanan yang ada di meja.
"Saya tidak sanggup menghabiskan makanan ini, Pak Rama. Perut saya tidak kuat." Kata Surya pipinya sedekit memanas karena malu.
"Jika anda berkenan kami bisa membungkusnya untuk anda untuk dibawa pulang."
"Tidak perlu, Pak. Lebih baik bagikan pada karyawan di bawah. Atau berikan pada pengemis atau pemulung di depan." Kalau pun Surya membawanya pulang, ia tak akan mampu menghabiskan semua makanan itu sendiri.
"Saya akan lakukan sesuai perintah anda." Kembali Pak Rama menjawab dengan nada yang sopan.
"Langsung saja, Pak Rama. Anda mengundang saya ke sini bukan hanya untuk mengundang saya makan saja, kan?" Surya memandang lurus ke arah Pak Rama.
Rama yang mendengar pertanyaan Surya tak bisa menahan diri untuk tertawa. Tawanya cukup kencang bahkan Surya saja sampai kaget dibuatnya. Biasanya ada orang yang bermaksud jahat ketika mereka tertawa seperti ini. Surya langsung meningkatkan kewaspadaannya.
"Sepertinya anda ini bukan remaja biasa. Anda bisa menebak maksud tersembunyi saya dengan tepat." Pak Rama mengangguk-angguk kagum.
Melihat ekspresi kekaguman di wajah Pak Rama, Surya kembali tenang. "Apakah ada yang Pak Rama perlukan dari saya?"
"Saya ingin mengajukan sebuah proposal kerjasama kepada anda. Untuk detilnya kita akan bahas di ruang meeting bersama dewan direksi yang lain. Anda tidak usah khawatir, saya bisa menjamin keuntungan yang besar bagi anda jika bersedia mengikuti proyek ini."
Surya menelan ludahnya membayangkan keuntungan yang bisa ia peroleh dari menyetujui kerjasama ini. Jadi ini rasanya ketika uang bekerja untukmu dan bukan kamu yang bekerja untuk mendapatkan uang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Imam Sutoto
top markotop story
2024-05-29
1
🌺🌺RUMINA🌺🌺
mengesankan
2023-09-06
2
jhon teyeng
kebanyakan mmg salah, seharusnya uang yg kita atur bkn uang yg mengatur kita
2023-05-15
2