Bab 2

Oja duduk di pinggiran kasur ketika Fuji masuk ke kamarnya. "Nona, sudah waktunya bergabung untuk sarapan pagi," kata Fuji menghampiri Oja.

Oja memilin jemarinya. "A-aku sedikit takut," balasnya gugup.

Fuji menatapnya prihatin lantas tersenyum. "Apa yang Nona takutkan?" Fuji berdiri dengan sopan di sebelah Oja.

"Ya, s-semua," jawab Oja meringis. Fuji tahu bagaimana perasaan Oja saat ini. Tentu saja sebagai anggota keluarga baru dari kalangan menengah ke bawah terasa canggung jika harus berbaur dengan keluarga bangsawan. Apalagi Oja belum mengerti fungsi pisau dan garpu di meja makan meski beberapa kali sudah Fuji beritahu.

Namun bagaimanapun, keluarga Al Muthahar sudah menunggu di sana dan Fuji harus segera membawa Oja untuk bergabung di meja makan. Akan sangat menakutkan jika terlalu mengulur waktu. Adik laki-laki termuda Ibnu Saud Al Muthahar bukan orang yang sabar.

Fuji mengamit lengan Oja lembut. Dibimbingnya gadis yang lima tahun lebih muda darinya itu dan membawanya ke luar kamar. Meski Oja bersikeras tidak ingin, tapi Fuji berhasil menyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

- - -

Berbekal merapal mantra bahwa semua akan baik-baik saja seperti yang pelayannya katakan, di sinilah Oja sekarang. Di meja makan bersama dengan keluarga Al Muthahar.

Ibnu Saud Al Muthahar tersenyum lembut namun penuh wibawa ketika memperkenalkan anggota keluarganya kepada Oja. Beliau duduk di kursi ujung. Di sebelah kanannya ada istri muda yang teramat cantik, Nyonya Muda Shareen. Dari wajahnya sepertinya bukan keturunan arab saudi. Sementara disebelah Nyonya Shareen ada Putri Faatin yang masih remaja.

Suasana sarapan pagi ini terasa begitu canggung dan agak menakutkan untuk Oja. Dia belum pernah bertemu dengan Nyonya Muda Shareen dan Putri Faatin sebelumnya, apalagi satu meja dengan mereka.

Namun, bukan hanya itu yang suasana hatinya makin tidak karuan, melainkan tatapan tajam dari seorang pemuda yang duduk tepat di sisi kiri ayah angkatnya, Ayyub Al Muthahar.

"Jadi, bagaimana rasanya setelah menjadi bagian dari keluarga Al Muthahar?"

Oja mengangkat wajah. Tatapan ingin tahu yang tulus dari Faatiin membuat bibirnya melengkung sedikit. Hanya sedikit. Gadis itu masih canggung dengan situasi ini.

"Luar biasa," jawab Oja lembut dan tak kalah tulus.

"Benarkah? Kurasa selain fasilitas, tidak ada yang luar biasa." Faatin mengangkat bahu. "Aku tidak pernah bisa keluar rumah tanpa pengawal," bisiknya pelan.

Nyonya Muda Shareeb berdehem lantas memberi kode kepada anaknya untuk menjaga sikap di depan sang ayah, lalu Faatin menjauhkan wajah dari Oja seraya berkata ups tanpa suara.

Oja memerhatikan ayah angkatnya. Laki-laki paruh baya itu sama sekali tidak marah. Dia bahkan tersenyum setelah sebelumnya meletakkan pisau dan garpunya serta mengelap bibir. Acara sarapannya telah usai. Cepat sekali. "Ayah tidak pernah menutup kebebasan untuk semua anggota keluarga. Hanya saja, demi keamanan kita bersama, harus ditemani pelayan dan pengawal."

Oja menerjap sekali. Dua kali. Sementara Faatin tersenyum penuh arti pada Oja. Nyonya Muda Shareen tersenyum lembut dan pemuda itu hanya menampilkan wajah tanpa ekspresi.

"Apa kamu sudah pernah mengenal setiap sudut rumah ini?" tanya Nyonya Muda Shareen mencoba mengalihkan pembicaraan.

Oja menggeleng. "Hanya paviliun belakang," jawabnya.

"Oh, astaga! Itu tempat para pelayan," kata Faatin sedikit kaget.

"Mau kah kalau aku temani melihat-lihat?" tanya Nyonya Muda Shareen tersenyum lembut.

"Tentu saja, Nyonya. Dengan senang hati."

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku ibumu," kata wanita cantik berpenampilan sederhana itu. Setelah Oja benar-benar memerhatikan ibu angkatnya itu, dia berdecak kagum dengan paras wajah yang sangat cantik di depannya.

