Tak terasa sudah seminggu berlalu. Surya yang telah disibukkan dengan sekolah, kerja sambilan dan memproses hukum tindakan kerabatnya, nyaris tak punya waktu untuk memikirkan hal lain.
Dua hari setelah penyitaan Surya baru bisa mengurus pembuatan surat kematian orang tuanya. Pak lurah dan sekretaris desa juga bersedia menjadi saksi. Setelah mengumpulkan bukti Surya segera melapor ke kepolisian.
Polisi yang menerima laporan Surya juga langsung melakukan tindakan penangkapan. Kejahatan yang dilakukan oleh paman dan bibi Surya termasuk kriminal berat. Mereka bisa dijerat dengan pasal penipuan dan pencurian.
Sayang sekali saat operasi penangkapan di rumah paman dan bibinya, mereka sama sekali tak ditemukan. Tak ada seorang pun terlihat batang hidungnya. Bahkan sepertinya rumah paman dan bibinya sudah lama kosong.
Surya mau tak mau harus menelan kekecawaan atas kecerobohannya yang kurang bisa menjaga peninggalan orang tuanya.
Meskipun kini Hariyadi dan Tatik sudah masuk dalam DPO, namun Surya masih belum bisa bernafas lega. Rumahnya masih tetap disita oleh pihak bank sampai dua orang ini ditemukan. Sebagai jaminan kata mereka.
Kini Surya tengah berdiri di depan ruang BK. Ada program bimbingan karir bagi siswa kelas tiga. Surya sedang menunggu giliran bersama beberapa anak lain.
"Ngapain ikut bimbingan karir,sih? Emangnya yakin bakal punya karir?"
"Apa itu istilahnya... Madesu. Masa depan suram." Gelak tawa memenuhi seisi lorong.
Surya tersadar dari lamunannya dengan kesal. Ternyata Sania dan gerombolan kuntilanaknya sudah berdiri di hadapannya.
"Denger denger udah merintis karir jadi pelayan kafe sama tukang parkir, yah?"
"Tukang parkir sama pelayan kafe juga ada karirnya lhoh." Timpal temannya yang lain.
"Oh ya? Di mana? Boleh dong kita mampir? Siapa tahu dapet traktiran sama parkir gratis." Suara kaget yang dibuat-buat oleh Sania disambut oleh gelak tawa teman se-gengnya. Beberapa siswa lain yang mendengarkan juga ikut tertawa meskipun tak sekeras rombongan kuntilanak ini.
Surya sedang tidak mood untuk meladeni tingkah mereka. Baginya Sania dan gerombolannya tak lebih dari anak manja yang hanya mengandalkan koneksi dan kekayaan orang tuanya. Surya lebih memilih berdiri dan beranjak mencari tempat lain.
Merasa dicuekin oleh Surya, Sania menghentikan tawanya dan wajahnya berubah cemberut.
"Kamu..."
"Maaf ya, apa aku seganteng itu sampai kamu berusaha keras buat menjelekkan aku?" Potong Surya.
"Lagian bos di belahan bumi mana yang masih minta gratisan? Mintanya ke orang yang masa depan suram pula." Surya menggelengkan kepala pura-pura bingung.
"Kamu jangan sombong, ya! Miskin ya terima miskin aja nggak usah sok kegantengan." Ujar Sania bersungut-sungut.
"Kalian ini ribut apa,sih?" Suara lantang Bu Eka menghentikan keributan kecil mereka. Ekspresi wajahntya benar-benar menakutkan. Seperti seekor T-Rex yang siap menerkam apapun yang bergerak. Suasana lorong di depan ruang BK yang tadi riibut kini berubah sunyi.
"Itu bu...Surya." Jawab Sania cemberut. Jantungnya masih berdegup kencang karena kaget oleh suara Bu Eka. Di bawah sorot mata tajam sang guru BK nyalinya benar-benar menciut.
"Dari tadi saya denger suara cewek bukan suara cowok."
Sania dan gerombolannya hanya bisa terdiam tanpa bisa berkata apapun.
"Surya kamu masuk!"
"Baik, bu!"
Sebelum masuk Surya melemparkan pandangan ke arah Sania dan gerombolan kuntilanaknya diiringi dengan seringai kemenangan.
Ruangan BK adalah sebuah ruangan dengan luas kurang lebih tiga puluh dua meter persegi. ada juga empat bilik kaca setinggi dua meter yang digunakan untuk bimbingan pribadi.
"Silakan masuk!" Bu Eka berkata ramah. Sangat berbeda dengan saat di luar tadi.
"Terima kasih, Bu."
"Sesuai dengan prosedur kita mulai dengan diskusi menggenai form yang sudah kamu isi. Kamu memilih manajemen bisnis UI. Sudah yakin?"
"Sudah, Bu?" Jawab Surya mantap.
"Kalau melihat prestasi akademik kamu, jalur prestasi bisa." Bu Eka membolak-balik beberapa dokumen milik Surya. "Kamu ingin mengelola bisnis sendiri atau ingin jadi karyawan?"
"Lebih ingin mengelola bisnis sendiri."
Diskusi pembimbingan karir ini berlangsung selama kurang lebih tiga puluh menit. Bu Eka bisa membuat suasana menjadi rileks sehingga Surya bisa dengan lancar mengungkapkan rencananya di masa depan. Guru BK satu ini benar-benar menganggap serius apa yang dibicarakan oleh Surya tanpa mencela atau menghina sedikit pun.
Surya keluar dari ruang BK dengan senyum mengembang. Wawasannya semakin terbuka setelah berdiskusi dengan Bu Eka.
Tak berapa lama ponsel Surya berdering. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal.
"Halo, Selamat siang. Benar dengan bapak Surya Aditama?" Suara Di seberang telepon adalah suara perempuan.
"Iya benar saya Surya Aditama."
"Bisa luangkan waktu sebentar bapak untuk datang ke kantor pusat Bank Nasional?". Surya mengerutkan keningnya. Bank Nasional tiba-tiba meneleponnya? Apakah ini sudah seminggu?
"Bisa sih, Mbak. Tapi jauh dari sini."
"Oh, Tidak usah khawatir, Bapak. Silakan bagikan lokasi anda dan tim kami akan menyiapkan mobil untuk transportasi anda."
"Jadi merepotkan."
"Bapak tidak usah khawatir. Anda adalah nasabah spesial kami jadi perlakuan ini sudah sepantasnya."
"Terima kasih kalau begitu." Surya menjawab lega.
"Sama-sama, Bapak."
Setelah telepon ditutup Surya segera membagikan lokasinya pada nomor tadi. Beberapa saat kemudian ada belasan bahwa mobil yang menjemput akan sampai satu setengah jam lagi. Itu artinya bertepatan dengan jam pulang sekolah.
Karena kemungkinan dia akan berada di Bank Nasional Pusat sampai malam, Surya segera mengirim pesan kepada Mbak Riri jika ia akan ambil cuti karena ada urusan dengan pihak bank. Mbak Riri yang mengerti kesulitan Surya memaklumi hal tersebut dan memberinya izin.
Surya kembali ke kelas untuk melanjutkan belajarnya. Namun seberapa kuat pun ia berusaha remaja itu sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Pikirannya kembali melayang ke kejadian beberapa hari yang lalu. Saat dimana Alfred memberikan sebuah berita mengejutkan tentang dirinya yang mewarisi lima belas miliar USD dari seorang miliarder Amerika bernama Frederick Langdon.
"Eh liat tuh! Buruan!"
"Bagus banget mobilnya! Dikawal polisi pula."
"Pasti orang kaya atau pejabat yang naik mobil itu."
"Kapan ya aku bisa naik mobil sampai dikawal polisi gitu?"
"Bisa aja sih kalo jadi napi."
Kehebohan yang diakibatkan oleh teman sekelasnya membuat Surya juga ikut penasaran. Ia ikut melongok untuk melihat rombongan yang sudah membuat heboh satu sekolah itu.
Dua orang pria dan wanita keluar dari sebuah Mercedes S-Class. Polisi yang mengawal juga langsung membentuk barisan pengawalan. Tak diragukan lagi kalau yang datang adalah orang penting. Rombingan kecil yang terdiri dari enam orang ini segera memasuki lobi. Tak terlihat lagi dari jendela kelas Surya.
Kelas masih heboh dengan pembicaraan mengenai kedatangan tamu penting itu. Ada yang sampai pura-pura mendapat telepon dari kepala sekolah untuk datang ke ruang kepala sekolah.
Di tengah kehebohan itu tiba-tiba interkom di pojok kelas berbunyi.
"Panggilan kepada siswa bernama Surya Aditama dari kelas XII MIPA 1 agar segera menuju ke ruang kepala sekolah. Sekali lagi ..."
Suasana kelas tiba-tiba menjadi hening. Tiga puluh enam pasang mata menatap tajam dirinya. Membuat dirinya menjadi pusat perhatian.
"Ngapain dia dipanggil?"
"Masa ada hubungannya sama orang-orang tadi?"
"Nggak mungkin. Pasti kena masalah lagi sampai dipanggi kepsek"
Surya berusaha menepis bisik-bisik orang-orang di sekelilingnya dan lebih memilih langsung keluar dari kelas. Langkahnya ia percepat untuk menghindari konflik tidak perlu.
Setelah mengetuk pintu, Surya dipersilakan masuk oleh Bu Eka yang juga wali kelasnya. Di dalam ruang kepala sekolah sudah empat anggota kepolisian dan dua orang memakai setelan jas berwarna hitam.
"Duduk, nak Surya. Ada tamu untuk kamu." Surya memandang Kepala sekolahnya. Biasanya sikapnya sedikit acuh tak acuh, tetapi kini wajahnya menunjukkan sikap ramah dan menyanjung.
Dua orang yang mengenakan setelan tadi segera berdiri dan menyalaminya dengan hormat.
"Nama saya Erik Permana dan ini rekan saya Lovita Arianti, kami adalah perwakilan dari Bank Nasional untuk mengawal anda ke kantor pusat kami."
Surya menatap canggung pada kedua orang ini. Seumur hidupnya ia tak pernah diperlakukan dengan hormat oleh siapapun. Uang memang bisa dengan mudah mengubah pandangan seseorang.
"Kapan kita bisa berangkat?" Tanya Surya.
"Kapanpun yang anda inginkan, Pak Surya." Lovita menjawab dengan penuh hormat.
"Bu Eka dan Pak Roni bolehkah saya izin untuk keperluan ini?" Surya menanyakan kepada kedua orang itu karena mereka yang berhak memutuskan.
Bu Eka yang sepertinya masih syok hanya bisa mengangguk. Sedangkan Pak Roni langsung mengiyakan bahkan memberinya dispensasi sampai seminggu ke depan.
"Kita berangkat sekarang jika tidak merepotkan." Kata Surya.
"Tentu saja, silakan." Jawab Pak Erik menyilakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Imam Sutoto
semangat thor lanjut
2024-05-29
2
Fahruraji
cerita supaya bisa halu Thor.
2023-12-04
0
Sutono jijien 1976 Sugeng
jgn sampai berhenti author keren 👍👍👍
2023-12-03
2