Empat bulan telah berlalu setelah acara pertunangan Rina dan Toni. Mereka sudah pindah ke rumah mereka sendiri dan memulai kehidupan berkeluarga mereka. Rumah mungil nan elegan khas daerah perkotaan mereka tempati saat ini. Suasananya cukup tenang dan asri, berdekatan dengan tetangga namun tidak terlihat banyak warga sekitar terlihat di siang hari. Khas daerah perkotaan. Kadang terlihat penjaga komplek perumahan berkeliling dengan sepedanya sambil melihat sekitarnya. Sesekali ia tersenyum menyapa anak kecil berseragam yang berjalan menuju rumahnya. Tenang, aman dan nyaman.
Rina dengan mengenakan pakaian santai longgar berjalan pelan sambil membawa secangkir teh yang masih terlihat kebulan asap di atasnya. Rina menuju kursi taman lalu menaruh cangkir teh beserta Hpnya di meja taman. Rina duduk di kursi, melihat ke arah tanaman air mata pengantin yang mulai tumbuh menjalar menutupi bagian kaca kamar yang langsung terlihat menuju depan jalan komplek. Semua berjalan mulus, Rina bahagia dengan keadaannya sekarang terlebih dengan apa yang dialaminya sekarang. Rina tersenyum kecil melihat pemberian sahabatnya tersebut sudah mulai memberikan efek bagi rumahnya. Bukan hanya menjaga privasi keluarga mereka, tanaman tersebut juga memberikan keasrian tersendiri bagi rumahnya. Tidak terbayang jika nanti tanaman tersebut terus tumbuh menjalar menutupi depan kaca. Seketika mungkin bagian rumahnya tersebut akan dikira sebagai percobaan untuk membuat hutan tropis di rumah.
Kupu-kupu terbang mendekati tanaman air mata pengantin lalu hinggap di salah satu bunga berwarna merah muda yang ada tumbuh di sulurnya. Kupu-kupu hinggap agak lama, mencoba mengutak-atik bunga tersebut lalu pindah ke salah satu bunga yang berada di sulur lainnya. Rina mengamati kegiatan kupu-kupu tersebut sambil mengusap perutnya. Usia kandungan Rina memasuki bulan kedua. Kabar tersebut membuat Toni semakin sering di luar dan menghabiskan malam berkutat di ruangannya sendiri untuk membuat skenario terbarunya untuk dipresentasikan pada beberapa produser yang dikenalnya. Rina senang dengan kesibukan Toni untuk mencari penghasilan bahkan di akhir pekan seperti ini tetapi ia juga sadar bahwa dirinya merindukan Toni yang selalu ada di dekatnya sebelum kehamilannya. Rina sadar betul bahwa Toni yang pada saat itu belum ada proyek syuting lagi harus segera memiliki proyek selanjutnya agar kebutuhan mereka terjamin menjelang kelahiran anak mereka. Belum lagi jika mengingat bagaimana ramainya keadaan grup keluarga Toni begitu mereka mendengar kabar kehamilan Rina.
Notifikasi dari HP Rina berbunyi dan menyadarkan Rina dari lamunannya. Rina melihat ke arah HP lalu mengambil HP. Rina mendecak lalu mendengus kesal melihat keramaian yang ada di grup keluarga Toni. Beberapa anggota keluarga mulai membahas masalah syukuran, siraman tujuh bulanan bahkan rumah sakit terbaik yang cocok menjadi tempat kelahiran bagi anggota keluarga baru mereka. Rina menaruh Hpnya kembali di meja dengan agak kencang hingga membuat bunyi “duk” yang cukup nyaring. Beruntung HP Rina dilindungi oleh cover yang cukup tebal. Rina mengatur pernafasan, mencoba menenangkan dirinya setelah melihat isi percakapan tadi.
Tak berapa lama, HP Rina kembali berbunyi dan mengagetkan Rina yang mengatur pernafasan sambil menutup matanya. Rina melihat ke arah HP dan mendapati Ibunya menelpon. Rina mengambil HP lalu menerima telepon dari Marni.
“Halo nak, gimana kabarnya? Sehat? Masih mual-mual?” tanya Marni.
