Nikah Dulu, Cinta Belakangan
Jasad telah terkubur. Bunga ditaburkan di atas tanah gundukan yang masih basah. Doa dipanjatkan, suara tangis terdengar dari beberapa pelayat.
Langit kelam mengiringi hari berkabung. Takut hujan mengguyur, para pelayat bergegas pergi setelah memberikan ucapan bela sungkawa kepada keluarga yang berduka.
Sunyi. Kemudian, angin berembus pelan dengan disertai guruh di angkasa. Seorang wanita paruh baya memeluk anak lelaki remaja seraya sesegukkan, sementara seorang gadis berdiri di samping nisan sambil menunduk.
Kenapa begitu cepat? Lirihnya dalam hati. Ibu pergi ketika ia masih berusia 9 tahun, dan kini ayahnya menyusul saat ia sendiri belum siap kehilangan.
Telah banyak air mata tumpah sejak dokter mengumumkan kematiannya. Namun, begitu peti jasad ayahnya dikubur, gadis itu hanya terdiam tanpa menangis.
Sampai kapan ... sampai kapan ia bisa menahannya. Tubuhnya seketika jatuh berlutut di samping nisan. Lalu, tangisnya pecah sambil memeluk erat nisan yang telah terukir nama sang ayah.
Remaja lelaki itu menghampiri, tangannya meraih pundak sang kakak seraya berkata, "Kak, yuk pulang."
Ia tahu adiknya juga kehilangan, tapi belum bisa merelakan ayahnya pergi.
"Kamu bawa mama pulang duluan, aku akan menyusul," jawabnya di sela isakannya. "Aku masih mau di sini."
"Tapi, sebentar lagi mau hujan, Kak."
"Iya, Kiara," timpal mama tirinya, lembut. "Yuk, pulang. Kamu boleh ke sini lagi besok."
Kiara menggeleng, pelukan pada nisan ayahnya semakin dipererat. Ia tak mau pergi, ia ingin di sini menemani ayahnya tanpa takut akan angkernya makam ini. Kalau perlu, cabut saja nyawa ini. Ia tak sudah kehilangan kedua orangtua kandungnya.
Guruh berbunyi lagi, mama dan remaja bernama Kelvin itu menegadah ke langit dengan cemas. Awan seakan tak tahan lagi mengeluarkan isinya. Ibu dan anak itu sepakat memaksa gadis itu untuk beranjak.
Keduanya meraih lengan Kiara, lalu menghelanya berdiri. Gadis itu tak kalah keras kepalanya, sekuat tenaga menahan tubuhnya agar tidak beranjak sambil menjerit dan menangis.
"Lepaskan aku! Ma, Kelvin, aku nggak mau pergi dari sini!"
"Maaf, Nak. Tapi, Mama juga tidak bisa membiarkan kamu kehujanan di sini," kata wanita paruh baya itu. "Ayo, pulang Kiara. Please, jangan siksa dirimu seperti ini."
Drama tarik-menarik ini tak kunjung usai. Bahkan, ketika rintik hujan mulai turun satu per satu. Mama dan Kelvin baru berhenti memaksa ketika mendengar bunyi derak ban mobil melindas tanah. Keduanya menoleh terpana pada mobil Jeep itu, sementara Kiara berkesempatan untuk kembali memeluk nisan papanya.
Empat pria berbadan kekar keluar dari mobil itu. Mata mama dan Kelvin membulat kala mereka berjalan mendekat ke arah mereka. Salah satu dari mereka, yang berkepala pelontos, menghadap mama, kemudian dia berkata:
"Sesuai perjanjian, kami harus membawanya pergi!"
Membawa pergi? Siapa? Kelvin akan menanyakan hal itu pada mamanya yang tengah mendelik. Akan tetapi, pria itu sekonyong-konyong memerintahkan anak buahnya tanpa mendengar jawaban mama.
Dua orang pria berbadan kekar itu menghampiri dan menyergap kedua lengan mereka. Kiara tak berdaya ketika tubuhnya terangkat langsung dengan mata mendelik.
"Apa-apaan ini? Siapa kalian? Lepaskan saya!" pekik Kiara bingung.
Tanpa mengindahkannya si kepala pelontos berkata, "Bawa gadis itu ke mobil!"
Apa?
Kiara bingung dan panik. Kenapa ia dibawa oleh pria asing itu? Kelvin meraih tangan salah satu pria yang menyergap kakaknya untuk mencegahnya.
"Tunggu dulu! Kalian siapa? Kenapa kalian membawa kakak saya?" tanyanya, kemudian ia beralih tatap pada sang ibu. "Ma, ada apa ini? Kenapa diam aja? Jawab, Ma?"
Kiara juga penasaran, menoleh pada mamanya yang tengah menunduk dengan mulut dikulum serapat-rapatnya.
Mereka tidak punya waktu, bahkan tak peduli pada urusan keluarga ini. Tugas mereka hanya disuruh membawa gadis ini pada atasannya. Pria kepala pelontos itu memberi perintah lagi, dan mereka membawa Kiara tanpa mempedulikan Kelvin yang terus berusaha menahan mereka.
Kiara meronta dan menjerit sambil menatap adik dan ibu tirinya. Tubuhnya yang kecil dan lemah tak dapat melawan kekuatan kedua pria itu, sehingga sia-sia saja perlawanannya. Akhirnya, ia dengan mudah diboyong ke dalam mobil.
"Ma, ada apa ini? Kenapa Mama diam aja?" tanya Kelvin lagi, memelas karena terlalu putus asanya dalam kepanikan, kebingungan, dan lelah menghadapi bungkamnya sang ibu.
Tak mendapat jawaban Kelvin nekat untuk menyusul Kiara. Di sinilah mama baru bertindak, cepat ia menyambar lengan Kelvin untuk mencegahnya.
"Jangan, Nak," pintanya.
Heran, kenapa mama mencegahnya? "Kenapa, Ma? Kenapa? Apa hubungannya mereka sama kita? Apa yang Mama sembunyikan?" Pertanyaan itu kali ini bernada gusar dan agak membentak.
Mama bungkam lagi, Kelvin semakin kesal. Masa bodo, Kelvin menghempaskan genggaman tangan mama dengan kasar, lalu berlari menghampiri mobil Jeep tanpa mengindahkan seruan mama.
Sayang, mobil itu melaju. Sebisanya Kelvin mengejar mobil itu di tanah yang becek oleh air hujan yang turun semakin deras.
"Kakak! Kakak!" teriaknya, melewati jalan yang masih sebagian bertanah merah. Alhasil, celana bahan dan sepatu ketsnya kotor.
Kiara mendengar seruan itu, lalu melihat menoleh ke belakang. "Kelvin! Kelvin!" jeritnya sambil kembali meronta meski ia tahu usaha itu hanya sia-sia.
Mobil semakin menjauh, laju lari Kelvinpun melambat perlahan karena lelah. Sepatu yang dipakainya licin ketika menginjak tanah basah, yang mengakibatkannya jatuh terpeleset.
"Kakaaaaaakkk!" teriaknya dengan diselingi tangisan.
Mama datang tak lama kemudian, memeluk anak lelakinya yang terisak putus asa sambil terkadang menatap mobil Jeep yang telah keluar dari area pemakaman.
Kiara menangis pedih begitu melihat Kelvin terjatuh. Kepalanya tertunduk lemas.
Ada apa dengan hidupnya? Baru saja dipisahkan oleh sang ayah, sekarang ia direnggut oleh orang-orang asing ini. Siapa mereka? Kenapa mereka membawanya pergi dari adik dan ibu tirinya.
Tidak, ia tak bisa menyerah begini!
Tangisannya berhenti, tak ada lagi suara isakan yang terdengar. Secara mengejutkan Kiara meronta kembali ketika sergapan di lengannya melemah.
Meski tiba-tiba, tak semudah itu melepaskan diri dari kedua pria itu. Genggaman tangan berotot mereka tetap kuat, tetapi mereka tetap kewalahan. Alhasil, semua penghuni di dalam mobil dibuat kesal dan cemas.
"Bekap dia!" Akhirnya, si kepala pelontos memberi perintah untuk mengatasi kekacauan ini.
Pria yang ada di kursi depan mengeluarkan sebuah sapu tangan dan sebotol obat bius berukuran kecil dari dalam laci dashboard. Obat bius itu dituangkan sedikit ke sapu tangan itu, kemudian ia berikan pada salah satu pria yang tengah memegangi Kiara.
Kiara mendelik, tahu bahwa dirinya akan dibius. Sebisa mungkin ia menghindari wajahnya, tapi pada akhirnya pria itu berhasil membekap mulutnya.
Meski berusaha tak menghirupnya, Kiara tak kuasa menahan obat itu masuk ke dalam pernapasannya. Lambat laun, tubuhnya melemas, dan kesadarannya menghilang.
Ia tak tahu apa yang terjadi setelahnya, dan entah sudah berapa lama ia pingsan. Ketika matanya dibuka, ia sudah berada di atas ranjang, dan pemandangan yang dilihatnya pertama kali adalah wajah seorang pria tampan yang jaraknya begitu dekat.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
teti kurniawati
seru kak, tulisannya bagus.
mampir yuk di karya aku
1.Cinta berakhir di lampu merah
2.Surat terakhir untuk ibu
3.Suami, rupa madu mulut racun
2022-10-11
0
Okta Via
saya suka tulisanmu Thor ceritanya mengalir tidak membosankan
2022-09-13
0