Oja memandangi cincin emas bermata safir dengan butiran berlian di sekelilingnya yang melingkar di jemari mungilnya.
Cincin yang dipasangkan seorang pemuda beberapa jam yang lalu sebagai ikatan pertunangan. Pemuda yang tidak pernah disangka oleh Oja.
Gadis itu meringkuk di dalam balutan selimut. Ada tetesan bening yang terjatuh begitu saja. Sekali lagi, dia merindukam sosok ibunya.
Oja tidak pernah berpikir akan bertunangan. Apalagi secepat ini! Dia hanya ada dalam situasi yang tidak bisa berbuat apa-apa. Sama sekali tidak berdaya.
Kenapa dia harus bertunangan? Kenapa dia harus menjadi bagian dari keluarga Al Muthahar?
Kalau saja ibunya masih ada. Dia tidak akan pernah bertemu Ibnu Saud Al Muthahar hari itu, dan pasti semua ini tidak pernah terjadi.
Banyak pikiran kalau saja yang melintas di kepala Oja.
Hingga larut malam, gadis itu meringkuk dengan senggugukan. Tertidur pulas dan menghabiskan sisa malamnya dengan mimpi-mimpi yang menurutnya lebih indah dari kenyataan.
* * *
Paginya Oja bangun kesiangan. Fuji sudah menyiapkan sarapan dan pakaian untuk dia kenakan hari ini.
"Selamat pagi, Nona," sapa Fuji ketika Oja sudah bangun. Lantas duduk dan menyandar.
"Selamat pagi," kata Oja dengan suara serak.
"Apa Nona baik-baik saja? Nona terlihat tidak enak badan," kata Fuji mengahampiri Oja. "Tunggu sebentar,saya akan membawakan obat." Fuji pamit keluar kamar.
Setelah kepergian Fuji. Susah payah Oja turun dan berjalan menuju kamar mandi. Membuka piyamanya dan menyalakan shower. Merasakan air dingin yang menusuk ke setiap sendinya.
Lima belas menit kemudian Oja keluar dari kamar mandi. Fuji sudah berdiri di sana dan membantu Oja mengeringkan rambut gadis itu.
"Saya sudah menyiapkan sarapan dan obat untuk Nona. Apa ada lagi yang Nona inginkan?" tanya Fuji yang masih menyisir lembut rambut Oja.
Di depan cermin Oja tampak tidak berniat ingin mengatakan apapun, jadi dia hanya menggeleng.
Fuji mengangguk dan keluar setelah selesai menyisir rambut Oja.
Satu menit kemudian pintu diketuk. Terdengar suara Putri Faatin bertanya di luar dan sebelum Oja menjawab pintu kamarnya sudah terbuka dan terdengar suara hentakan sepatu yang menaiki anak tangga.
"Astaga. Ada apa denganmu? Apa kau sakit? Kata pelayan pribadimu kau sedang tidak enak badan." Putri Faatin menghampiri Oja di ranjang.
Oja menggeleng. "Hanya sedikit pusing," katanya.
"Kau tampak tidak sehat. Aku harus memberitahu Paman kalau tunangannya sedang sakit," kata Putri Faatin saat mendengar suara serak Oja. Meraih benda pipih dari dalam saku celananya.
"Aku baik-baik saja. Percayalah." Oja berkata pelan. Tidak ingin Faatin memberitahu Ayyub Al Muthahar. Membayangkannya saja membuat Oja tidak nyaman.
Putri Faatin mengangguk. "Baiklah." Lantas mendekat dan berbisik pelan. "Katakan padaku, apa kau tidak suka pertunangan ini?" tanyanya yang membuat Oja sedikit terkejut.
Putri Faatin menghela napas. "Aku mengerti perasaanmu." Dia bangkit berdiri. Berjalan pelan ke arah jendela. Memandang keluar sebentar.
Di ranjang, Oja hanya melihat dalam diam.
"Kenapa?" tanya Faatin ketika melihat Oja tengah memerhatikannya.
Oja menggeleng.
Faatin menghembuskan napas pelan. "Aku juga akan bertunangan setelah ini," kata Faatin kembali menatap ke luar jendela.
"Apa? Bertunangan?" tanya Oja tidak yakin.
Faatin menghela napas. "Ayah sudah bilang kalau kami akan ke Jeddah, bukan?" tanyanya.
Oja mengangguk.
"Itu untuk persiapan pertunanganku."
Lagi-lagi Oja terkejut. Matanya membulat seketika. Dirinya sendiri terbilang sangat muda untuk sebuah ikatan bernama pertunangan. Sekarang remaja yang setahun lebih muda darinya ikut terikat juga.
Yang benar saja?!
"Aku bahkan tidak mengenal siapa calon tunanganku. Aku tidak seberuntung dirimu," kata Faatin.
Oja meringis. Dia hanya tidak mengatakan apa-apa soal penilaiannya untuk Ayyub Al Muthahar. Entahlah. Oja merasa hidupnya akan berubah bagai di neraka.
"Turunlah, aku, ayah dan ibu akan pergi sekarang juga."
* * *
Terikat pertunangan dengan Ayyub Al Muthahar tidak merubah apapun dalam hubungan mereka. Pemuda itu tetap saja terlihat tidak menyenangkan seperti sebelumnya.
Pagi ini mereka semobil dalam perjalanan ke rumah pribadi milik Ayyub Al Muthahar di Bandung.