“Halo Bu. Engga kok, udah gak terlalu mual kayak kemarin-kemarin. Ibu gimana kabarnya? Sehat?” balas Rina.
“Sehat kok, ini Bapak juga sehat. Kamu lagi ngapain ini?”
“Lagi nyantai aja Bu di taman.” Rina terdiam sejenak. “Bu, mau cerita dong.”
“Iya, ada apa?” tanya Marni.
“Ini keluarganya Mas Toni udah mulai ngeributin masalah syukuran lah, tujuh bulanan lah, lahirannya nanti di mana yang bagus. Pusing aku ngebacanya. Ini baru jalan dua bulan udah segitunya,” jelas Rina.
“Mungkin emang gitu mereka ke tiap anggota keluarga yang hamil?” terka Marni.
“Iya tapi kalo gini kan aku yang risih,” balas Rina.
“Hm, coba kamu omongin ke Toni. Apa emang seperti itu mereka kalo ada yang hamil? Tipe keluarga menanggapi suatu kejadian ‘kan beda-beda,” jawab Marni.
Rina terdiam sejenak mendengar jawaban Ibunya.
“Ini udah jadi hal yang harus kamu hadapin saat berkeluarga. Jawabannya gimana, Ibu sendiri gak bisa ngasih tau. Harus kamu cari tau sendiri gimana mereka sebenarnya. Setelah kamu tau, mungkin Ibu baru bisa ngasih pandangan lebih.”
Rina masih terdiam, tidak menjawab pernyataan dari Ibunya. Dalam diamnya ia mencoba merenungi apa yang mungkin dihadapinya selama berkeluarga dengan Toni.
...****...
Toni duduk di kursi tunggu dengan satu bendel skenario terletak di meja depannya. Resepsionis memperhatikannya dengan seksama lalu meraih telepon di meja resepsionis. Toni sesekali menghentak lantai, terlihat agak gugup dengan apa yang mungkin dihadapinya nanti. Ia mungkin sudah terbiasa dengan bagaimana proses presentasi cerita berjalan, bahkan sudah mengenal siapa yang akan mendengar presentasinya. Toni gugup bagaimana jika nanti ceritanya ditolak. Bagaimana jika nanti ia tidak memiliki biaya untuk persalinan istrinya. Toni melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul setengah tiga. Kantor hanya beroperasi hingga jam tiga pada hari sabtu. Apakah ini cukup untuk presentasi? Hal ini membuat Toni semakin gugup. Toni mengambil HP dari kantong celana lalu mengabari Rina bahwa setengah empat ia akan menjemputnya untuk segera menuju rumah keluarganya.
“Pak Toni, silakan masuk,” ujar Resepsionis.
Toni mengangguk sambil tersenyum, mengambil bendel skenario lalu berjalan menuju pintu ruangan yang ada di sampingnya.
...****...
Toni keluar dari pintu dengan raut wajah kusut. Ia melihat ke arah jam dinding yang ada di atas ruangan resepsionis sudah menunjukkan pukul 15.20. Resepsionis sudah tidak ada di sana. Sepinya ruangan tempat Toni berada hingga membuat detik jam terdengar jelas. Toni menghembuskan nafas, kesal karena hasil yang baru saja didapatnya. Skenarionya ditolak. Toni menggaruk kepalanya sambil mendecak. Toni kembali melihat ke bendel skenario yang sudah dibuatnya, terdiam kecewa. Sekali lagi Toni menghembuskan nafas dengan agak kencang lalu berjalan meninggalkan ruangan.
...****...
Rina duduk rapi di kursi taman menunggu kedatangan Toni. Tas mungil terletak di meja taman. Sesekali ia melihat ke arah jalan tetapi masih belum ada tanda kedatangan Toni meskipun jam di tangannya sudah menunjukkan hampir jam empat. Rina terlihat cemas, sesekali ia mendecak sambil melihat ke arah tanaman air mata pengantin. Entah apa yang ia cemaskan, terlambatnya Toni atau bagaimana ia nanti menghadapi Keluarga Toni. Tak berapa lama, tedengar suara mobil yang ia kenal semakin mendekati arah rumah. Rina menoleh lalu berjalan menuju pintu gerbang bersama tas mungilnya yang terselempang di pundaknya.