Nyonya Muda rumah ini tidak memakai abaya seperti istri para bangsawan arab di negeri timur tengah sana. Dia hanya mengenakan setelan simpel dengan bahan yang sangat lembut ketika tidak sengaja tersentuh kulit Oja.

"Baiklah. Aku pergi dulu. Masih banyak urusan di kantor," kata pemuda itu pamit dan bergegas pergi. Oja memandangi punggung lebar itu sambil menahan napas.

"Dia pamanku. Orang yang paling tidak menyenangkam di rumah ini," kata Faatin kembali berbisik.

Acara sarapan selesai begitu Ibnu Saud Al Muthahar bangkit berdiri dan pamit untuk berangkat ke kantor sama seperti adiknya. Padahal Oja ingin sekali mengobrol dengan lelaki itu.

Nyonya Muda Shareen berdiri lantas mengajak Oja untuk berkeliling. Faatin mengekor dari belakang. Mereka berjalan ke arah sayap kanan. Oja belum pernah melihat sampai ke sana karena posisi kamarnya yang sedikit jauh. Dia agak senang ketika Nyonya Muda Shareen mengajaknya berjalan-jalan, tapi mendadak ponsel wanita cantik itu berdering.

"Halo, selamat pagi," sapa Nyonya Muda Shareen dengan lembut dengan orang di sebrang sana. "Oh, tentu saja. Senang bisa membantu Kakak Maduku." Sambungan telepon dimatikan.

Nyonya Muda Shareen berbalik. "Maaf. Sepetinya aku tidak bisa menemanimu berkeliling. Ada panggilan darurat dari Ibumu." Wanita itu tersenyum lembut seraya memainkan matanya.

Oja yang tidak terlalu mengerti dengan ucapan Nyonya Muda Shareen hanya mengangguk dan tersenyum. "Tidak masalah. Pergilah, Ibu."

"Faatin," panggil Nyonya Muda Shareen kepada putrinya.

"Ya, Mom. Aku akan menemani kakakku," jawabnya cepat seolah tau apa yang akan dikatakan ibunya.

Wanita itu tersenyum dan berlalu. Tinggallah Oja dan Putri Faatin berdiri bersisian sambil menatap punggung indah sang ibu.

"Jadi," tanya Faatin setelah ibunya menghilang di belokan.

Oja mengangkat alis. "Apa?"

"Rumah ini tidak terlalu menarik." Remaja itu berkata pelan.

Oja tersenyum. "Oh, ya? Jadi apa yang menurutmu lebih menarik?" tanya Oja.

"Pergi ke perpustakaan dan membaca buku," kata Putri Faatin mengangkat bahu.

"Novel?" tanya Oja.

"Tentu saja," jawabnya dengan mata berbinar. "Tapi jika kau ingin tau satu tempat yang paling menarik, ayo aku tunjukkan."

Putri Faatin menarik tangan Oja dengan lembut ke halaman belakang. Rumput-rumput kecil terasa menggelitik di kaki Oja yang hanya memakai sendal tipis.

Dari jauh Oja tahu bahwa Putri Faatin akan membawanya ke mana. Kandang kuda.

"Namanya Istal," kata Putri Faatin tertawa. Ternyata tadi Oja menyuarakan hatinya.

Oja tertawa. Mereka sudah sampai di pintu masuk. Oja berdecak kagum melihat kandang kuda keluarga bangsawan ini. Sangat bersih dan mewah. Bahkan kandang saja sebagus ini, bisik hati Oja.

"Aku sangat suka berkuda," kata Putri Faatin. Mereka hanya berdiri di depan pintu. Oja menghitung ada sekitar delapan kuda dengan kandang terpisah untuk setiap kuda.

Putri Faatin menghela napas dan menghembusnya pelan. "Kau tau, berkuda adalah hal yang paling menyenangkan," lanjutnya.

Oja hanya mendengarkan dalam diam. "Dulu, aku dan Paman Ayyub berkuda setiap akhir pekan," ucap Putri Faatin menerawang. Seolah mengingat-ingat kenangan lama. "Dia Paman yang baik, sebelum dia menjadi seperti sekarang."

"Apa yang terjadi?" tanya Oja penasaran.

Putri Faatin menoleh dan menatap wajah Oja tanpa ekspresi. Bibirnya bergerak dan mengeluarkan suara yang sangat pelan. Namun, Oja tetap bisa mendengarnya. "Calon istrinya jatuh dari kuda yang kehilangan kendali dan meninggal."

Oja terdiam.

"Sejak saat itu Paman Ayyub tidak ingin lagi berkuda."

Ada hening yang tercipta beberapa saat. Oja tidak berani memecahnya, dia hanya menunggu gadis yang setahun lebih muda darinya itu memecahnya.

Satu menit kemudian Putri Faatin menghela napas. "Jadi kurahap kau paham kenapa Paman jadi sedikit tidak menyenangkan," katanya tersenyum yang langsung dibalas Oja dengan anggukan.

