Beberapa hari berselang, Karin tengah bersantai di teras rumahnya. Sembari memainkan ponsel dan mengunyah pisang goreng hangat. Hari minggu yang membosankan sebab, tak ada satu pun temannya yang bisa ia ajak untuk jalan-jalan.
"Ikut aku saja!" celetuk Serena yang seolah bisa membaca kata batin Karin.
"Ke mana?" tanya Karin seraya menyesap jus jeruk buatannya.
"Ke kondangan."
"Nikahan?"
"Iya."
"Bukannya kapan hari sudah ya?"
"Ada lagi."
"Hemm.. sibuk benar jadwalmu."
Serena mengulas senyum.
"Kamu mau?"
Karin terlihat berpikir sejenak sebelum kemudian mengangguk, setuju.
"Boleh deh tapi, apa yang harus kukenakan?"
"Apa saja bisa."
"Bagaimana bisa? lihat dirimu! kamu memakai kebaya dan kain jarik. Sementara aku.."
"Kalau mau, aku pun akan berpenampilan seperti dirimu," jawab Serena dan dalam sekedipan mata, pakaian Serena telah berganti.
Serena mengenakan atasan kuning dan rok sepanjang lutut dengan motif bunga-bunga.
"Bisa-bisanya kamu ya.."
Karin terkekeh lalu bangkit dari tempatnya duduk.
"Oke, aku ambil dompet dulu!"
"Iya."
Setelah semuanya siap, Karin bertanya, ke arah mana mereka akan pergi?
Karin tersenyum seraya meminta Karin untuk memejamkan matanya. Meski bingung, Karin menurut saja.
"Sudah, buka mata kamu!" pinta Serena.
Karin membuka matanya dan sekarang, ia telah berada di depan tenda pernikahan.
"Hah? kok bisa? kita belum jalan loh."
"Tidak perlu dipikirkan! ayo masuk!"
"Boleh nih masuk tanpa undangan?"
"Boleh," jawab Serena sembari menggandeng lengan Karin dan mengajaknya berjalan masuk ke dalam.
Suasana pernikahan jin, tak ubahnya seperti pernikahan manusia pada umumnya. Hanya saja, pernikahan di sini terlihat masih tradisional seperti pernikahan di pedesaan pada zaman dahulu. Kalau sekarang, meski pun di desa, sudah banyak perkembangan. Acara pernikahan terlihat lebih megah, dekorasinya pun ada beraneka ragam. Biasanya, masih ditambahkan acara elektone dengan mengundang penyanyi ternama atau sejenisnya.
Duo orang penerima tamu menatap ke arah Karin dan Serena. Hanya tatapan dingin tanpa ada sapaan keramahan. Setidaknya kepada Karin sebab, dua orang itu bergegas menunduk hormat ke arah Serena. Meski terlihat janggal, Karin memilih untuk mengabaikannya.
Dalam beberapa langkah berikutnya, Karin dapat melihat dengan jelas paras si pengantin. Tidak ada yang aneh dari busana yang mereka kenakan. Hanya saja, wajah mempelai laki-laki sedikit aneh. Rahangnya begitu menonjol ke depan. Sementara mata kiri mempelai perempuan tidak simetris dengan yang kanan. Mata kirinya sedikit turun ke bawah. Terlihat menakutkan tapi Karin menganggapnya sebagai cacat bawaan lahir. Entah memang sepolos itu Karin atau memang, dia tiba-tiba lupa kalau sekarang, sedang berada di alam jin.
Keanehan juga terlihat pada kedua orang tua mempelai laki-laki dan perempuan. Ada yang kakinya pendek sebelah, ada yang hidungnya nyaris tidak ada dan ada pula yang sebelah pipinya cekung, seolah tidak ada dagingnya. Belum lagi wujud para undangan yang lain. Jika diperhatikan, fisik mereka, tak ada satu pun yang utuh sempurna.
"Kamu takut Karin?" tanya Serena.
"Enggak."
"Bagus kalau begitu, ayo ke sana!"
"Iya."
Di bawah panggung kuwade, terdapat beberapa meja panjang, lengkap dengan kursi di sisi-sisinya. Para tamu undangan duduk di sana. Begitu pun dengan Karin dan Serena. Tak lama, dua orang menghampiri keduanya seraya mengulurkan dua piring nasi rawon sebagai hidangan jamuan. Serena memandang Karin lalu memintanya untuk makan. Karin mengangguk lalu mulai menyendok nasi rawon yang memiliki aroma sangat sedap.
Tidak ada yang aneh. Rasanya sama persis seperti rawon pada umumnya. Di meja juga disuguhkan beraneka ragam jajanan. Seperti pisang goreng, lemper, nagasari, lepet dan lain sebagainya. Karin memakan satu buah nagasari usai rawonnya habis. Setelah dirasa kenyang, Serena lantas mengajak Karin untuk bersalaman dengan si empunya hajat.
Hal lain yang mulai Karin sadari adalah sikap dingin yang ditunjukkan oleh semua orang. Bahkan ketika si mempelai bersalaman dengan para tamu undangan, sikapnya tetap dingin. Kalau pun menanggapi, sekedar ucapan "Heem" yang terdengar. Layaknya orang yang sedang berdehem.
Keanehan kembali Karin lihat ketika si empunya hajat malah menunduk hormat kepada Serena yang mana menurut Karin, usia Serena tak jauh beda dengannya. Sementara si empunya hajat sudah tua. Karin menduga kalau orang tua Serena adalah sosok yang sangat berpengaruh sehingga anaknya pun turut dihormati. Namun, sepersekian detik kemudian, muncul pemikiran lain di benaknya.
"Apa jangan-jangan, mereka memang menghormati Serena, bukan karena orang tuanya, tapi kenapa?"
"Dia temanku," ucap Serena seraya memperkenalkan Karin kepada si empunya hajat.
Setelah itu, Karin bersalaman dengan mereka sekaligus berpamitan untuk pulang. Karin dan Serena berjalan keluar dari tenda pernikahan. Mata Karin tak henti-hentinya melihat ke sekeliling. Sungguh tempat yang asing baginya. Di depannya terhampar jalan setapak nan gelap. Serena menepuk pundaknya lalu sekali lagi meminta Karin untuk menutup matanya. Namun, kali ini Karin menolak. Dia ingin tahu, jalan mana menuju rumahnya. Dengan kata lain, ia ingin tahu sedang berada di desa apa atau berada di jalan apa.
"Kamu mau jalan ke jalanan gelap itu Karin?"
"Hemm.. aku hanya ingin tahu arah mana yang akan kita lalui untuk kembali ke rumahku."
"Tidak perlu tahu."
"Kenapa? memangnya kita sedang ada di mana?"
"Tutup saja matamu dan kita akan segera kembali ke kamarmu!"
"Aku mau ke sana!"
"Jangan! nanti kamu hilang."
Deg...
"Apa maksudmu?"
"Tutup mata ya!" pinta Serena sembari menutup kedua mata Karin menggunakan tangannya. Seperti sebelumnya, dalam sekejap saja, Karin benar-benar telah kembali ke dalam kamar tidurnya.
"Sudah di sini?" tanya Karin sembari memandang ke sekeliling kamarnya.
"Iya."
"Loh, kok sekarang jam setengah lima sore sih? tadi kan masih siang dan di sana pun tidak lama. Apa rusak ya jam dindingku?"
"Tidak rusak kok tapi kamu salah, sekarang sudah subuh, bukan lagi sore."
Deg..
"Hah? jangan bercanda kamu!"
Sesaat setelah Karin berucap, terdengar suara adzan subuh berkumandang. Saat itulah baru Karin percaya. Dia terduduk di pinggiran ranjang sembari berpikir, mencoba merasionalkan kejadian di luar nalar yang baru saja ia alami.
"Duh!" pekik Karin.
"Ada apa?" tanya Serena.
"Subuh, orang tuaku pasti mencariku ke mana-mana."
"Jangan khawatir!" ucap Serena sembari mengulas senyum segaris.
"Gimana bisa, tidak khawatir?"
