Aku mengingatnya!

Kiara duduk di kursi yang ada di depan kamar papanya dirawat. Ia menunduk, memangku wajahnya dengan jemari yang dijalin, dan menangis tanpa suara.

Rama hanya berdiri di depannya, iba. Kesempatan untuk dekat dengan Kiara berubah bencana. Ia berada di tempat terjadinya peristiwa pahitnya hidup Kiara.

Ia tak tahu harus apa. Menunjukkan rasa simpati? Apa tepat bagi Kiara sekarang?

Rama berpikir lagi. Mungkin ia cuma bisa melakukan ini. Maka, ia bersimpuh di depan Kiara, meraih tangan gadis itu—meski awalnya ragu mengulurkan tangannya.

Kiara mendongak sedikit, menatap Rama. Kemudian, Rama membawanya dalam dekapan di dadanya.

"Papamu pasti baik-baik saja," ucap Rama lembut.

"Mungkin memang karena aku papa jadi begini," rengek Kiara sesegukan.

"Sssshhh, jangan salahkan dirimu. Tadi kamu dengar, 'kan? Papamu sama sekali tidak menyalahkanmu. Siapa yang menyangka akan jadi seperti ini. Tidak akan ada yang tahu semua rencana Tuhan."

Ucapan yang disertai tepukan lembut di punggunya, memudarkan sedikit kesedihannya. Tangisan Kiara perlahan berhenti, tanpa sadar didekapnya erat tubuh Rama. Memang, pria inilah yang diperlukannya saat ini. Pria yang bisa memberikannya sandaran dikala hati berduka.

Kemudian, Kiara teringat pada seseorang yang juga lebih berduka darinya. Mama tirinya.

Ia tertegun dan menoleh pada sang ibu, yang tengah menangis sambil berdiri di depan pintu kamar. Iapun beranjak menghampirinya. Wajahnya memelas menatap wanita itu, lalu dipeluknya wanita itu.

"Mama pulang dulu aja, ya? Biar aku yang jaga di sini," kata Kiara, air matanya menitik lagi.

Wanita itu melepas pelukannya sambil menyeka air matanya. "Kamu aja yang pulang. Kamu pasti capek dan lapar," timpalnya, tak ada lagi nada gusar yang seperti tadi. "Maafkan Mama karena sudah membentakmu tadi. Mama ... Mama sangat bingung karena hal buruk ini terjadi. Sekarang, Mama tidak tahu cara melunasi utang-utang keluarga kita."

Kiara juga turut memikirkannya. Ia menghela napas. Apa yang harus ia lakukan? Ia punya sedikit tabungan, tapi apa cukup membantu?

Suara derap langkah berlari terdengar. Pandangan mereka sontak mengarah pada suara itu. Kelvin datang dengan masih memakai seragam sekolah.

Lalu, ia menghampiri ibu dan kakaknya yang tengah tercengang menatapnya. "Kak, Ma, gimana keadaan papa?"

"Kelvin, kok kamu nggak ganti baju dulu kalau mau ke sini?" tanya Kiara, agak menegur.

"Kamu udah makan, Nak?" Kini, giliran ibunya yang mencecar.

Napas Kelvin belum teratur untuk menjawab rentetan pertanyaan mereka. Ia diberikan waktu untuk menenangkan diri, sampai napasnya tak lagi terengah-engah, kemudian ia menjawab, "Salah seorang pembantu memberitahukan soal papa sesampainya aku di rumah. Makanya, aku langsung lari ke sini. Dan aku nggak sempat makan."

Raut wajah kecemasan tergambar dari wanita itu. Namun, sebelum dicecar lagi, Kelvin buru-buru berkata lagi.

"Jadi, papa gimana keadaannya, Ma?"

Wanita yang ditanyanya memandang Kiara, antara enggan dan tak sanggup untuk menjawab. Akan tetapi, anak itu perlu tahu. Dan dengan hati nelangsa, ia menjawab, "Papamu terkena stroke. Dan sekarang papa belum juga siuman."

Kelvin menghela napas, tubuhnya langsung melemas. Kiara tahu perasaan yang sedang dialami remaja itu, ia menegarkannya dengan rangkulan lembut dan belaian di pundaknya.

"Kenapa jadi gini sih?" gumam Kelvin lirih.

"Nanti akan aku ceritakan. Kamu bawa mama pulang dulu deh, terus ajak makan. Biar aku yang berjaga di sini," bujuk Kiara.

"Tapi, kamu nanti gimana? Kamu kan juga belum makan," timpal sang ibu tiri, tak setuju jika Kiara mengorbankan diri, sementara dirinya juga lelah dan lapar.

Senyum getir Kiara terkembang, tak cukup menyeka kecemasan adik dan ibu tirinya. "Aku akan makan nanti," jawabnya seadanya, lalu menoleh pada Rama. "Pak Rama, tolong antarkan ibu dan adik saya pulang, ya?"

