Luna terbangun ketika matahari sudah di atas kepala. Dia tak ingat menutup matanya jam berapa, yang dia ingat hanya dia menutup matanya kala rasa kantuk yang mendera. Tubuh dan hatinya lelah karena mendengar cacian dari suaminya, hingga membuatnya menangis dan mengabaikan rasa laparnya.
Dia segera beranjak bangun dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Luna tersenyum nanar ketika melihat bayangan dirinya di cermin yang nampak mengenaskan. Matanya yang bengkak hampir menutup matanya, hidungnya pun masih memerah akibat menangis. Melihat tubuhnya sendiri pun dia tidak tega, apalagi Hiko.
Setelah mandi dan berpakaian, dia memoles sedikit bedak pada wajahnya agar tak terlalu pucat dipandang. Setelah semua selesai, dia segera keluar dari kamarnya.
Dia memutar handel pintu dan membukanya, namun dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Mencari sosok yang sudah membuatnya menangis tadi pagi. Namun dia tak menemukan di dalam kamarnya. Setelah memastikan jika Hiko tak berada di dalam, Luna segera keluar dari kamar.
Luna segera menuju ke dapur untuk membuat makan siang. Tubuhnya terasa bergetar karena menahan rasa lapar yang sangat. Dia hanya meneguk air putih untuk mengganjal perutnya yang terasa melilit.
Memeriksa semuanya, tapi ternyata kosong. Yang ada hanya mie instan yang berjajar rapi di laci dapur. Alhasil ia hanya memasak mie instan, karena yang ada hanya itu untuk mengganjal perutnya. Tak lupa dia pun menambah telur dan sayuran ala kadarnya.
"Ah, kenapa lama sekali sih kamu matangnya wahai mi instan? Aku sudah kelaparan dan mau pingsan." Luna berbicara sendiri untuk menghilangkan rasa sepi karena berada di rumah milik Hiko seorang diri.
Rumah minimalis dan hanya ada dua lantai. Tapi sangat mewah yang kadang membuat Luna terkagum olehnya. Karena seumur-umur baru kali ini Luna menempati hunian nyaman seperti ini.
"Heem, wanginya," Luna terus meracau karena rasa laparnya. .
Hingga dia tak menyadari jika Hiko sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajamnya. Seolah dia siap menerkam Luna saat ini juga.
"Akh!!" Luna memekik kaget karena melihat Hiko yang tiba-tiba berada di belakangnya. Dan hampir saja dia menjatuhkan mangkuk yang berisi mie panas itu jika saja dia tak memegang piring yang sebagai tatakan mangkoknya itu dengan erat.
"Mas Hiko ngapain tiba-tiba muncul di depan Luna?"
Luna masih berusaha menguasai rasa terkejutnya. Karena dia adalah wanita yang gampang sekali terkejut jika ada suara atau apapun yang bisa membuat jantungnya berpacu lebih kencang.
Hiko bersendekap tangan. "Memang kenapa? Ini rumahku. Jadi wajar jika aku berkeliaran di rumahku sendiri." ketus Hiko memandang sinis pada Luna.
Lalu dia melirik mie yang berada di tangan Luna. Dia tersenyum sinis dan mengoloknya. "Pantas, orang kampung makannya hanya mie instan. Dasar orang susah!" ucapnya dengan seringai di bibirnya.
Luna yang mendengarnya pun memutar mata jengah. Dia sama sekali tak berminat jika harus berdebat dengan Hiko. Dia lebih memilih makan karena rasa laparnya yang sudah merongrong sedari tadi.
Sehingga dengan santainya Luna melewati Hiko begitu saja dan menuju ke meja makan.
Sikap Luna yang menghindarinya pun membuat Hiko berang seketika. Dia segera menyusul Luna dan menampik mie instan itu hingga berhamburan di lantai.
Praangg...!!
Luna menutup telinganya kala piring itu menghantam lantai keramik milik Hiko. Lalu ia mengalihkan pandangan menatap Hiko yang masih berdiri di samping. Matanya menatap tajam seolah siap melawan Hiko yang sudah membuatnya naik darah.
"Kenapa sih mas Hiko tidak ada puasnya menganggu hidupku? Aku sudah berusaha sabar mendengarkan semua caci makimu. Aku sudah menuruti kemauanmu. Lalu kenapa sekarang kamu menumpahkan makananku? Apa kamu mau membunuhku sekarang juga?" bentak Luna yang sudah emosi. Bahkan dia sampai melotot pada Hiko.
Dia menunjuk-nunjuk Hiko dengan jari telunjuknya. Dia sudah berusaha menghindari pertengkaran dengar Hiko, tapi Hiko seolah suka mencari gara-gara dengannya dan membuatnya marah.
Hiko tersenyum tipis melihat kemarahan Luna. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Dia menatap Luna namun sama sekali tak berniat membalas ucapan Luna.
Luna pun geram bukan main. Dia segera mendorong dada Hiko dan berniat melangkah pergi. Namun cekalan Hiko membuatnya dia menghentikan langkahnya.
Luna meronta melepaskan diri karena cengkraman Hiko di lengannya yang membuat kesakitan.
"Lepas mas, lepas!!!" Teriak Luna. Dia memukul lengan Hiko berkali-kali agar segera melepaskan cengkeramannya.
Namun Hiko mengabaikannya. Kemudian Hiko langsung menarik Luna memasuki kamar tamu dan melemparkan tubuh Luna di ranjang besar besar itu.
Luna yang merasa ada bahaya, bergegas duduk dan menggelengkan kepalanya ketakutan. Dia takut jika Hiko akan bertindak kasar seperti yang dia lakukan semalam terhadapnya.
"Jangan, mas. Aku mohon!!" mohon Luna dengan melas. Bahkan air matanya sudah merebak memenuhi mata bulatnya.
Luna makin beringsut mundur ketika Hiko mendekatinya dengan bertelanjang dada. Karena sebelumnya Hiko sudah melepas pakaian yang dikenakannya.
Hiko tersenyum sinis dan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Luna dan Luna dengan cepat menutup matanya dan menunduk agar tak melihat wajah Hiko yang berjarak begitu dekat.
Hiko segera meraih dagu Luna dan menghadapkan ke wajahnya. Namun Luna masih memejamkan matanya erat, takut.
"Kenapa kamu menunduk, Lun? Bukannya ini yang kamu inginkan?"
Seketika Luna membuka matanya. Dia tak percaya apa yang di ucapkan Hiko padanya. Mata mereka saling menatap, menyelami manik indah mata masing-masing.
"Kenapa kamu bingung seperti itu? Bukankah kamu ingin segera hamil dan melahirkan, agar kamu bisa dengan cepat lepas dariku," ucap Hiko dengan mengeratkan cengkramannya di dagu Luna.
"Ta_tapi," Luna tak melanjutkan ucapannya karena bibirnya di sumpal dengan bibir Hiko. Dengan kasar dia melahap bibir Luna.
Luna mengerang. Bukan karena nikmat, namun rasa sakit yang di bibirnya karena ulah Hiko. Dia memberontak dan mendorong dada Hiko. Namun Hiko sama sekali tak bergeming.
Hiko segera meraih kedua tangan Luna yang sedari tadi memukulnya dan mengunci tangan Luna di atas kepalanya. Dengan bebas Hiko meraup bibir Luna dengan nafsu yang sudah membumbung.
"Lepas, Mas. Lepas!!!" raung Luna kala mendapati Hiko yang sudah melepas sebagian bajunya. Dia tak terima di perkosa seperti ini, tapi dia sama sekali tak bisa melawan karena kekuatannya lebih kecil dibandingkan Hiko.
"Aakh!! Ampun mas!!" pekik Luna ketika Hiko berhasil membenamkan miliknya di inti tubuhnya. Luna memekik kesakitan karena Hiko terus menghujamnya dengan kasar bak binatang.
Luna menangis ketika Hiko meninggalkannya setelah penyatuan keduanya. Dia merasa tak berharga dan bagaikan wanita rendah yang melayani dengan imbalan segepok uang. Dia mencengkram selimut dengan eratnya dan meratapi nasibnya.
Dia merasakan nyeri luar biasa di daerah intinya, karena Hiko menyetubuhinya seperti binatang buas yang mencengkram musuhnya, tiada rasa cinta di dalamnya.
Dia masih ingat perkataan Hiko yang kembali menyakiti hatinya kala telah menumpahkan benihnya di rahim Luna.
"Gue terpaksa melakukan ini. Karena gue cinta istri gue. Gue harap lo bisa di ajak kerja sama dengan baik. Sekali saja lo berhianat, bersiaplah melihat jasad ibumu terbujur kaku di kamar mayat. Karena gue akan mencabut semua biaya untuk ibu lo saat itu juga. Dan satu lagi, cepatlah mengandung, agar gue tak perlu menyentuhmu lagi dan lagi."
Setelah mengatakan kalimat itu, Hiko bergegas meninggalkan kamar dan berjalan keluar. Dan tak lama kemudian, dia mendengar mobil Hiko yang yang melaju keluar dari gerbang.
"Kamu berengseekk, Hikoooo!!! Aku benci kamu!!"
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Wiie Peranginangin
kejam
2022-10-03
0
berliyani
Like
2022-09-18
0