Hal yang tak terduga

Kiara mendengus. Ban mobilnya kempes, padahal mau buru-buru pulang ke rumah.

Rama datang tepat ketika ia tengah menelepon seorang sopir agar segera menjemputnya. Pria itu mengernyit memperhatikan raut wajah Kiara yang begitu gusar.

"Kiara, ada apa?" tanya Rama, setelah Kiara selesai menelepon.

"Ah, ini ... mobilku bannya ... yah, bocor," jawab Kiara, akhirnya pasrah sambil menunjuk mobil merk Audi warna merah miliknya.

Rama melirik arah tunjukan, memperhatikannya seolah memahami. "Em, udah panggil derek?"

"Iya, ini baru mau telepon," jawab Kiara sambil menekan sebuah nomor telepon di ponselnya.

Senyum penuh arti Rama terkembang. Mungkin Tuhan memberi kesempatan ini untuknya agar bisa mengantarkan Kiara pulang. Cuma hari ini, dan ia takkan menyianyiakannya!

"Ya udah, kalau gitu aku antar pulang, ya," ucap Rama setelahnya, agak hati-hati sambil berharap dapat sambutan dari Kiara.

Melihat Kiara tengah menimbang-timbang jawabannya, harapan Rama semakin besar. Sepertinya, keberuntungan memang berpihak padanya. Tak berapa lama kemudian, Kiara memberi jawaban dengan senyuman simpul yang disertai dengan anggukkan ragu.

Senyum Rama terkembang lebar, langsung bersemangat mengajak Kiara ke tempat mobilnya terparkir. Ia memperlihatkan sikap ramahnya yang membukakan pintu mobil untuk Kiara. Gadis itu cukup terkesan, menerima sikap itu dengan senyum canggung.

Begitu senangnya hati ini, sampai Rama buru-buru ke kursi pengemudi setelah mempersilahkan Kiara masuk ke mobilnya. Gegas, ia melajukan mobil, tapi dengan kecepatan biasa untuk mengulur waktu lebih lama berduaan dengan gadis itu.

"Udah ditelepon tukang dereknya?" tanya Rama basa-basi, begitu melihat Kiara yang baru saja selesai menelepon.

"Udah, Pak," jawab Kiara sambil memasuki ponselnya ke dalam tas. "Makasih banyak atas tumpangannya, saya jadi nggak enak sama Bapak."

Rama tertawa kecil. "Jangan panggi 'bapak' dong, saya belum nikah, dan kita seumuran, 'kan? Panggil aku 'Rama' aja."

"Rama?" Kiara mengulang, canggung. "Oh, oke...."

Meski terkesan masih enggan, hati Rama seakan melayang ke nirwana. Namanya disebut olehnya saja sudah cukup. Namun, ia berharap bisa lebih dari ini. Dan mungkin, mengantarkannya pulang adalah awal dari hubungan yang akan berkembang setelah ini. Syukur-syukur kalau mereka sampai ke tahap lebih serius. Kiara memang tipe wanita idamannya.

Oke, kini ia berani melangkah maju lebih cepat. "Em ... kalau diijinkan, aku pengin sekalian makan bareng sama keluarga kamu. Itupun kalau dibolehkan," ucap Rama tanpa ragu menerobos batasnya.

Akan tetapi, Kiara yang malah tidak nyaman dengan sikap buru-buru Rama. Pasalnya, ia belum memberitahukan tentang dirinya pada orangtuanya. Ia sendiri oke aja, tapi yang dicemaskan adalah tanggapan kedua orangtuanya nanti.

Rama jadi kecewa melihat raut wajah keraguan Kiara, apalagi gadis itu berpikir cukup lama untuk mengambil keputusan. Yah, mungkin langkahnya terlalu cepat. Ada baiknya ia meralat sebelum Kiara merasa tak nyaman.

"Oh, ya udah kalau nggak boleh. Nggak apa-apa kok," kata Rama seraya tertawa kecil sebagai samaran dari rasa kecewanya. "Mungkin lain kali aja."

"Bukan gitu." Buru-buru Kiara menyahut, tak enak hati. Kemudian, ia terdiam dan berpikir ulang lagi.

Mungkin, ia tak perlu mencemaskan soal orangtuanya. Toh, papa dan mamanya orang baik, pasti mereka akan menerima Rama dengan senang hati. Harapnya.

"Ya, kamu boleh kok makan siang bersama di rumah," katanya menambahkan.

Sekalipun senang, Rama tak mau buru-buru ber-euforia. "Yakin? Aku nggak maksa kamu buat...."

"Benaran kok, nggak apa-apa," sela Kiara, lalu tersenyum. "Kamu boleh gabung makan siang dengan keluargaku. Tapi, maaf kalau makanannya cuma masakan ala rumahan."

Apa pun itu, Rama tetap bahagia. Senyum semringahnya terkembang, dan iapun menjawab, "Masakan rumahan? Aku suka banget kok."

Syukurlah jika memang begitu. Kiara tersenyum lega sambil mengangguk. Topik bahasan berubah agar kecanggungan memudar, dan membunuh waktu di jalan menuju rumah Kiara. Mereka membicarakan kegiatan mengajar dan anak didik mereka. Mudah sekali bagi mereka untuk akrab, dan Rama bisa menikmati setiap senyuman dan tawa Kiara ketika pembicaraan diselingi oleh sedikit candaan.

Sambil melajukan mobil, Rama merekam dalam otaknya seluruh rute jalan menuju rumah Kiara. Walau hanya sekali, ia sudah menghapalnya. Jadi, besok-besok ia bisa ke sini untuk sekadar mampir atau menjemput Kiara.

Sampailah mereka di depan pagar cokelat yang terbuat dari kayu jati yang cukup tinggi. Rama menekan klason mobilnya dua kali atas saran dari Kiara, dan pagar pun dibuka oleh seorang satpam. Rama kembali melajukan mobilnya sampai di depan pintu rumah.

Namun, Kiara mengernyit saat melihat mobil mewah yang terparkir di depannya. Bukannya itu milik mobil pria asing yang datang minggu lalu? Mau apa lagi dia ke sini?

"Kiara, kenapa? Yuk, turun," kata Rama, membuyarkan lamunannya.

Kiara tertegun dan sontak menoleh. "Ah, iya!" sahutnya, lalu gegas membuka sabuk pengaman.

Tepat saat mereka turun dari mobil, pria asing tampan bersama dengan sekretarisnya baru saja keluar dari rumahnya. Tatapan pria itu langsung mengarah padanya, begitu juga dengan Kiara. Mereka berpapasan tanpa menyapa, Rama bertanya-tanya dalam hati tentang pria tampan yang ada di hadapannya.

"Ayo, kita pergi," kata pria itu dingin, langsung memalingkan wajah setelah pertemuan pandang di antara dirinya dengan Kiara terjadi selama hampir semenit.

Kiara mendengus. Apa-apaan dia? Pria sombong! Sebagai seorang tamu, bukankah dia seharusnya menyapa pemilik rumah?

"Siapa dia, Kiara?" tanya Rama, yang sejak tadi menahan pertanyaan itu di kepalanya.

Tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya pada mobil mewah pria itu, Kiara menjawab sinis. "Nggak tau. Tamunya papa kali? Udah, nggak usah dipikirin. Yuk, masuk ke dalam. Silakan."

Kiara mengulurkan tangan, mempersilakan Rama dengan ramah. Namun, pria itu menyuruh Kiara untuk jalan duluan di depannya. Kiara menyambut keramahan itu seraya tersenyum dan menaiki anak tangga menuju pintu.

Ia memasuki rumah dengan riang. Rasanya ingin buru-buru memperkenalkan Rama pada orangtuanya. Akan tetapi, ia malah dibuat heran begitu melihat papa dan mamanya berpelukan di ruang tamu seraya menangis.