Setelah kepergian Ibnu Saud Al Muthahar dan Nyonya Muda Shareen, serta Putri Faatin ke Jeddah. Oja diminta untuk tinggal di rumah pribadi Ayyub dengan alasan keamanan. Tentu saja itu permintaan ayah angkatnya.
Ayyub Al Muthahar punya rumah pribadi adalah sebuah kabar baru yang tidak terlalu mengejutkan bagi Oja. Tentu saja seorang pemuda kaya raya punya property pribadi, yang mengejutkan adalah dirinya harus tinggal bersama pemuda itu. Padahal mereka belum menikah.
Oja memandang ke luar kaca jendela mobil. Sementara Ayyub sibuk dengan ponselnya. Meski duduk bersebelahan dan dalam ikatan pertunangan, tidak merubah apapun di antara mereka. Hanya helaan napas dan deru mesin mobil yang terdengar.
Hidupnya begitu membingungkan, pikir Oja. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa hanya dalam waktu dua minggu dia sudah menjadi orang yang berbeda.
"Apa yang kau pikirkan?"
Oja menoleh. "Apa?" tanyanya terkejut.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Ayyub Al Muthahar. Sekarang pemuda itu menatap Oja lekat.
Oja menerjap sekali. Dua kali. Baru pertama kali beradu pandang dengan Ayyub Al Muthahar. Hidung yang mancung dengan alis yang tebal hampir menyatu, bola mata berwarna coklat, bulu mata yang teramat lentik untuk ukuran laki-laki, dibingkai dengan rahang yang tegas sesaat membuat Oja terkesima.
"Apa kau masih sakit?" tanya Ayyub Al Muthahar seraya menyentuh kening Oja yang seketika membuat gadis itu terkesiap.
"Ti-tidak. Sa-saya baik-baik saja, Yang Mulia." Oja berkata gugup. Menjauhkan keningnya.
Melihat reaksi Oja, Ayyub menarik tangannya.
"Tapi kau terlihat tidak sehat," kata Ayyub. "Faatin mengatakan tadi pagi kau sakit."
"Ti-tidak, Yang Mulia. Sa-saya baik-baik saja. Hanya sedikit mabuk perjalanan," balas Oja pelan masih terbata.
Ayyub mengangguk. "Baiklah, kalau begitu sebaiknya kita berhenti sebentar dulu." Ayyub menoleh ke arah supir dan menyuruh supir berhenti sebentar.
"Ti-tidak perlu, Yang Mulia. Sungguh tidak perlu," kata Oja cepat.
"Memangnya kenapa?" tanya Ayyub.
"Saya baik-baik saja. Sungguh!" jawab Oja menyakinkan.
Ada perasaan aneh melihat Ayyub Al Muthahar tiba-tiba bersikap peduli padanya. Walau hanya sedikit. Namun, membuat Oja tidak nyaman. Mengingat kemarin dia memandang Oja dengan tatapan tidak menyenangkan.
Mobil kembali melaju. Oja menutup matanya rapat dan mencoba untuk terlihat istirahat. Dia masih merasa Ayyub menatapnya.
Ada apa dengan pemuda ini sebenarnya? Pikir Oja.
* * *
Oja terbangun dan mendapati dirinya berada di atas ranjang berukuran king size dengan selimut berwarna putih selembut sutra yang menutup sebagian tubuhnya.
Kamar tidur yang sangat besar bernuansa oranye putih. Sangat elegen.
Oja menoleh ke kiri. Melihat jam di atas nakas yang menunjukkan pukul tiga sore. Membuatnya membelalakkan mata.
Di mana ini? Apa sudah sampai? Siapa yang membawanya turun dari mobil ke mari?
Baru saja Oja melangkah turun dari ranjang dan bergegas keluar kamar saat menangkap suara Ayyub di depan pintu kamarnya. Membuat gadis itu membatalkan niatnya keluar kamar dan menarik tangannya dari handel pintu. Namun, tetap memberi sedikit celah untuk bisa mendengarkan setiap pembicaraan pemuda itu.
"Kenapa begitu sulit mengatakan padamu?" Terdengar suara Ayyub dengan nada tinggi.
"Berhenti melakukan itu. Aku tidak akan pernah menuruti apa maumu," lanjutnya. Memasukkan ponselnya ke saku celana dengan asal setelah sebelumnya menutup panggilan.
Oja masih berdiri di dekat pintu kamar ketika mendadak pintu itu terbuka. Keduanya hampir bertabrakan kalau saja Ayyub tidak langsung menyadari keberadaan Oja.
"Maaf, Yang Mulia," kata Oja menunduk.
"Kau sudah bangun?" tanyanya. Masuk ke dalam kamar melewati Oja.
Oja menggumam mengiyakan seraya mengangguk lantas memperhatikan Ayyub yang kini tengah berdiri di tengah kamar.
"Aku ingin menjelaskan beberapa hal di antara kita," kata Ayyub Al Muthahar.
Oja menerjap.
"Yang pertama, kau adalah tunanganku. Jadi jangan pernah memanggilku dengan sebutan Yang Mulia," jelas Ayyub. "Paham?"
Meski merasa belum mengerti dan heran, Oja tetap mengangguk paham.
"Kedua, jangan ke manapun tanpa izinku. Paham?"
Oja kembali mengangguk.
"Ketiga, bersikaplah sebagaimana layaknya kau tunanganku. Meski aku tau kau belum bisa menerima semua ini. Cobalah untuk berusaha."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
nay
ehhmm...mulai menarik nih😊
2020-06-06
0
Nur
mulai suka nih sama ayub 😍😍😍
2020-05-27
0