Rama mengangguk seraya tersenyum simpul, lalu menghampiri dua orang tersayang Kiara. "Ibu, Kelvin, mari ikut saya. Kiara, nanti aku ke sini lagi, ya."

"Nggak usah, Pak. Bapak pulang aja sehabis mengantarkan ibu dan adik saya. Bapak pasti capek. Dan lagi pula, Bapak besok harus mengajar anak-anak. Maaf karena udah merepotkan Bapak, dan saya berterimakasih atas bantuannya."

Penolakan halus yang malah membuat Rama kecewa. Namun, Rama tak mau memaksa jika itu keinginan Kiara.

"Ya udah kalau gitu. Mari, Ibu, Kelvin, saya antarkan pulang."

Kiara mengantar mereka sampai ujung lorong, lalu kembali ke depan kamar rawat ayahnya dengan langkah pelan. Kursi besi itu dihampirinya, tapi ia malah beralih ke ambang pintu kamar.

Lewat jendela kecil, ia menatap tubuh sang ayah yang tengah terbaring dengan ditempeli alat-alat medis. Lagi, air mata menggenang, lalu terisak. Hidupnya hancur, tapi ia lebih tak berdaya lagi jika kehilangan sang ayah.

"Pa, bangunlah, cepat sembuh supaya kita bisa berkumpul lagi dan menghadapi kesulitan kita bersama-sama. Aku akan membantu sebisaku. Aku yakin, masalah ini akan segera usai."

Tak tahan rasanya menahan tangisan. Perlahan, ia menuju kursi, lalu duduk di sana dengan mata bercucuran air mata yang deras.

Karena ia menunduk dengan wajah ditangkupi oleh kedua tangannya, ia tak menyadari kedatangan seseorang. Dia berhenti di hadapannya, bergeming cukup lama sambil menatapnya.

Letih, ia pun menghentikan tangisannya. Ketika wajahnya tersingkap, ia melihat sepasang kaki bersepatu pantofel hitam yang ada di hadapannya. Ia tertegun, lalu menoleh dengan mata membulat.

Pria asing yang ada di rumahnya tadi! Dia ke sini?

Tanpa mengatakan apa pun, pria itu menyodorkan sebuah bungkusan kantong warna putih padanya. Kiara hanya melirik heran, tak kunjung mengambil bungkusan itu.

"Kamu butuh tenaga untuk menjaga ayahmu," ucap pria itu karena Kiara tak kunjung menerimanya.

Masih dalam keadaan terpana, Kiara menerima pemberian pria itu. Dia tersenyum tipis tapi misterius, lalu dia pergi dari hadapan Kiara.

Pandangan Kiara tak lepas dari punggung atletis yang dibalut oleh tuxedo hitam mahal pria itu, sampai melupakan sesuatu. Setelah tersadar, ia berseru.

"Ah! Aku lupa tanyain namanya!" Kemudian, diliriknya bungkusan itu, dan melihat isinya.

Makanan dan minuman cepat saji? Pantas saja dia bilang seperti itu tadi.

Meski sosok itu telah menghilang, Kiara kembali menoleh pada ujung lorong.

"Siapa dia? Apa dia tamu papa? Atau orang yang menghancurkan perusahaan papa?"

Pria itu telah dicap seperti itu dalam otak Kiara selama ini. Dan ia mengingatnya detik itu juga ketika kembali bertemu dengan pria itu di ranjang ini sebulan kemudian.

Kiara yang baru tersadar sehabis menghirup bius dari bekapan para penculik, menemukan dirinya tengah terbaring di ranjang ini bersama dengan pria asing yang ditemuinya waktu itu.

Ia terhenyak, sontak terbangun dan beringsut mundur. Namun, ada yang lebih mengejutkan dari ini. Ia menyadari bahwa tubuhnya hanya dibaluti selimut putih.

"Apa yang terjadi? Pakainku? Di mana pakaianku?" cercaunya, panik mencari gaun dan pakaian dalamnya.

Ia menemukannya tergeletak sembarangan dan berantakan di bawah lantai kamar yang asing itu. Tangan meraih gaun hitamnya yang tepat di bawah ranjang ini seraya memegangi ujung selimut yang menutupi dadanya.

Ketika Kiara tengah sibuk, pria itu membuka matanya. Bibirnya mengulas senyum misterius, lalu bangun tanpa bersuara.

Akhirnya, Kiara berhasil memungut gaun itu, lalu menggenggamnya erat. Iapun berbalik. Tapi, ia malah terkejut saat menoleh ke belakangnya, sebab wajah pria itu begitu dekat dan tepat di depan wajahnya.

Pria itu tersenyum, menatapnya lekat seakan sedang membidik mangsa empuknya yang lemah dan ketakutan. Tentu Kiara gugup, sampai tanpa sadar menjauhkan tubuhnya.[]

Terpopuler

Comments

Eka Marliyani

Eka Marliyani

waduh serem

2022-09-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!