Empat bulan berlalu setelah kejadian Rina meninggalkan Toni di dalam mobil. Toni masih tidak memiliki pekerjaan tetap meskipun beberapa pekerjaan berhasil didapatnya. Toni serius mengetik di laptopnya. Terdengar suara televisi menyala di ruang kerjanya, mencoba menemani Toni bekerja. Beberapa kali ia meraih mouse dan mengklik mouse tersebut dengan cepat. Toni memperhatikan ketikannya agak lama, moncoba menganalisa apa yang kurang dari ketikannya. Protagonis sudah melakukan hal yang seharusnya dilakukan agar resiko yang ditempuhnya nanti semakin besar di krisis tetapi ia masih merasa masih ada yang kurang. Toni menggaruk pelipisnya lalu menghembuskan nafas, terlihat kehabisan stamina. Toni memejamkan matanya sejenak lalu terantuk dan menyadarkan dirinya. Jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi. Ketikannya berisi tentang cerita untuk sebuah iklan absurd produk kecantikan.
Toni dipilih untuk mengerjakan karena iklan cerita absurd yang sebelumnya dikerjakan berhasil mendapat respon positif dari masyarakat. Sialnya, yang harus dikerjakan adalah iklan kecantikan. Ia tidak bisa sembarang melucu di skenarionya karena takut mendapat respon negatif dari masyarakat yang sekarang sudah mampu membedakan mana lucu yang benar lucu, mana lucu yang bertendensi melecehkan. Resiko yang besar untuk sebuah bayaran yang tidak seberapa. Belum lagi kali ini pihak klien adalah klien yang baru terjun di bidang kecantikan. Bukan hanya karirnya yang hancur, tetapi kliennya sendiri beresiko seperti itu.
Toni mengambil sebatang rokok yang bungkus rokok yang terletak di meja kerjanya. Tanpa tergesa, ia menyalakan rokoknya mencoba mencari ketenangan. Ia tidak membutuhkan rokok untuk inspirasinya, yang ia perlukan dari sebatang rokok adalah perasaan puas ketika ia menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Itulah kenapa ia tidak merokok ketika tidak menulis skenario. Rina sudah berkali-kali mengingatkan pada Toni untuk menghentikan kebiasaannya itu melihat usia kandungannya semakin menua tetapi akhirnya Rina mengalah dengan syarat Toni membersihkan dirinya setelah bekerja dan mencuci pakaiannya yang dipakai kerja sendiri. Rina tidak tega untuk membuat suaminya langsung meninggalkan kebiasaannya tersebut karena ia sendiri dulu merokok sebelum hamil. Terlebih jika Rina sudah diburu tenggat waktu dari klien dan harus prestasi. Rokok yang dikonsumsinya akan lebih banyak dari Toni. Mungkin Toni belum menemukan waktunya untuk berhenti, pikir Rina.
Toni mematikan rokoknya lalu lanjut mengetik. Sesekali ia menggelengkan kepalanya, mencoba menyadarkan diri dari kantuk yang mulai menyerang. Terdengar suara iklan dari arah televisi, mempromosikan sebuah makanan ringan dengan cara yang absurd diputar di televisi. Toni tersenyum kecil mendengar iklan tersebut. Ia tidak menyangka idenya yang membuat anak kecil menjadi binaragawan setelah mengonsumsi makanan ringan gandum diterima oleh kliennya.
...****...
Rina memasuki rumahnya sambil membawa map di tangan kirinya. Ia melihat-lihat dalam rumahya dan terlihat masih berantakan. Rina memejamkan matanya lalu menghembuskan nafas, kesal karena mengetahui bahwa Toni tidak mengerjakan tugasnya untuk membereskan rumah. Padahal sudah dua jam yang lalu ia mengirimkan pesan untuk dibantu beberes. Jam di rumah menunjukkan pukul 1 siang, rumah masih berantakan dan Toni pun masih belum terlihat ada di mana. Rina menaruh tas kecilnya di sofa lalu berjalan menuju ruang kerja Toni yang ada di dekat ruang keluarga. Terlihat Toni masih tertidur pulas di meja kerjanya. Kepala Toni menghadap ke arah pintu sehingga langsung tersadar karena cahaya dan suara pintu yang kurang dilumasi minyak engselnya. Toni mengusap mukanya lalu melihat ke arah istrinya yang berdiri di depan pintu sambil menutupi hidungnya.
“Dibaca engga pesannya?” tanya Rina.
Toni mengambil HP dan mencoba mengaktifkannya. Toni nyengir pada Rina.
“Maaf abis batre,” jawab Toni.
“Pantesan. Tolong masakin air panas, mas,” pinta Rina.
Toni beranjak meninggalkan Rina di ruang kerjanya. Rina masuk ke dalam lalu menyalakan exhaust untuk membuang udara yang masih tercium asap rokok dalam ruangan. Rina memperhatikan skenario yang dikerjakan Toni di laptopnya. Rina mengernyitkan dahinya. Tak berapa lama, Toni masuk ke dalam ruang kerja.
“Mas, jangan lupa dinyalain exhaustnya kalo mau ngerokok. Biar kebuang di luar asepnya,” ucap Rina.
“Iya maaf, tadi pagi malah jadi dingin jadi tak matiin,” jawab Toni.
Rina menghembuskan nafas kesal mendengar alasan Toni.
“Itu nulis buat apa mas? Dapet proyek lagi?” tanya Rina.
“Iya, produk kecantikan. Tapi bayarannya gak seberapa sih. Buat portofolio aja,” jawab Toni.
“Terus udah ada kabar buat proyek syutingan lagi?” Rina kembali bertanya pada Toni.
“Belum,” jawab Toni.
Suasana ruang kerja hening. Toni menunduk tidak berani menghadap Rina. Rina memberikan map yang tadi dibawanya pada Toni. Toni melihat map pemberian Rina yang adalah map hasil USG Rina. Toni membuka map pemberian Rina dan mengernyitkan dahinya.
“Kayanya bakal susah kalo mau lahiran biasa,” ucap Rina.
Toni terdiam, ia memikirkan langkah yang mungkin bisa dilakukannya. Rina menunduk sedih karena keadaan seperti ini mungkin akan memakan biaya yang sangat banyak. Terdengar suara ketel air memecah keheningan ruangan kerja. Rina beranjak meninggalkan ruangan kerja. Toni bangkit sambil memegang Hpnya lalu mengisi daya dari HP tersebut. Ia terdiam sejenak sambil mengernyitkan dahinya serius. Tak berapa lama ia sibuk dengan HPnya, entah menghubungi siapa.
...****...
Di kamarnya, Rina merendam kakinya di ember yang berisi air panas. Keset yang cukup tebal terletak di samping kiri ember. Terlihat Rina merasa lega karena rasa sakitnya mulai mereda. Kaki Rina saling mengusap satu sama lainnya karena sudah tidak bisa dijangkau lagi. Rina memejamkan matanya, mencoba lebih relaks lagi. Ia mencoba tenang, tidak mau memikirkan persalinannya nanti bagaimana. Ia berhak untuk tenang setelah kabar yang didapatnya tadi. Ketukan pintu dari arah luar membangunkan Rina. Terdengar suara yang pernah ia dengar sebelumnya. Ia mengernyitkan dahinya, mencoba mengingat suara siapa itu. Perlahan Rina bangkit menjejak keset, mengeringkan kakinya lalu berjalan menuju ruang keluarga sambil masih mencoba mengingat siapa orang yang memiliki suara lembut dan ramah tersebut.
Sesampainya di ruang keluarga, Rina melihat Toni duduk bersama Helnina. Orang yang tadi coba diingatnya selama perjalanan menuju ruang keluarga. Perhatian Toni dan Helnina teralihkan pada kedatangan Rina.
“Eh, Kak Rin,” ujar Helnina.
Helnina bangkit mendekati Rina dan memeluknya. Rina lalu berjalan pelan menuju sofa yang diduduki Toni.
“Gimana persiapannya Kak? Udah deket ya tanggalnya?” tanya Helnina.
“Iya, udah enam bulan ini,” jawab Rina.
“Semoga lancar ya nanti Kak,” ujar Helnina.
Rina tersenyum canggung pada Helnina. Rina melihat ke arah meja lalu memandang ketus ke arah Toni.
“Mas, kok gak disediain minum?” tanya Rina.
“Gak usah, gak usah. Aku cuma mau mampir bentar Kak. Tadi aku dihubungin masalah kerjaan sama Toni. Nah, aku mau nawarin sekalian,” ujar Helnina.
Rina memperhatikan Helnina dengan serius.
“Emang ini film pendek sih. Tapi kalo hasilnya bagus, kita bisa tembusin ke Produser juga. Jadi kayak pancingan gitu buat versi film panjangnya,” jelas Helnina.
“Butuh buat kapan ini?” tanya Toni.
“Kalo bisa bulan depan udah ada draft satunya. Buat film pendeknya ini nanti juga ada fee-nya. Aku kan juga nyoba Produserin di film pendek ini, masa baru nyoba udah gak ngasih fee?” ujaar Helnina.
Rina memandangi Toni yang terdiam mempertimbangkan tawaran ini.
“Tapi ini peluang buat tembus ke proyek selanjutnya gede?” tanya Toni.
“Aku usahain. Dulu aku pernah nerima potongan fee sama Produser ini. Nah mau kucoba rayu-rayu juga. Itung-itung balas budi yang kemarin gitu hehe,” jawab Helnina.
Toni menganggukkan kepalanya.
“Makanya bikin cerita yang unik. Arthouse-arthouse gitu gapapa deh,” ujar Helnina.
Rina masih memandangi Toni yang mengernyitkan dahinya, terlihat fokus.
“Gimana? Mau gak?” tanya Helnina.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments