Chapter 5 Keluh Kesah Rina

Rina duduk di kursi belakang taksi online sambil menatap ke arah luar jendela. Matanya sembab tetapi ia masih mencoba untuk tidak menangis di dalam taksi. Sayang, usahanya akan sulit karena harus berhadapan dengan pendingin udara yang dinyalakan supir.

“Pak, ACnya bisa minta tolong digedein aja?” pinta Rina.

“Oh iya maaf Neng, tadi panas banget soalnya,” jawab Supir.

Supir segera menaikan temperatur AC sesuai permintaan Rina.

“Segini cukup Neng?” tanya supir.

“Cukup Pak. Oh iya Pak, sebentar ya. Jangan ke tujuannya dulu. Kita muter-muter bentar. Nanti saya tambahin,” ujar Rina.

supir menggaruk-garuk kepalanya kebingungan karena tempat yang dituju semakin dekat.

“Maksudnya gimana, Neng?” tanya supir.

“Saya mau ngubungin temen saya dulu Pak. Katanya pindah tempat. Aneh banget emang ngasih taunya dadakan,” ujar Rina berkilah pada supir.

“Ooh, yaudah gapapa santai aja Neng,” ujar supir.

Rina mengambil Hpnya dari dalam tas. Ia melihat beberapa notifikasi pesan dari Toni. Tanpa ragu Rina menghapus notifikasi dari Toni lalu lanjut menghubungi Lisa.

“Lis.... Kamu di mana?” tanya Rina agak terbata-bata.

“Loh, Lis? Kok suaranya gitu?” Lisa bertanya balik.

Rina terdiam sejenak, mencoba kuat untuk meladeni Lisa.

“Aku ke tempatmu ya. Ini aku udah di jalan. Share loct ya. Tolong. Nanti kuceritain aja di tempatmu,” jawab Rina.

“Ini aku di kafe deket tempat beli hadiahmu dulu. Kukirim lokasinya ya,” ujar Lisa.

“Makasih ya Lis,” ujar Rina.

Rina menutup panggilannya pada Lisa lalu membuka pesan yang dikirim Lisa.

“Pak, kita ke Kafe Botani ya Pak,” ujar Rina.

“Waduh, Neng. Kalo gitu harus pesen lagi,” jawab supir.

“Pak nanti saya tambah aja deh. Tolong ya Pak,” mohon Rina.

“Duh, gimana ya,” Supir terdiam sejenak.

“Tolong ya Pak,” Rina memelas pada supir.

“Ya udah Neng. Bentar ini kita ke tujuan awal dulu biar ordernya selesai,” jawab supir.

Rina tidak menanggapi jawaban supir. Ia sudah terfokus pada apa yang akan diutarakannya nanti pada Lisa. Kali ini HP Rina kembali berbunyi karena telepon dari Toni. Rina membiarkannya berdering.

“Neng, gak diangkat?” tanya supir.

“Biarin aja Pak. Telpon pinjol nyasar,” jawab Rina sekenanya.

supir menggaruk kepalanya, entah ia merasa tidak enak sudah bertanya atau mendengar jawaban mengenai pinjol tadi.

...****...

Suasana kafe masih belum terlalu ramai untuk hari Sabtu ini. Pegawai kafe yang berada di dalam juga terlihat santai bercanda satu sama lain. Entah bagaimana keadaan kafe ini satu jam lagi ketika jam istirahat makan siang datang. Mungkin pemandangan dua pegawai kafe yang bercanda seperti ini tidak akan terlihat lagi. Lisa duduk santai di bagian depan luar kafe sambil menyeruput kopi yang sudah dipesannya dari satu jam yang lalu. Headset terpasang di telinga Lisa dan terdengar suara rekamannya sendiri dari headset membicarakan mengenai ketidakpercayaannya pada hal mistis. Lisa melihat jamnya lalu melepas headset dan berjalan membuka pintu kafe. Terlihat ia membuat angka satu dan berkata teh melati pada arah pegawai kafe. Lisa kembali duduk di kursi dan larut pada rekaman suaranya. Sesekali ia mencatat kekurangan dari rekaman tersebut. Intonasi dan artikulasi.

Pegawai Kafe membuka pintu dan membawakan pesanan dari Lisa yang berupa Teh Melati panas dan menaruhnya di meja.

“Makasih ya Mas,” kata Lisa sambil menundukkan kepalanya.

“Sama-sama, Kak” jawab Pegawai Kafe lalu meninggalkan Lisa.

Tak berapa lama, sebuah mobil datang mendekat ke arah Lisa lalu berhenti. Lisa melihat ke arah mobil dan mendapati Rina yang keluar dari dalam mobil. Rina berjalan mendekati Lisa dan melihat sudah ada secangkir teh panas tersedia.

“Loh, udah dipesenin?” tanya Rina.

“Iya. Kalo gak dipesenin nanti kamu malah pesen kopi. Udah, teh aja,” jawab Lisa.

Rina tersenyum kecil pada Lisa, menghargai kebaikan sahabatnya tersebut.

“Makasih ya,” ujar Rina.

Rina duduk di depan Lisa lalu meminum teh yang sudah disiapkan Lisa. Lisa terus memperhatikan Rina. Ia masih kebingungan kenapa Rina mendadak ingin bertemu dirinya.

“Dah, cerita sekarang. Kamu kenapa?” tanya Lisa pada Rina.

Rina mengatur penrafasannya sambil mengaduk-aduk sendok teh. Lisa mengernyitkan dahinya, masih menunggu jawaban dari sahabatnya. Rina tak kunjung menjawab dan membuat Lisa gelisah.

“Rin,” ujar Lisa sebelum akhirnya HP Lisa berdering.

Lisa melihat ke Hpnya dan mendapati ia dihubungi oleh Toni.

