BERUSAHA TEGAR

Luna segera melangkah pergi ke dapur setelah membersihkan tubuhnya. Dia berencana akan membuatkan makanan untuk pria tampan yang baru saja menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Dia hanya ingin menjadi istri yang baik untuk suaminya itu, meskipun dia belum tentu bisa meraih hati sang suami. Luna juga tak berharap terlalu banyak atas cinta Hiko untuknya. Karena dia sadar posisinya siapa.

Hiko mau menanggung pengobatan sang ibu pun Luna sudah sangat merasa bersyukur dan berterima kasih. Karena baginya kesembuhan ibunya adalah nomer satu. Apapun akan ia lakukan agar sang ibu bisa sembuh seperti sedia kala dan bisa berkumpul dengannya di hari tuanya kelak.

Ada rasa perih ketika dia melangkahkan kakinya ke dapur, namun dia sama sekali tak menghiraukan rasa sakit itu. Karena ini adalah sebagai bukti jika Hiko sudah menjalankan kewajibannya. Dan oleh sebab itu Luna juga harus melayani sang suami dengan baik sebagai baktinya seorang istri.

"Mas." panggil Luna dengan lirih ketika melihat Hiko yang baru saja masuk ke area dapur. "Mas Hiko mau makan apa? Biar Luna yang masakin untuk mas Hiko?" tanya Luna seraya tersenyum manis menatap Hiko. Walaupun sejujurnya Luna masih canggung dan malu di saat bertemu Hiko.btapi mau bagaimana lagi jika kenyataannya Hiko sekarang sudah menjadi suaminya.

Hiko menatap tajam ke arah Luna yang menatap ke arahnya dengan senyum di bibirnya. Dia sungguh muak melihat sikap Luna yang sok baik terhadapnya. Baginya, tiada wanita sempurna selain sang istri, Laura.

"Kamu tak perlu bersusah payah memasak untukku, Lun. Aku juga tak sudi memakan masakan dari tanganmu yang menjijikkan itu," ucapnya dingin. Namun tatapan matanya masih tertuju pada Luna dengan tatapan yang sulit di artikan.

Deg..

Luna mendongak, menatap wajah Hiko yang menatapnya penuh kobaran api kebencian terhadapnya. Jika jijik, kenapa juga tadi malam mereka menghabiskan waktu bersama? Apalagi Hiko berkali-kali menyirami rahimnya dengan benih hangat miliknya. Apakah itu bisa dikatakan jijik? Sungguh Luna ingin marah tapi tiada daya untuknya.

"Harusnya kamu tau diri, Laluna Annisa. Jika saja aku tak membutuhkan rahimmu, tak mungkin juga aku mau tidur denganmu. Kamu juga harus menjaga sikapmu jika kita bertemu di suatu tempat. Anggap saja kita tak saling kenal dan kamu harus berusaha menghindariku dan jangan pernah ganggu keluargaku," ucap Hiko kemudian.

Luna memejamkan matanya, menahan bulir yang ingin tumpah di pipinya. Mencoba menghela nafas panjang untuk mengurangi rasa nyeri dalam hatinya karena ucapan Hiko.

Sungguh kejam ucapan Hiko yang sudah menyakiti hatinya. Jika dia malu menikah dengannya, seharusnya dia tak melakukannya. Hiko masih bisa berusaha dengan cara lain, bukan menikahinya lalu menganggapnya tak ada. Tapi sayangnya bibirnya terkatup rapat, seolah susah untuk mengungkapkan kata.

"Kenapa kamu masih mematung di sana? Duduklah," pinta Hiko. Dia menunjuk kursi di depannya dengan dagunya.

Luna pun menurutinya. Dia segera melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang ditunjuk oleh Hiko. Dia duduk dengan tak nyaman, karena merasa mata tajam Hiko terus memindai dirinya dengan lekat.

Luna memilih menundukkan wajahnya agar tak menatap wajah Hiko yang tampan namun sangat menyeramkan. Wajah tampan Hiko tak mampu membuatnya kegugupannya hilang, malah semakin membuatnya tersiksa karena di dekatnya.

Cukup lama mereka saling membisu, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Luna juga enggan membuka mulutnya terlebih dahulu. Karena dia tak ingin di hina kembali oleh Hiko lagi yang bermulut pedas dan menyakitkan.

Terdengar hembusan nafas berat yang keluar dari bibir Hiko, Seolah beban berat tengah menghimpitnya dadanya saat ini. Mungkin Hiko menyesal telah menikahinya. Namun dia bisa apa, mungkin yang di lakukan saat ini hanyalah pasrah. Karena nyawa sang ibu taruhannya. Dia hanya ingin diam agar Hiko tak nekat mencabut biaya rumah sakit sang ibu.

Luna mencoba berbesar hati menerima nasibnya. Mungkin inilah jalan yang harus di laluinya demi sang ibu. Dia tak akan menyesal jika itu untuk kesembuhan wanita yang telah melahirkannya. Apapun akan dia lakukan untuk wanita yang paling berharga di hidupnya.

"Ini untukmu," Hiko menyodorkan sebuah kartu sakti di depan Luna. Sehingga membuat lamunan Luna buyar seketika.

Mata Luna menatap benda tersebut. "Apa ini?" tanya Luna dengan polos. Bukannya dia tak tau, namun dia tak mengerti untuk apa itu. Sedangkan dia sudah bekerja dan bisa menghidupi dirinya sendiri jika Hiko tak mau menanggung hidupnya.

Hiko tersenyum sinis mendengar pertanyaan Luna. Semakin ilfil Hiko pada Luna yang sok polos itu.

"Kamu pura-pura tak tau atau memang kamu bodoh, Lun?" tanya Hiko sambil mendekap kedua tangannya. Matanya masih terpaku pada Luna yang tampak serba salah.

"Ma_maksud Luna?" Dia segera menunduk takut karena tatapan tajam Hiko yang seolah menghunus jantungnya.

"Udah. Jangan sok polos kamu. Ini untuk kebutuhan kamu selama menjadi istriku. Dan ini bukan termasuk biaya rumah sakit ibu kamu. Tenang saja, aku nggak bakalan mengingkari janjiku. Aku akan menanggung semua biaya rumah sakit untuk ibumu. Dan jangan lupa jika kamu juga harus dengan segera mengandung anakku. Karena aku tak sudi jika terus-terusan tidur denganmu dan mengabaikan istriku."

Lagi dan lagi ucapan Hiko bagai tombak yang menghunus tepat di hatinya. Rasanya sungguh sakit tiada terbanding. Jika Hiko menyesal, dia menerima itu. Tapi jangan terus-terusan menghinanya. Karena yang dirugikan di sini bukan hanya Hiko, namun juga dirinya dan masa depannya. Mau jadi apa dia besok jika berpisah dengan Hiko? Mungkin akan banyak cacian dan gunjingan jika mengetahui masa lalunya yang hanya menjadi pencetak anak untuk suami sirihnya.

"Ba_baiklah, Mas!!" Hanya itu yang bisa Luna katakan. Mau protes pun tiada guna dan daya. Dia takut jika Hiko berubah pikiran dan mencabut semua biaya ibunya. Dia tidak ingin itu terjadi.

"Dan satu lagi. Kamu jangan coba-coba dekat dengan pria lain. Karena aku tak ingin anak yang kamu kandung kelak tak jelas nasabnya itu anak siapa."

Duarr..

Luna terkesiap. Dia mendongakkan wajahnya menatap sang suami yang dengan tega kembali melukai harga dirinya. Ia menatap tak percaya jika Hiko dengan tega menggores hatinya.

"Maksud mas Hiko apa? Meskipun kita menikah sirih, tapi aku sangat menghargai pernikahanku, mas. Aku akan menjaga pernikahan ini sampai waktunya tiba. Jadi mas Hiko tak perlu menyinggung harga diriku. Aku tak serendah yang mas Hiko pikirkan." balas Luna dengan tegas. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi dia juga perlu melindungi harga dirinya agar tak selalu menjadi bulan-bulanan suaminya.

"Halah, siapa tau kan kalau kita jauh kamu open BO. Dan bisa meraup uang lebih banyak dariku dengan mengatasnamakan anak di dalam kandunganmu. Padahal Zonk!" cibir Hiko lagi.

"Cukup mas!!"

Luna menggebrak meja dengan keras. Dia sudah tak tahan mendengar ucapan pedas yang selalu di lontarkan Hiko padanya. Jika terus-terusan begini, mungkin dia akan gila sendiri menghadapi sikap Hiko yang keterlaluan.

Lalu dia segera bangkit dari duduknya dan segera berlari menuju kamarnya. Rasa lapar yang tadi menderanya, sudah hilang entah kemana. Yang ada hanya rasa kenyang karena ucapan pedas yang Hiko gaungkan terhadapnya.

Sedangkan Hiko hanya menatap punggung kecil itu yang semakin menjauh. Tapi tak berniat untuk mengejar dan meminta maaf atas ucapan yang mungkin menyakiti hati istrinya.

Tapi mau bagaimana lagi. Mereka sama-sama dalam keadaan yang salah. Keadaan yang mengharuskan mereka mengambil langkah ini untuk kepentingan masing-masing.

Tbc.

Terpopuler

Comments

Bogor Kota

Bogor Kota

Nyimak

2022-09-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!