Segera ia menghampiri keduanya, bersimpuh di hadapannya, lalu bertanya, "Pa, Ma, ada apa ini? Kenapa kalian nangis? Apa ... apa pria tadi melakukan sesuatu pada kalian?"

Ibu tirinya berhenti menangis, menatapnya seraya menggeleng. "Bukan, Nak. Tapi ... tapi...." Suaranya tercekat akibat isakan, tapi kepahitan yang dirasakan juga jadi penyebabnya sulit untuk melanjutkan ucapannya.

"Tapi apa, Ma?" desak Kiara. "Oke, Mama coba tenang dulu, baru nanti cerita, ya?"

Mungkin memang sudah saatnya Kiara tahu. Dia bukan gadis kecil lagi, dan papanya akhirnya membuka suara. "Perusahaan kita bangkrut, Nak," ucapnya terisak, tetap menundukkan kepalanya.

Bangkrut? Sejak kapan? Selama ini, yang Kiara tahu perusahaan mereka dalam keadaan baik. Tentu ini membuatnya syok. Cukup lama baginya untuk mempercayai kebenaran yang terucap dari bibir sang ayah.

"Nggak mungkin, Pa. Selama ini, perusahan kita tidak mengalami masalah. Tapi, kenapa tiba-tiba...."

"Gimana kamu bisa tahu!" sahut ibu tirinya gusar. "Bukannya bekerja di perusahaan, kamu malah memilih bekerja sebagai guru TK!"

Ibunya membentaknya? Kiara mendelik, terkejut. Tak disangka, ibu tirinya yang dikenal lembut dan menyayanginya melakukan hal ini.

"Bukannya, selama ini Mama mendukungku menjadi guru TK?" keluh Kiara, memelas sedih.

"Iya! Karena kupikir perusahaan dalam keadaan baik, dan papa masih sanggup menjalankan perusahaan. Tapi kamu lihat? Kondisi kesehatan papa sekarang memburuk! Laju perusahaan semakin merosot, beberapa investor menarik dana mereka, dan sekarang kita punya utang di bank. Memangnya kamu pikir...."

"Farah, tolong jangan diteruskan," tegur suaminya, yang tak ingin anak perempuannya semakin iba pada keadaan keluarga ini. Apalagi, saat ini mereka tengah kedatangan tamu.

Wanita itu menutup mulutnya, kembali duduk di samping suaminya seraya mendengus gusar. Pria paruh baya itu memperhatikan anak perempuannya yang membeku dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, Kiara juga mencemaskan keadaan mereka.

Ia tak mau hal itu membebaninya. Ia harus menenangkannya. Maka, diraihnya tangan Kiara, lalu membungkus lembut tangannya dengan kedua tangan keriputnya.

Isakan Kiara terhenti, mengalihkan tatapannya pada sang ayah yang tengah tersenyum getir.

"Nak, jangan cemas. Semuanya akan baik-baik saja. Papa akan berusaha keras untuk mempertahankan perusahaan," ucapnya, tersimpan kehangatan yang justru semakin membuat hati Kiara mencelus.

"Seandainya aku memilih bekerja di perusahaan, mungkin tidak akan jadi gini," kata Kiara, terisak sembari menangkup wajahnya pada genggaman tangan ayahnya.

Tangan papa mencapai puncak kepalanya, lalu membelainya lembut. "Jangan salahkan dirimu. Papa justru mendukung apa pun yang kamu cita-citakan."

Tetap saja, Kiara semakin merasa bersalah. Sejak itu, ia menyesali pilihan yang didasari atas egonya.

Tubuh rentanya mulai lelah. Ditambah lagi, melihat kesedihan sang anak membebani pikirannya yang kacau. Papa mengulurkan tangannya pada istrinya, memintanya untuk membawanya ke kamar.

Sang istri dengan hati-hati memapahnya. Namun, baru beberapa langkah, tubuh papa tiba-tiba ambruk. Kiara bergegas bangun dan menghampiri seraya menjerit panik.

"PAPA!"[]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!