“Loh, Toni? Ngapain nelpon?” ujar Lisa agak curiga.

“Lis jangan diangkat!” larang Rina.

Lisa terhenti. Ia tidak jadi mengangkat telefon dari Toni dan membiarkannya.

“Ya udah cepet kamu cerita. Jangan bikin kuatir lah,” ujar Lisa.

“Iya,” ujar Rina agak pelan.

Rina dan Lisa menunggu hingga dering panggilan dari Toni berhenti lalu mulai bercerita.

“Lis, kayanya aku udah mulai gak tahan sama keluarganya Mas Toni,” ujar Rina.

Lisa mengernyitkan dahinya kebingungan.

“Maksudnya gimana? Penyebabnya tuh apa?” tanya Lisa.

“Ini aku pergi dari acara kumpul keluarga. Rencananya mau bahas buat Tujuh Bulanan dua minggu lagi. Feelingku udah gak enak waktu liat kok banyak banget ya yang dateng, pasti ada omongan macem-macem lagi ini. Eh ternyata bener,” jelas Rina pada Lisa.

“Omongan macem-macem contohnya gimana?” Lisa kembali bertanya.

Rina mengatur pernafasannya. Ia tidak ingin menangis di depan jalan seperti ini. Belum lagi sebentar akan menuju jam makan siang, entah akan seramai apa kafe ini nanti. Rina meminum teh panasnya terlebih dahulu lalu lanjut bercerita.

“Awalnya bahas buat Tujuh Bulanan. Aku mintanya jangan ribet-ribet. Udah sesuai urutannya aja. Gak usah gede-gedean sama yang dateng yang di sini-sini aja. Toh Mas Toni juga baru dapet syutingan lagi. Nanti malah susah nabung buat lahirannya. Tapi, Bapaknya Mas Toni minta keluarga yang dari Salatiga juga diundang, soalnya mumpung masih bisa dateng. Dah sepuh,” jelas Rina panjang lebar.

Lisa memperhatikan curahan hati sahabatnya dengan seksama sambil meminum kopinya.

“Oke lah, aku gak tega jadi aku setuju. Lagian kalo misal Omaku masih hidup juga pasti kuminta dateng,” ujar Rina.

Lisa menganggukkan kepalanya, memahami penjelasan Rina.

“Nah, yang kedua ini aku udah gak tahan lagi,” ujar Rina lalu terhenti.

Lisa melihat Rina yang mulai berkaca-kaca lalu berinisiatif mengambil tisu dari tasnya dan menaruhnya di depan Rina.

“Ibunya Mas Toni nanya masalah persalinan nanti. Kujelasin kalo kemungkinan terbesar ya harus caesar,” jelas Rina yang mulai sesenggukan.

Rina terhenti lagi, mencoba mengatur pernafasannya. Sesekali ia menggigit bibirnya karena ia tahu akan menjelaskan sesuatu yang beberapa saat lalu membuatnya marah. Rina akhirnya tidak bisa menahan air matanya. Lisa terdiam melihat sahabatnya yang akhirnya tidak bisa menahan emosi. Tidak terbayang oleh Lisa apa yang sudah didengar Rina di rumah mertuanya.

“Tapi malah Bapak sama Omnya Toni masih ngarep banget kalo bisa normal. Padahal ya aku yang ngerasain. Kok ya bisa mereka ngomong gitu? Udah kujelasin kondisiku gimana kok masih bisa keluar kalimat gitu?” ujar Rina sambil sesenggukan.

Rina menyeka air matanya yang masih mengalir deras. Lisa diam, ia bingung harus berkata apa. Ia tidak menyangka bahwa perkataan seperti itu yang didengar Rina tadi.

“Terus Mas Toni bilang apa ke kamu?” tanya Lisa.

Rina menggelengkan kepalanya. Lisa menghembuskan nafas kesal. Ada terbersit rasa heran dalam diri Lisa pada Toni kenapa ia tidak membela istrinya. HP Rina berdering dan mengalihkan perhatian mereka berdua.

“Gak mau kamu angkat?” tanya Lisa pada Rina.

Rina tidak menjawab pertanyaan dari Lisa. Lisa mendecak, bingung harus seperti apa. Ia tidak ingin sahabatnya yang akan memasuki hamil tua ini memiliki beban pikiran selain kesehatan diri dan anaknnya. Lisa melihat ke arah Rina.

“Rin, tunggu bentar ya. Aku bayar pesenannya dulu,” ujar Lisa.

Lisa meninggalkan Rina yang masih mencoba menenangkan dirinya. Rina bingung harus seperti apa pada Toni. Di satu sisi, ia masih menyalahkan Toni karena tidak membelanya tetapi jika ia berada di posisi Toni pasti juga akan mengalami yang terjadi pada Toni. Lisa keluar dari kafe sambil memegangi Hpnya.

“Rin, siap-siap. Bentar lagi jemputan kita dateng,” ujar Lisa.

Rina melihat ke arah Lisa kebingungan. Lagi-lagi Lisa mengambil inisiatif tanpa Rina ketahui apa yang akan didapatnya nanti.

“Kita mau ke mana?” tanya Rina.

“Udah, nanti juga kamu tau,” jawab Lisa.

Rina melongo mendengar jawaban Lisa. Ia mencoba menerka apa yang direncanakan Lisa tetapi pikirannya masih terlalu kacau untuk mengerti apa yang direncanakan Lisa. Perlahan terdengar suara mobil semakin mendekat ke arah Rina. Rina melihat ke arah Lisa yang sedari tadi berdiri menunggu Rina bangkit dari tempat duduknya. Lisa tidak melepaskan pandangannya pada Rina, mencoba meyakinkan Rina pada rencananya ini.

...****...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!