...****...
Rina dan Toni duduk di sofa tua yang terlihat masih cukup empuk untk usianya. Rina melihat ke arah dalam rumah, entah apa yang dicarinya. Mungkin ia ingin membantu mertuanya untuk mempersiapkan minuman. Toni, menundukkan kepalanya melihat ke arah lantai. Ia terlihat bingung meskipun sudah berkata bahwa usahanya belum berhasil tetapi ia belum bilang hal ini pada orang tuanya. Agus yang duduk di seberang Rina dan Toni langsung melihat ke arah Rina.
“Rin, udah gapapa. Biar Ibu aja yang nyiapin,” ujar Agus.
Rina menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Tak lama, Tuti datang sambil membawa nampan yang berisi empat cangkir teh hangat. Rina bergegas mengambil cangkir miliknya dan Toni lalu menaruhnya di meja. Agus mengambil cangkir teh lalu menyeruput teh yang ada di cangkir. Tuti melihat senang ke arah menantunya.
“Rin, gimana? Masih suka mual-mual?” ujar Tuti.
“Kadang masih Bu, untung mintanya gak macem-macem. Iya gak, Mas?” tanya Rina.
Toni terdiam tidak menjawab Rina. Tuti dan Agus memandang heran ke arah Toni. Rina melirik ke Toni lalu menepuk paha Toni.
“Eh, iya Bu. Masih gampang menuhin ngidamnya,” jawab Toni.
“Malah ngelamun ini loh,” ujar Agus.
“Oh iya Rin, kamu udah mulai siap-siap buat acara tujuh bulanannya belum? Emang sih masih lama, tapi perlu loh disiapin lebih cepet. Biar gak mendadak,” ujar Tuti pada Rina.
Kali ini giliran Rina yang terdiam tidak menjawab pertanyaan Tuti.
“Iya Bu, nanti kami persiapkan. Bude Darjo siap bantu juga ‘kan nanti?” tanya Toni.
Rina melongo mendengar jawaban Toni.
“Loh, justru itu. Makanya Ibu nanya dari jauh-jauh hari biar Bude bisa ikut nyiapin juga,” balas Tuti.
“Mas,” bisik Rina pada Toni.
“Udah gampang, Senin nanti aku coba tanya-tanya ke temenku yang lain. Pasti kuusahain bulan ini udah ada,” bisik Toni pada Rina.
Agus dan Tuti memandang curiga pada Rina dan Toni.
“Malah bisik-bisik ada apa toh?” tanya Agus.
“Gapapa kok Pak. Ada yang kelupaan tadi di rumah,” jawab Toni.
Toni memandang serius ke arah Rina. Rina terdiam sejenak memandang ke arah Toni lalu melihat ke arah Agus dan Tuti.
“Iya Pak. Tadi lupa matiin TV,” ujar Rina.
Agus dan Tuti kebingungan mendengar jawaban Rina. Rina meminum tehnya lalu tersenyum canggung pada mertuanya.
...****...
Rina dan Toni sampai di depan rumah mereka. Toni melirik ke arah Rina yang masih terdiam sedari perjalanan pulang mereka. Toni menunduk lesu lalu mematikan mesin mobil. Toni melihat ke arah Rina.
“Rin, maaf ya. Aku tadi langsung aja bilang gitu tanpa persetujuanmu. Aku gak enak sama Ibu,” jelas Toni pada Rina.
Rina masih diam, tidak menanggapi penjelasan Toni.
“Rin, aku janji Senin nanti bakal ada kabar yang baik buat masalah pekerjaanku,” ujar Toni untuk meyakinkan Rina.
Rina keluar dari mobil lalu membuka pintu pagar rumahnya. Toni memperhatikan Rina yang langsung bergegas menuju dalam rumah. Toni menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Pintu mobil yang dibiarkan terbuka oleh Rina lalu ditutup Toni dan perlahan mobil memasuki garasi rumah.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments