Chapter 4 Celotehan Keluarga Toni

Jam menunjukkan pukul 3 sore. Suasana ruang kerja dihiasi suara ketikan Toni di depan laptopnya dan kipas exhaust yang dinyalakan. Sesekali Toni berhenti dan menghisap rokok yang menyala di asbak. Toni menghembuskan asap rokok sambil memandang ke atas. Kadang ia bergumam, mencoba mencari inspirasi untuk skenario proyeknya bersama Helnina. Toni menghisap rokoknya sekali lagi lalu menaruh rokoknya di asbak sambil bersiap untuk mebali mengetik. Perlahan asap rokok dikeluarkan sembari ia mengetik. Kali ini ketikannya lebih sering terdengar. Bisa disimpulkan bahwa inspirasi berhasil didapatkannya. Tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu mengagetkan Toni yang semakin terlarut dalam pekerjaannya. Toni melihat ke arah pintu ruangan kerjanya.

“Mas, jadi ke rumah Ibu gak?” tanya Rina dari arah luar.

Toni menyimpan hasil kerjaannya lalu menutup laptop.

“Iya sebentar, ini baru selesai. Jadi beli kue dulu?” Toni bertanya balik.

“Iya. Ayo makanya cepet siap-siap,” jawab Rina.

Terdengar suara langkah kaki semakin menjauhi ruangan kerjanya. Toni bangkit dari kursi kerjanya, meninggalkan bajunya di keranjang cucian lalu keluar dari ruangan kerjanya.

...****...

Rina dan Toni berdiri di depan etalase kue dan roti. Mereka memandangi berbagai macam pilihan yang bisa dibeli mereka. Rina melihat seloyang brownies lalu terdiam sejenak. Ia memikirkan apa satu loyang ini cukup untuk saudara-saudaranya yang nanti datang. Meskipun sebenarnya tidak perlu ada kewajiban ia membelikan mereka makanan ringan untuk acara yang mereka sendiri ngotot untuk diadakan. Jika bisa memilih, Rina tentu lebih senang berdiam diri di sofa sambil mengistirahatkan kakinya yang semakin terasa sakit jika terlalu lama beraktivitas. Belum lagi entah apa yang akan didengarnya nanti. Rina hanya bisa berharap saudara-saudaranya nanti tidak memancing emosinya.

“Mas, nanti yang dateng siapa aja?” tanya Rina.

“Kurang tau juga. Yang pasti sih ada Bude nanti sama keluarganya,” jawab Toni.

Rina bergumam sebentar.

“Beli dua brownies cukup lah ya?” tanya Rina.

“Cukup kok cukup. Yang itu kan?” jawab Toni sembari menunjuk brownies.

Rina menganggukkan kepalanya. Toni mengangkat tangannya ke arah pegawai toko kue yang segera menghampirinya.

“Browniesnya dua ya Mbak,” ujar Toni.

“Mau sekalian dipotongin browniesnya, Pak?” tanya pegawai toko kue.

“Iya, Mbak. Sekalian aja,” jawab Toni.

Rina dan Toni mengikuti arah Pegawai yang berjalan menuju kasir sambil membawa dua kue brownies. Toni mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya untuk dibayarkan pada Kasir. Rina menerima bungkus kue brownies yang disodorkan oleh pegawai seraya Toni menerima kembalian dari Kasir. Rina dan Toni lalu pergi meninggalkan toko kue.

...****...

Rina duduk memandangi sekitarnya dengan seksama. Ia mencoba memperhatikan keramaian yang ada di depannya sesopan mungkin. Rina mungkin tidak begitu menyukai keluarga barunya dari Toni, tetapi ia tidak ingin dicap sebagai saudara yang tidak menghargai kedatangan saudara lainnya dari luar kota. Beberapa keponakan Rina berlarian di sekitar ruang keluarga, menuju pekarangan rumah lalu balik lagi ke ruang keluarga. Toni duduk di samping Bude Darjo yang menempelkan inhaler menthol di hidungnya. Rina tak memperhatikan apa yang dibahas mereka, ia hanya melihat Toni tertawa bersama Budenya. Agus, Bapak Mertua Rina duduk agak jauh dengan saudara-saudara yang lainnya di dekat pintu keluar sambil merokok. Rina mulai menyesali kedatangannya ke sini. Kadang ia terfokus pada inhaler menthol milik Bude Darjo, mungkin seharusnya ia membeli barang itu juga ke sini agar tidak ikut mencium bau asap rokok yang masih agak tercium ke arahnya.

Tak berapa lama, Tuti datang bersama dengan Tante Murni membawa brownies dan teh panas. Belum sempat disajikan, Rudi, salah satu keponakan Rina mengambil brownies dengan sigap dan mengagetkan Tuti.

“Rudi, pelan-pelan dong ngambilnya. Penuh ini,” ujar Tuti.

“Maaf Eyang,” jawab Rudi yang kembali berlari menuju arah pekarangan.

Tuti menggelengkan kepalanya lalu menaruh brownies di meja.

“Ayo-ayo, dimakan diminum. Ini tadi Rina sama Toni yang beliin,” ujar Tuti.

