"Siapa kamu?" pekiknya, semakin menjauhkan diri dengan mata mendelik dan gugup.
Pria itu malah semakin mendekat dan tersenyum lebar. Kiara semakin gemetar dan terus bergeser mundur lagi, sampai lupa bahwa posisinya berada di pinggir ranjang. Alhasil, tubuhnya melayang, hampir jatuh. Tapi, pria itu sigap meraih tangannya, lalu menariknya langsung dalam pelukannya.
Kiara terkejut, kemudian mendongak menatap wajah tampan pria itu. Mereka saling berpandangan.
"Perempuan b*doh. Hampir saja kau terjatuh," ucapnya sambil tersenyum mencemooh.
Bod*h?! Kiara kesal mendengarnya. Lantas, ia mendorong tubuh itu darinya, buru-buru menutup tubuhnya dengan selimut dan menggenggamnya erat.
"Apa yang Anda lakukan? Siapa Anda? Dan apa kita...."
Setelah beberapa pertama kali pertemuan, pria itu baru mendengar suara indah Kiara. Tapi, ia malah tersenyum geli karena mendengar rentetan pertanyaan yang keluar dari bibirnya itu.
"Emang kenapa kalau kita sudah melakukan 'itu'? Kamu sudah jadi milikku, terserah mau diapakan dong?"
Mata Kiara menyipit tajam. Apa? Miliknya? Dikira dirinya barang yang bisa digunakan sesuka hati?
"Dasar otak mes*m! Atas dasar apa Anda bisa mengatakan bahwa saya ini milik Anda?" lawan Kiara. "Apa Anda tidak punya perasaan? Saya baru saja berduka, dan Anda menyuruh orang-orang itu menculik saya. Lalu saya sekarang...."
Getir. Keberaniannya seketika luruh begitu menyadari bahwa dirinya telah kehilangan kesucian setelah kematian ayahnya secara paksa. Air matanya menggenang, perlahan ia menunduk bersamaan dengan tangisannya.
"Anda memperkosa saya. Anda benar-benar...."
Pria itu bergeming menatap gadis rapuh itu tenggelam dalam kesedihannya. Ia seakan merenungkan tindakan apa yang harus dilakukannya. Namun, kecerdasan otaknya gagal dalam mencari sikap untuk menghadapi situasi ini.
Ia menghela napas, menyerah. Pria itu beranjak dari ranjang, memunguti piyama mandinya yang disangkutkan pada kepala ranjang, lalu memakainya.
Sebelum berkata, dipandanginya Kiara yang masih menangis sembari menangkupkan wajah dengan telapak tangannya. Kembali ia mendengus. "Di lemari ada pakaian. Bersihkan badanmu, lalu berpakaian. Pelayanku akan datang membawakan makanan. Kita bicara lain waktu."
Tangisan terhenti, Kiara mengangkat kepalanya dengan mata membulat. Pria itu pergi meninggalkannya setelah mengatakan hal itu. Tetapi, Kiara berseru memanggilnya kala pria itu mencapai pintu.
"Tunggu! Katakan sekarang saja. Apa yang terjadi di antara kita? Kenapa aku bisa di sini?" cecarnya.
Pria itu menoleh sedikit. "Kurasa semua ucapanku sudah jelas. Jika kau sudah mulai tenang, aku akan mengatakan semua yang ingin kau ketahui."
Kiara paham, tak ada interupsi lagi, pria itu bisa pergi sekarang. Lantas, dia membuka pintu, dan kemudian lenyap. Suara pintu dikunci terdengar, Kiara sontak mendelik.
Ia disekap?
Tidak! Ia tidak mau dikurung dalam ruangan ini! Kiara langsung melesat ke pintu dan menggedor-gedornya dengan sisa tenaga yang ia miliki sebelum pria itu pergi lebih jauh. Bahkan, ia sambil berteriak agar pria itu bisa mendengarnya.
"Tolong! Buka pintunya. Kenapa saya dikurung di sini! Saya mohon! Jangan kurung saya! Saya janji tidak akan kabur! Tuan, tolong buka pintunya!"
Seberapa keras pun teriakkannya, pintu ini tak terbuka. Lama-lama seruannya memelan karena putus asa. Akhirnya, ia menangis kembali sambil bersandar di pintu.
Sebenarnya, pria itu belum beranjak dari pintu. Dia bergeming di sana dalam keadaan bimbang. Hatinya semakin goyah kala mendengar tangisan Kiara. Namun, ia tetap pada keputusannya. Iapun pergi setelahnya, tak tahan mendengar rintihan gadis itu.
Setelah beberapa saat, tangisan Kiara mereda. Akal sehatnya menuntunnya untuk berhenti meratapi kemalangan hidupnya. Air mata yang mengalir disekanya dengan tekad yang muncul dalam dadanya.
"Nggak, aku harus pergi dari sini! Tapi, aku harus cari caranya," gumamnya.
Kiara beranjak, menyeret langkahnya menuju ranjang, lalu duduk di tepi ranjang sembari berpikir.
"Jika aku menurutinya, apa dia tidak akan mengurungku di kamar? Mungkin dia akan melonggarkan peraturannya dan mulai memercayaiku. Dengan begitu, aku bisa mengendap-endap keluar dari kamar ini. Iya!"
Sudah ia putuskan! Maka, yang harus dilakukannya adalah melakukan perintah pria itu!
Dia memintanya untuk membersihkan diri, 'kan? Kalau begitu, ia bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Namun, ia baru menyadari sesuatu.
Ketika ia bangun dari ranjang, ia lihat tidak ada noda darah di sprei berwarna putih itu. Lalu, ia memeriksa selimut yang sedang menutupi tubuhnya.
"Nggak ada noda darah?" gumamnya mengernyit heran. "Dan selangkanganku juga tidak sakit. Apa benar aku dan dia telah melakukan hal itu tadi?"
Perlukah meminta konfirmasi dari pria itu sekarang?
Nanti saja dipikirkannya! Sebentar lagi pelayan pria itu akan datang. Ia harus bergegas!
Kurang lebih 15 menit Kiara mandi. Tanpa membuang waktu, ia mencari pakaian yang ada di lemari yang ditujuk oleh pria itu tadi.
Ia terperangah saat membuka pintu lemari. Banyak sekali gaunnya! Dan di bawah sana juga telah tertata pakaian dalam serta bra. Kapan pria itu membelinya?
"Niat banget dia?" gumamnya terpana sambil menggelengkan kepala.
Ia memilah-milih gaun-gaun yang terpajang di sana. Lumayan bagus juga modelnya, ada gaun tidurnya juga. Tapi....
"Apa ini? Dasar pria mes*m," rutuknya seraya mengeluarkan sebuah lingerie yang sangat terbuka berwarna merah dengan ekspresi geli dan jijik. Lalu, lingerie itu kembali diletakkan ditempatnya.
Kiara mengobrak-abrik kembali lemari itu. Ia tertarik pada sebuah gaun tidur berwarna biru yang cukup sopan dan tidak terbuka, meski panjangnya sebatas lutut.
Sambil tersenyum, Kiara memandang gaun itu. "Kalau pakai ini, setidaknya pria itu tidak akan terangsang jika kami saling berhadapan. Okelah, pakai gaun ini aja!"
Gaun itu dipakainya, lalu ia mendekati meja rias untuk sedikit berdandan agar tidak terlihat pucat.
Lagi, ia dibuat terpana karena di meja rias sudah tersedia berbagai macam perawatan kulit dan alat rias. Rasa penasarannya semakin besar. Tak sabarnya mendengar semua hal yang ingin diketahui.
Setelah ia memulas tipis bibirnya dengan gincu, terdengar suara pintu diketuk. Ia menoleh, senyumnya terkembang.
Pasti itu pelayannya!
"Nona, ini saya kepala pelayan. Apa Anda sudah berganti pakaian? Saya mau mengantarkan makanan untuk Anda," seru seorang wanita dari luar.
Mengantarkan makan malam? Artinya, dia tidak makan malam bersama dengan pria itu? Kiara menghela napas kecewa.