"Kalau kamu selalu ada di kamar ini, bagaimana mungkin orang tuamu khawatir?"
"Hah? maksud kamu apa?"
"Sudahlah, tenang saja! kamu tidak akan kena marah."
Karin kian bingung mendengar ucapan Serena. Sementara Serena, kini telah menghilang dari pandangan.
"Ya ampun subuh, belum sempat tidur, beberapa jam lagi sekolah, apa gak ngantuk nanti?"
Karin menghela napas panjang seraya merebahkan dirinya di ranjang.
🍁🍁🍁
Di sekolah, Karin mengikuti semua pelajaran seperti biasanya hingga jam istirahat terdengar. Dia berjalan ke kantin untuk jajan bersama dengan teman-teman perempuannya. Bersenda gurau hingga tanpa terasa bel masuk kembali berbunyi. Pelajaran dilanjutkan hingga jam pulang tiba. Rutinitas terus berulang sampai tiba di akhir pekan.
Akhir pekan ini, Karin mendapat undangan perayaan ulang tahun dari Tika. Bukan acara besar yang diselenggarakan. Sekedar acara mentraktir makan untuk teman satu gengnya, termasuk Karin. Teman dekatnya di SMA ada empat orang, yakni dirinya, Tika, Desi dan Yanti. Mereka memang telah sepakat untuk saling mentraktir makan ketika ada yang berulang tahun. Tidak perlu mahal, asal semua bisa merasakan kebahagiaan.
Kali ini, Tika mentraktir makan teman-temannya di sebuah rumah makan yang menjual menu soto ayam. Cukup ramai dan terkenal di kota mereka. Masing-masing dipesankan satu porsi. Lengkap dengan es teh manisnya. Sementara Tika sibuk memesan, yang lainnya memilih tempat duduk lebih dahulu.
Sembari menunggu pesanan disiapkan, mereka berempat mengobrol dengan antusias. Sayangnya, keseruan itu terganggu oleh penglihatan Karin yang terfokus pada kuali soto yang besar. Entah halusinasi atau memang nyata adanya. Karin seperti melihat sesosok pocong yang terus saja berdiri di samping kuali. Karin hanya mengamati hingga kemudian tiba-tiba muntah karena ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau pocong tadi meludah beberapa kali ke dalam kuali.
"Kamu kenapa Rin?"
Teman-temannya menjadi panik. Karin masih terus saja muntah hingga ia memilih untuk keluar dari rumah makan tersebut. Karin mengatakan kalau dirinya sedang tidak enak badan. Tiba-tiba merasa seperti masuk angin dan berpamitan hendak pulang lebih cepat. Tika menyarankan agar soto pesanan untuknya dibungkus saja. Karin hendak menolak tapi merasa tidak enak. Alhasil, Karin menyetujui usulan Tika. Tak lama setelahnya, seporsi soto ayam beserta es teh manis telah dibungkus dengan rapi dan diserahkan kepada Karin.
"Makasih ya Tik! maaf loh gak bisa lanjut ngrayain ulang tahun kamu!"
"Iya Rin gak apa-apa. Aku yang jadinya khawatir. Kamu yakin mau pulang sendiri? atau aku anterin?"
"Enggak usah Tik, aku bisa kok. Aku bakalan langsung chat kamu begitu sampai di rumah biar kamu dan anak-anak gak khawatir!"
"Ya sudah kalau begitu, kamu hati-hati ya!"
"Iya."
Karin segera bergegas menggeber motornya. Menjauh dan meninggalkan rumah makan soto ayam tersebut.
"Ya Alloh menjijikkan sekali."
...🍁 Bersambung... 🍁...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Berdo'a saja
iihhh ngerii
2023-07-19
0
Putrii Marfuah
itu Karin makan di hajatan demit, emang GPP ya?
AQ punya tuh ponakan yg begitu , tiap diajak makan keluar bikin ribet, milih2. yg katanya ada inilah,itulah bla bla
2022-10-05
1
Risma Dwika
iiiihh penglariiisss
pantes rame wkwkwkwk
2022-09-09
2