TIDAK LAGI KOMA

Selepas kepergian Ananda Hiko, Aluna dengan cepat membersihkan tubuhnya karena ia berniat untuk menjenguk sang ibu. Sebum pergi ke rumah sakit, ia mampir ke warung sebentar intuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan.

Gadis itu sangat menikmati makan siangnya. Dengan lahap dia memakan nasi pecel yang ada di seberang kompleknya. Dia sangat bersyukur karena masih ada warung yang buka di daerah sekitarnya. Karena jika tutup, bisa di pastikan jika Luna akan berjalan jauh demi bisa mendapatkan nasi bungkusnya. Karena dia tau sendiri jika kawasan kompleks elit sangat jarang ada warung atau penjual makanan lainnya.

Setelah selesai melahap makanannya, dia segera bergegas menuju ke rumah sakit untuk menjenguk sang ibu. Biarlah dia tak meminta izin pada Hiko, karena karena sendiri yang meninggalkannya tanpa kata. Sedangkan Hiko sama sekali tak memberikan nomor ponselnya untuk Luna agar bisa menghubunginya setiap waktu.

Tapi balik lagi, Luna siapa yang bisa berharap lebih. Karena dia hanya wanita biasa yang harus menjadi mesin pencetak anak untuk CEO muda itu.

Senyumnya mengembang kala menyusuri koridor menuju dimana ruangan sang ibu berada. Lebih tepatnya di ruang VIP nomer 1 di rumah sakit ini. Luna sangat bahagia, meskipun Hiko bersikap kasar dan acuh padanya, setidaknya Hiko masih menepati janjinya untuk memenuhi semua kebutuhan sang ibu selama berada di rumah sakit.

Yang dia harapkan saat ini hanya lah kesembuhan sang ibu. Biarpun sang ibu membuka mata dan dalam keadaan tak sempurna, dia akan menerimanya dengan senang hati asalkan sang ibu bisa kembali tersenyum kepadanya. Karena hanya ibunya lah yang dia miliki selama ini setelah sang ayah meninggalkan mereka.

Ketika akan memasuki ruangan sang ibu, bersamaan pula dengan seorang dokter keluar dari ruangan tersebut.

"Eh, selama pagi menjelang siang, Melati. Bagaimana harimu setelah menjadi istri dari seorang CEO? Apakah bahagia lahir batin?" tanya dokter Fahri dengan jahilnya.

Luna menunduk malu karena mendengar pertanyaan dokter Fahri yang menjurus ke ranah pribadinya. Meskipun dia tak bahagia, namun dia berusaha menyembunyikan laranya. Karena dia juga tak ingin mengumbar aib rumah tangganya untuk di konsumsi publik.

Dokter Fahri yang melihat Luna tak nyaman pun segera meminta maaf.

"Maaf, Lun. Keceplosan? Biasa, lambe turah mah begini. Susah di rem." seloroh dokter Reyhan. Yang membuat Luna tersenyum seketika.

Meskipun dokter Fahri seorang dokter, namun dia adalah pribadi yang menyenangkan. Pandai berhumor dan sangat asyik bila di ajak mengobrol. Membuat Luna merasa nyaman ketika bersamanya. Dokter Fahri juga tipe orang yang bisa di percaya, sehingga Hiko mempercayakan perihal rahim pengganti padanya.

"Gak apa-apa, dok. Oh ya dok, bagaimana kondisi ibu saya sekarang? Apakah ada kemajuan sang signifikan sehingga bisa menopang kesembuhan ibu saya?" tanya Luna tak sabar. Dia ingin sekali membawa sang ibu pulang ke rumah, agar sang ibu bisa menghirup udara segar.

"Sejauh ini masih aman, Lun. Semoga kedepannya semakin membaik dan bisa segera kamu bawa pulang. Kamu jangan lupa berdoa demi ke sembuhan ibu kamu."

Luna mengangguk semangat. Tiada lelah dia berdoa untuk kesembuhan sang ibu. Karena hanya ibunya lah keluarga satu-satunya baginya.

"Mari saya antar ke kamar ibu kamu. Kamu pasti sudah kangen dengan beliau kan?"

Luna tersenyum lebar sebagai jawaban dari pertanyaan sang Dokter.

Ceklek..

Dokter Fahri membuka pintu ruangan ibu Luna dan mempersilahkan Luna untuk masuk.

"Saya tinggal ya, Lun. Kamu jangan lupa mengajaknya mengobrol, biar beliau terstimulasi otakknya dan ada semangat untuk kembali ke dunia,"

Luna mengangguk sendu seraya menatap sang ibu. Dia segera mendekat ke arah sang ibu yang masih setia menutup matanya itu. Ada rasa iba dihatinya kala melihat kondisi ibunya yang belum juga membuka matanya. Ia rindu, sangat merindukan wanita itu.

Dia menggeser kursi dan menaruhnya tepat di samping sang ibu, sehingga dia bisa dengan leluasa menatap sang ibu.

Luna meraih tangan sang ibu dan berulang kali mengecup punggung tangan yang dingin itu. "Selamat siang, Ibu. Bagaimana kabar ibu hari ini? Semoga segera di beri kesembuhan, bu. Agar ibu bisa menemani aku setiap hari. Agar ibu bisa memarahiku saat aku membuatmu kesal dan__" Luna tercekat, tak bisa melanjutkan kata-kata yang ingin di ungkapkan kepada sang ibu.

