Dibalik Musibah

“Apaan ini?”

Untuk kesekian kalinya hari ini Surya harus mengalami kejut jantung. Dokumen utang piutang bank ini memang menjelaskan bahwa rumah peninggalan orang tuanya telah dijaminkan. Akan tetapi nama peminjam bukanlah nama ayahnya, melainkan Hariyadi dan Tatik yang merupakan adik-adik ayahnya.

Jumlah dana yang dihutang kedua orang itu juga tidak main - main. Termasuk dengan bunga dan denda semuanya berjumlah tiga ratus lima puluh juta.

Surya hampir sesak nafas melihat jumlah nominal yang tertera dalam dokumen itu. Ia membolak - balik bendelan kertas itu dan menemukan surat pemindahan kuasa kepemilikan lahan pada paman dan bibinya.

Matanya memerah karena marah ketika melihat tanggal dibuatnya surat kuasa tersebut. Penanggalan pada surat itu sekitar tiga bulan yang lalu saat tujuh hari meninggalnya orang tua Surya.

Surya saat itu tengah dalam keadaan terpuruk dan sama sekali tidak mengurusi dokumen-dokumen penting milik orang tuanya. Kemungkinan besar pada saat itulah kedua saudara ayahnya itu melancarkan aksi mereka.

“Pak disini tertulis tanggalnya 23 April sedangkan ayah dan ibu saya meninggal tanggal 17 April. Jelas sekali kalau surat ini palsu.” Surya mencoba memberi pengertian pada pria itu.

“Kalau tidak ada dokumen kematiannya pihak kami tetap menganggap surat itu sah.” Jawab pria itu dengan nada dingin.

“Tentu saja ada, Pak”

Surya segera menuju tumpukan barang yang biasanya berisi dokumen-dokumen penting. Dengan panik dia segera mengeluarkan seluruh isinya. Ijazah, sertifikat prestasi, buku nikah orang tuanya semua kini berserakan di halaman. Tapi yang dicarinya sama sekali tidak ketemu. Surat keterangan kematian dari kelurahan sepertinya juga dilenyapkan oleh kedua saudara biadab itu.

Menyadari akan hal itu, Surya hanya bisa terkulai lemas. Lenyap sudah peninggalan orang tuanya. Jika ia ingin mempertahankan rumah ini, ia harus membuat surat keterangan kematian kedua orang tuanya di kelurahan.

“Pak, bisa tolong beri saya waktu seminggu untuk menyelesaikan permasalahan ini? Saya janji saya akan membawa bukti kalau surat itu palsu.” Surya memelas.

“Silahkan saja, tapi rumah ini akan tetap dikosongkan hari ini juga.”

“Kenapa demikian? Saya berjanji hanya satu minggu saja izinkan saya tinggal di sini.”

“Saya hanya bekerja sesuai prosedur. Jadi tolong jangan mempersulit tugas saya.” Nada pria itu masih tetap dingin dan ketus. “Ayo kalian lebih cepat kerjanya dan segera kita segel rumah ini.”

Surya hanya bisa menatap tak berdaya saat rumah peninggalan orang tuanya di segel. Matanya terasa perih karena menahan tangis. Tetapi hatinya jauh terasa lebih perih akibat pengkhianatan kerabatnya sendiri.

Waktu sudah mulai senja dan warga yang berkerumun di depan rumahnya juga sudah pulang saat Surya memutuskan untuk mengemasi dokumen penting dan beberapa potong pakaian.

Beberapa saat kemudian ponselnya berbunyi.

“Ya, halo Mbak Riri.”

“Kemana aja kamu? Ini udah jam berapa? Niat kerja nggak, sih?” Cerocos suara dari seberang.

“Tapi mbak saya sedang …”

“Nggak penting! segera kesini sekarang juga atau saya pecat kamu!” Potong Mbak Riri.

“I … Iya mbak saya segera kesana sekarang.”

Terdengar bunyi sambungan telepon diputus. Tanpa menunggu lebih lama, Surya segera bergegas menuju Pujasera Sentono tempat ia bekerja sebagai pramusaji. Karirnya sedang dipertaruhkan saat ini.

Surya segera bergegas menuju ke Pujasera Sentono. Butuh setidaknya lima belas menit dari lokasinya sekarang.

Tepat lima belas menit kemudian pemuda berkulit sawo matang itu tiba di lokasi kerja. Sebuah lapak yang menjual cilok, pukis dan berbagai minuman dingin. Kedai Riri namanya.

“Mbak maaf sa …”

“Udah nggak usah banyak ngomong, ini anter pesenan. Habis itu bersihin piring dan mangkok. Jangan lupa buang sampah.” Belum juga Surya menjelaskan alasan keterlambatannya, Mbak Riri si pemilik kedai sudah memberinya sederet perintah.