"Ceritakan hal lain tentang keluargamu," pinta Oja. Mereka berjalan kembali ke rumah melewati halaman belakang.

"Baiklah, apa yang ingin kau tau?"

"Hmm. Tadi Nyonya Muda Shareen...."

"Ah, dia ibumu," potong Putri Faatin cepat.

Oja meringis pelan.

"Ibu Shareen istri termuda Ayah," katanya. "Ayah punya tiga istri. Aku anak dari istri kedua. Tapi, aku dibesarkan oleh Ibu Shareen. Ibuku di Inggris dan tipe wanita yang bebas."

Oja ber-oh tanpa suara.

"Yang menelpon tadi itu istri tertua Ayah. Ibu Eiliyah."

Mereka baru saja sampai di pintu belakang dan hendak masuk ketika seorang pelayan mendekat. "Putri Faatin, ponsel ada berdering." Pelayan itu menyerahkan benda pipih kepada Putri Faatin yang langsung diterima. Nama Ayyub Al Muthahar ada di sana.

"Ada apa? Sekarang? Kenapa kau begitu menyebalkan, Paman? Kau memiliki banyak pelayan dan pengawal. Suruh saja mereka yang mengantar." Ada jeda beberapa saat. "Aku membencimu," ucap Putri Faatin kesal dan menutup telepon.

Oja menatapnya khawatir. "Dia menyebalkan. Aku harus pergi mengantar file bodoh yang tertinggal di kamarnya. Apa kau mau ikut?"

"Apa boleh?" tanya Oja.

"Tentu saja," jawab Putri Faatin. "Suruh supir menyiapkan mobil. Kami mau pergi ke kantor Paman," perintahnya pada pelayan.

"Baik, Putri." Pelayan itu berlalu.

Mereka berjalan ke sayap kiri dan masuk ke dalam kamar besar yang hampir sama seperi kamar Oja. Ada anak tangga di dalam kamar tersebut. Rumah ini memeliki kamar yang terhubung langsung ke lantai dua. Menakjubkan!

Tanpa bertanya Oja tahu ini kamar Ayyub Al Muthahar. Ada satu pigura di atas nakas dekat telepon rumah yang menampilkan Ayyub yang tengah merangkul seorang wanita. Dia berdiri memandangi nuansa kamar yang sedikit berbeda dari kamarnya. Sementara Putri Faatin membuka laci di lari dekat rak buku dan mencari file yang dimaksud.

"Ini dia," kata Putri Faatin. "Ayo."

Mereka keluar kamar dan menuju ke pintu utama. Di depan sudah terparkir mobil. Supir segera membuka pintu dan mempersilahkan keduanya naik.

Sekitar dua puluh menit mereka sudah sampai di kantor Ayyub Al Muthahar. Oja turun dari mobil setelah Putri Faatin. Dia merasa sedikit senang bisa berjalan-jalan. "Ayo, masuk."

Keduanya melangkah memasuki gedung tinggi tersebut. Resepsionis tersenyum hormat melihat Putri Faatin dan beberapa karyawan lain yang berpapasan dengan mereka.

Lift membawa mereka ke lantai di mana ruangan Ayyub Al Muthahar. Di depan ruangan Putri Faatin berbicara dengan seorang wanita yang diduga Oja sekretaris.

"Bapak sedang ke luar," kata sekretaris tersebut. "Tapi kalau Putri mau menunggu di dalam. Silahkan."

"Baiklah." Putri Faatin dan Oja masuk ke dalam ruang kerja yang besar dan tampak rapi.

Ada sepasang sofa besar di sana, jadi keduanya mendaratkan punggung sambil menunggu. Lima menit berlalu Ayyub belum juga muncul. Ketika menit ke enam Putri Faatin berkata, "Aku mau ke lantai bawah sebentar. Kau tunggu di sini, ya?!"

Oja hanya bisa mengangguk. Sekaligus berharap jangan sampai Ayyub Al Muthahar datang sebelum Faatin kembali.

Terpopuler

Comments

Nur

Nur

masih penasaran,, ada hubungan apa sama oja dan kluarga al mutahar 🤔🤔🤔

2020-05-25

1

Boru Samosir Bereni Sirait

Boru Samosir Bereni Sirait

lanjut ...aku penasaran terus... crazy up ya....

2020-05-19

1

Aryn🐥

Aryn🐥

wah cerita kk dh bikin aku boom like semua episode ..kk...smgt..ya jg kshtn jg..sll updt..ya dh gk sbr k.
mmprlh jg kekaryaku"2LOVE""" jgn lp di like/rate5/vote

dadad kk etts ditunggu loo kmnnt kk di karyaku😆😇😄

2020-05-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!