Dia menunduk, semakin terisak kala mengingat pernikahannya dengan Hiko bak sinetron ikan terbang yang selalu di tonton sang ibu. Perlakuan kasar dan ucapan Hiko yang selalu menyakiti hatinya.

Luna mendongak, kemudian tangannya menyapu air mata di pipinya. Ia menarik nafas panjang untuk menghilangkan sesak di dadanya dan mencoba tersenyum ke arah sang ibu. Ia tak ingin sang ibu tau kesedihan yang di alaminya kini.

"Ibu tau, aku sangat menyayangimu. Meskipun aku sering membuatmu marah. Namun percayalah aku sangat mencintaimu, melebihi hidupku. Aku rela kehilangan apapun demi bisa bersama denganmu. Aku rela kehilangan nyawaku agar ibu bisa selamat. Karena kesakitan mu adalah kesakitan ku juga, bu." Air mata kembali membanjiri pipinya dengan derasnya. Entah kenapa dia ingin menangis di samping ibunya. Padahal dia sudah berjanji tak akan menangis di depan sang ibu. Namun apalah daya, dia tak kuat menahannya sendirian.

Luna masih menunduk dan terisak. Hingga tak menyadari sebuah tangan menyentuh kepalanya. Tangisnya terhenti seketika ketika dia merasakan sentuhan itu.

Dia mendongak, dan ternyata sang ibu telah membuka matanya.

Luna terkesiap, bingung dan senang bercampur jadi satu melihat ibunya sadar. "I__ibu!!" Panggil Luna denga lirih.

Dia gegas berdiri dan segera memeluk sang ibu. Mengecup seluruh wajahnya sebagai rasa bahagianya saat ini.

"I_ibu sudah sadar?" Dengan segera dia menakan tombol yang menghubungkan ke ruangan dokter Fahri. Dan tak lama kemudian, dokter dan perawat pun masuk ke kamar rawat sang ibu.

Luna segera bergeser kala dokter Fahri akan memeriksa kondisi sang ibu.

"Bagaimana dok keadaan ibu saya?" tanya Luna dengan cemas namun lebih bahagia.

Dokter Fahri tersenyum, "Kondisi ibu kamu sangat baik, Lun. Semua organnya bekerja dengan sempurna. Jaga lah dia selalu. Turuti lah apa yang dia inginkan, Mel."

"Baik, dok. Terima kasih," Luna sangat bahagia saat ini. Untuk sesaat dia melupakan betapa peliknya rumah tangga yang dijalaninya dengan Hiko.

Entah dia akan bertahan atau akan menyerah dengan bahtera rumah tangganya.

Luna mendekat ke arah sang ibu yang yang sudah selesai di periksa itu, duduk di sampingnya dengan senyum penuh kebahagiaan.

"Ibu, ibu mau makan apa? Biar Luna suapi ya?"

Ibu Luna menggeleng, lalu meraih tangan Luna dan menggenggam tangannya. "Terima kasih karena selama ini kamu sudah menjadi anak yang baik bagi ibu, Luna. Ibu bangga mempunyai anak sebaik kamu, sayang," ucapnya serak dengan mata berkaca-kaca.

Luna segera mengusapnya dan menggeleng tegas, "Justru Luna yang berterima kasih karena di lahirkan dari rahim seorang wanita yang kuat dan tangguh seperti ibu. Terima kasih bu, terima kasih." Sekuat tenaga Luna menahan air matanya yang sudah ingin tumpah di pipinya. Dia tak ingin melihat sang ibu sedih jika melihatnya menangis.

"Maaf jika ibu selalu menyusahkan mu, Lun. Dan ibu berjanji bakal sembuh dan tak sakit lagi. Kamu mau kan memaafkan ibu, Sayang?"

Dengan segera Luna memeluk sang ibu yang masih menitik air mata itu. Dia juga tak ingin mendengar perkataan ibunya yang membuatnya seolah merasakan? Entahlah. Dan untuk sekarang dia hanya ingin menikmati kebahagiaan dengan sadarnya sang ibu dari komanya, dan dia janji akan lebih baik lagi dalam menjaga sang ibu.

Luna menyuapi sang ibu dengan telaten, sesekali saling menggoda dan mengejek ketika mengingat kenakalan Luna saat waktu kecil dulu yang membuat gelak tawa mereka berdua.

"Aku akan menjagamu bu jika ibu keluar dari rumah sakit nanti. Dan aku lebih memilih ibu jika Hiko tak menyetujui jika ibu ikut pulang bersama Luna nanti. Luna rela kehilangan imam asal tak kehilangan ibu lagi. Cukup sekali, bu." Batinnya bermonolog.

"Lun, kenapa kamu melamun, nak?" tanya sang ibu.

Luna menggeleng, "Luna hanya tak ingin kehilangan ibu lagi. Jangan tinggalkan Luna lagi ya, Bu."

"Ibu akan selalu di hatimu, Nak. Dan jangan lupakan ibu untuk sedetik saja. Kamu janji ya, Lun?"

"Hush, ibu ngomong apa sih? Udah deh, jangan ngawur," dengan segera dia memeluk sang ibu yang sedang terkekeh itu.

"Anak nakal," lirihnya dengan mengecup puncak kepala Luna berulang kali.

Tbc.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!