Meskipun hari ini bukan akhir pekan, tetapi Pujasera Sentono benar-benar penuh sesak dengan pengunjung. Para pegawai dari tiga puluh lapak yang berdagang di area kuliner itu benar-benar sibuk mengantar pesanan. Mereka bahkan tak punya waktu untuk sekedar duduk dan mengobrol. Tak terkecuali dengan Surya.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas ketika Surya melemparkan kantong sampah terakhir. Tenaganya benar-benar diperas habis malam itu. Para pegawai yang kebanyakan masih seusianya banyak yang duduk menyebar di beberapa meja dan mengobrol. Surya memilih duduk di salah satu meja yang paling dekat dengan Kedai Riri.

“Nih!” Mbak Riri menyodorkan sepiring cilok dan segelas teh hangat di depan Surya.

“Makasih, Mbak.” Dengan senang hati Surya melahap hidangan di depannya.

“Ya sama - sama. Hari ini lumayan ramai jadi cuma sisa segitu.” Jelas Mbak Riri singkat.

“Ini lebih dari cukup kok, Mbak.”

Suasana di meja mereka mendadak hening. Hanya ada suara sendok beradu dengan piring. Tak bisa dipungkiri kalau Surya merasa sedikit canggung, karena Mbak Riri ini lumayan cantik. wajahnya putih dan matanya sipit. Mirip orang tionghoa. Padahal perempuan berusia dua puluh satu tahun itu Jawa tulen.

“Kamu kenapa tadi telat? Nggak biasanya kamu telat.” Tanya Mbak Rini membuka obrolan.

“I… Itu mbak, se..sebenarnya …” ucap Surya tergagap.

“Kamu ada kesulitan?” Mbak Riri memperhatikan perubahan gelagat Surya merasa sedikit curiga.

“Sebenarnya tadi ada petugas bank datang buat menyita rumah.”

“Kamu pinjam uang dari bank?” Mbak Riri mengerutkan alisnya.

“Bu...Bukan Surya mbak. Tapi Paman dan bibi, hanya saja yang jadi jaminan adalah rumah orang tua Surya.” Surya menunduk malu setelah menjelaskan duduk permasalahannya.

“Lho kok bisa? Memangnya ada surat kuasa dari orang tua kamu?”

“Ada sih .. tapi sepertinya palsu.” Surya menggosok dagunya.

“Palsu gimana maksud kamu?”

“Surat kuasanya tertanggal tujuh hari setelah orang tuaku meninggal. Tanda tangannya pun sepertinya palsu.”

“Wah bisa dijerat pidana itu. Kenapa nggak kamu laporin ke Polisi?” Mbak Riri masih terus mencecar Surya.

“Niatnya begitu mbak setelah ngurus surat keterangan kematian dari kelurahan.”

“Memangnya sampai sekarang belum kamu urus? itu dokumen penting lho.” Nada bicara Mbak Riri semakin meninggi seperti menyalahkan Surya atas kecerobohannya.

“Sudah saya urus mbak bahkan sebelum tujuh hari ayah dan ibu meninggal Pak carik sudah datang ke rumah mengantar surat itu. Hanya saja waktu tadi kucari nggak ketemu. Sepertinya memang sengaja ada yang menghilangkan.” Jelas Surya.

“Oh maaf ya, mbak udah salah paham. Terus ini nanti kamu tidur di mana?”

“Nggak tahu mbak. Kalau boleh izin saya mau tidur di lapak saja.” Kata Surya malu-malu.

“Jangan!” Cegah mbak Riri. “Di sini kotor dan sempit. Lebih baik kamu nyewa kos di papaku. Nanti biar aku yang ngomong.” Tawar Mbak Riri.

“Tapi mbak uangnya …”

“Udah nggak usah khawatir. Nanti kalau sudah gajian bisa kamu bayar.”

“Terima kasih kalau begitu.”

“Pulang sekarang aja kalau gitu biar nggak kemaleman. Besok kamu sekolah, kan?”

“Iya, Mbak. Sekali lagi terima kasih Mbak.”

Setelah menutup kedai keduanya pun pulang menuju ke kosan milik orang tua Mbak Riri. Letaknya tak jauh dari Pujasera hanya butuh sepuluh menit berjalan kaki.

Kebetulan masih ada kamar kos yang kosong dan Surya bisa langsung tinggal di situ. Ia langsung merebahkan diri untuk tidur di kasur busa yang memang sudah disediakan pemilik kos.

Hari ini ia begitu lelah hingga tanpa sadar ia sudah terbuai dalam mimpi.

Terpopuler

Comments

Hary

Hary

asal

2024-06-02

1

Imam Sutoto

Imam Sutoto

dahsyatnya thor lanjut

2024-05-29

1

Nuri Maulidia

Nuri Maulidia

pd mbk rR

2023-10-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!