Beberapa anggota keluarga Toni perlahan mendekat menuju meja untuk mengambil teh dan brownies yang tersedia. Dari sepuluh cangkir yang disediakan sudah terambil enam. Hanya tersisa untuk Tuti, Tante Murni, Bude Darjo dan Toni. Entah keponakan Rina akan mengambilnya apa tidak. Rina membatin kenapa bisa sampai salah hitung jumlah teh yang harus disediakan. Brownies yang disediakan pun hanya tinggal satu kotak, Rina mengambil air mineral gelas yang sudah tersedia sedari tadi lalu meminumnya. Bude Darjo memperhatika Rina yang justru mengambil air mineral.

“Loh, Rina gak minum tehnya?” tanya Bude Darjo.

“Engga Bude. Lagi pengen air putih,” jawab Rina.

“Oh, ya ya. Ton, tolong ambilin Bude tehnya ya,” pinta Bude Darjo pada Toni.

“Iya Bude,” jawab Toni sambil beranjak untuk mengambil cangkir teh.

Bude Darjo perlahan meniup cangkir lalu menyeruput tehnya. Ia menikmati tehnya. Rasa manis yang tidak terlalu dan kekentalan teh yang cukup membuatnya cocok disajikan bersama brownies.

“Rin, gimana? Jadi ‘kan acara tujuh bulanannya dua minggu lagi?” tanya Bude Darjo.

“Jadi Bude. Tapi keliatannya jangan yang terlalu ribet ya Bude. Udah makin gampang cape soalnya,” jawab Rina.

Bude Darjo mengernyitkan dahinya.

“Ribet gimana maksudnya? Acaranya kan ada susunannya,” tanya Bude Darjo.

“Maksud Rina langsung ke acara inti tujuh bulanannya gitu Bude. Gak perlu yang lainnya sampe jadi acara gede banget. Toh Mas Toni juga baru dapet syutingan lagi. Jadi kali bisa yang dateng juga sodara-sodara yang di sini aja sama keluarga Bude,” jawab Rina.

Bude Darjo menganggukkan kepalanya. Agus melihat ke arah Rina, sepertinya memiliki sesuatu yang ingin disampaikan.

“Rin, tapi Simbahnya Toni harus diundang juga. Tadi pagi abis Kebaktian, Simbah nelpon katanya mau liat tujuh bulanan nanti. Mumpung masih bisa. Bapak ga tega sebenernya, tapi mau nolak juga lebih ga tega,” ujar Agus.

Rina terdiam. Ia tampak tidak tega juga untuk menolaknya.

“Ya udah gapapa Pak. Nanti didampingin sama....,” Rina terdiam sejenak, mencoba mengingat saudaranya yang juga tinggal bersama Simbah di Salatiga.

“Pakde Pur?” sambung Om Yanto, suami Tante Murni.

“Iya, Om. Kelupaan,” jawab Rina sambil nyengir.

Anggota keluarga lainnya ikut tertawa, justru membuat Rina semakin tidak enak karena lupa pada saudaranya sendiri.

“Rin, buat persalinannya gimana?” tanya Tuti.

“Kemungkinan bakal tetep caesar, Bu. Minggu kemarin cek juga ke dokter kandungan, dianjurkannya caesar karena ada masalah di plasentanya,” jawab Rina.

Beberapa orang yang hadir di sana tampak kecewa. Rina mencoba mengatur pernafasannya, tidak mau melihat mereka lebih sering.

“Emang gak bisa normal ya, Rin?” tanya Agus.

“Iya, agak piye yo kalo operasi,” timpal Om Yanto.

Rina menunduk sambil terus mengatur pernafasannya. Tuti, Tante Murni dan Bude Darjo mulai memandangi Rina. Mereka tampak kasihan pada anak mereka yang satu ini.

“Wes toh, ojo ditambahi pikiran. Ini makanya mau tujuh bulanan sopo reti iso mbantu,” ujar Pakde Mardi, suami Bude Darjo yang sedari tadi diam memperhatikan.

“Malah yang rame nih Bapak-Bapak gimana toh. Udah, yang terbaik aja buat Rina. Tadi pas bahas tujuh bulanan pada diem,” ujar Tante Murni agak ketus.

“Ya cuma nanya kok, malah sewot,” kilah Om Yanto.

Toni kebingungan harus berbuat apa. Sedari tadi hanya menggaruk kepalanya sambil mendecak pelan. Entah yang mana yang membuatnya lebih bingung, keadaan Rina atau Keluarganya. Rina tidak dapat menahan emosinya lagi. Rina mencari Hpnya di dalam tas lalu memesan taksi online. Entah tempat apa yang Rina pesan, ia hanya ingin segera pergi dari rumah ini. Beruntung pesanannya segera diterima dan jaraknya tak terlalu jauh. Rina masih fokus mengatur pernafasannya. Entah apa yang diributkan oleh orang-orang ini coba dijadikan angin lalu oleh Rina. Tak lama, pesanannya semakin mendekat. RIna bangkit dari sofa tempatnya duduk lalu langsung pergi meninggalkan orang-orang yang sedari awal membuatnya tidak nyaman.

“Aku mau nelpon Lisa dulu,” ujar Rina seraya melewati orang-orang di dalam rumah.

Seketika orang-orang yang berada di ruangan terdiam. Toni melongo melihat Rina berjalan meninggalkannya. Sepertinya ia tidak menyadari maksud Rina yang sesungguhnya.

...****...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!