Padahal Kiara tak menyahut, tapi pelayan itu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Kiara tetap duduk di depan meja rias, memperhatikan seorang wanita paruh baya berpakaian pelayan yang datang dengan dua pelayan muda lainnya.
"Wanita paruh baya itu pasti kepala pelayan," tebak Kiara dalam hati.
Lantas, si kepala pelayan memerintahkan kedua pelayan muda itu membawakan meja beroda yang tersaji menu makan malam untuk Kiara. Mereka meletakkannya di samping ranjang.
Kiara menghampiri, lalu duduk di dekat meja itu, sementara mereka menyiapkan hidangan. Ketiga pelayan itu mengangguk sejenak, sebelum kepala pelayan berkata:
"Silakan, Nona."
Tujuan tak tercapai, rasanya tidak berselera menyantap hidangan itu. Kiara hanya meliriknya tak minat, bergeming seperti untuk beberapa saat.
"Saya ingin makan bersama dengan tuan kalian," kata Kiara tegas.
Sang kepala pelayan tercengang sesaat, lalu menjawab, "Tapi, tuan Shawn sedang bekerja di ruangannya."
Oh, jadi namanya Shawn?
"Ya udah. Kalau gitu, bawa kembali makanan ini!"
Demi bisa bicara dengan pria itu, Kiara terpaksa bertingkah. Apa dengan begini permintaannya bisa dikabulkan? Dari ekspresinya, mereka tampak ragu yang tersimpan sebuah ketakutan. Ada apa ini? Apa pria itu menakutkan di mata mereka?
"Baiklah, Nona. Tapi, tolong dimakan hidangan ini," kata si kepala pelayan, setelah menimbang-nimbang cukup lama.
Bagus! Senyum Kiara merekah lebar. "Baik, akan saya makan."
Para pelayan itu keluar dari ruangan, dan pintu kembali dikunci oleh mereka. Karena terlalu fokus pada pembicaraan yang akan terjadi di antara mereka, Kiara tak menyentuh makanannya, hanya menyeruput sedikit jus jeruknya yang manis.
Cukup lama ia menunggu, tapi pria itu tak kunjung datang. Pintu itu terus dipandanginya dengan harapan pria itu muncul dari sana. Hanya saja, sampai Kiara hampir menyerah, Shawn masih tak menampakkan diri.
Kiara menguap lebar, matanya berat dan mengantuk. Ia akan merebahkan diri, namun tiba-tiba suara pintu dibuka terdengar. Sontak Kiara menegakkan badan, tangan meraih garpu agar terlihat sedang menggulung spagetti.
Begitu pintu dibuka dan Shawn muncul, Kiara menoleh sambil berpura-pura tertegun. Rasanya mau bersorak girang karena rencana awalnya berhasil. Rupanya pria itu telah berganti pakaian dengan menggunakan baju lengan panjang warna hitam dan celana kuldoroi.
Ia mempersiapkan diri; berpura-pura menggulung spagetti dengan sikap acuh-tak acuh, sementara pria itu berjalan mendekatinya. Setelah itu, Shawn duduk di sampingnya, memandanginya dengan ekspresi datarnya.
"Ada apa kau memanggilku ke sini?"
Pertanyaan yang baik untuk mengambil sebuah kesempatan. Kiara meletakkan garpunya di atas piring, lalu menatapnya. "Saya sudah siap dan tenang untuk mendengarkan penjelasan dari Anda. Jadi, tolong beritahu saya. Kenapa saya diculik dan dibawa ke sini?"
Kedua mata cokelat tajam itu menatapnya lamat-lamat, kemudian senyuman sinis khasnya terulas. "Kau yakin ingin mendengarnya?"
Jika ditelaah dari ucapannya, sepertinya keberadaannya di sini terdapat sebuah alasan yang mungkin mengejutkannya. Tapi apa pun itu, Kiara siap mendengarkan.
"Hmm! Saya siap mendengarkan," sahut Kiara, mengangguk mantap.
"Baik." Shawn menghela napas panjang. "Kedua orangtuamu sudah menjualmu kepadaku."
Mata Kiara mendelik lebar. Apa katanya? Dijual?[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Eka Marliyani
lanjut
2022-09-17
0