Bab 5

Di sebuah ruangan bernuansa putih dengan bau khas obat-obatan yang menguar di hidung, seorang wanita muda tengah terbaring lemah dengan jarum infus tertancap di sebelah tangan kirinya. Gadis itu sudah tidak sadarkan diri sejak setengah jam yang lalu. Di sana dia hanya terbaring sendirian tanpa ada yang menemani. Bahkan, kedatangannya pun hanya diantar seorang sopir taksi yang tak sengaja ditumpangi oleh gadis itu. Ya, gadis itu ditemukan tidak sadarkan diri saat perjalanan baru setengahnya menuju titik tuju mereka. Awalnya sopir taksi itu hanya mengira kalau penumpangnya tertidur lelap, tetapi setelah melihat keringat yang bercucuran dari dahi gadis itu, sopir taksi pun curiga kalau sudah terjadi sesuatu pada penumpangnya. Akhirnya ia pun membawa penumpangnya itu ke rumah sakit terdekat. Sang dokter yang menangani pasien itu masuk dan kembali memeriksa keadaannya.

"Masih sama," gumam dokter Bryan.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Dok?" tanya perawat yang menjadi asisten dokter itu.

"Sebaiknya kita hubungi pihak keluarganya," jawab Dokter Bryan.

"Baik, Dok. Saya–"

"J–jangan!" sela sebuah suara lemah menghentikan ucapan asisten Dokter Bryan.

"Tolong jangan beritahukan kondisiku pada keluargaku, Dok. Aku tidak ingin membuat mereka mencemaskanku," pintanya lagi dengan lirih.

"Apa kami harus mendengarkan perintah seorang pasien? Keadaanmu sangat darurat! Sudah sepatutnya kau diperhatikan oleh keluarga," sahut Dokter Bryan.

"Tolong. Aku sedang memohon, bukan memerintah." Vioni menutup kedua matanya dengan perlahan. Dia berharap sang dokter mau mengabulkan keinginannya untuk tidak menghubungi pihak keluarganya. Vioni juga yakin kalau keluarganya tidak akan ada yang peduli karena ada Vanila yang selalu mereka khawatirkan.

Sang asisten menoleh pada Dokter Bryan. "Bagaimana, Dok?" tanyanya lagi.

Dokter Bryan menghela napas panjang sebelum mengeluarkannya secara perlahan. "Baiklah. Kali ini aku akan menuruti permintaanmu dulu. Tetapi kedepannya tidak akan pernah lagi!"

"Terima kasih, Dok," lirih Vioni.

Bertepatan dengan berakhirnya pembicaraan Vioni dan Dokter Bryan, sebuah dering ponsel milik gadis itu terdengar nyaring dari dalam tas. Vioni meminta tolong pada asisten dokter itu untuk mengambilkan ponselnya.

Tidak langsung menjawab panggilan telepon itu, Vioni menatap nomor kontak yang sedang menghubunginya. Vioni juga mengucapkan terima kasih pada Dokter Bryan dan asistennya sebelum meminta mereka untuk meninggalkannya sendiri. Setelah memastikan pintu ruang rawat tertutup rapat, barulah gadis itu menjawab panggilan telepon dari sang Ayah, Clifford.

"Halo, Ay–"

"Vioni, apa maksudmu membatalkan Vanila untuk menemuimu, hah? Apa hanya karena dia membuatmu menunggu beberapa saat, kau langsung membatalkannya? Apa kau tidak ingat kalau Vanila kondisinya lemah? Dia tidak sesehat dirimu yang bisa di buru-buru!" semprot Clifford pada putri keduanya.

Suara Vioni akan tercekat di tenggorokan. Padahal ini adalah panggilan pertama yang dilakukan oleh ayahnya setelah tiga bulan lalu, tapi kenapa panggilan itu hanya berisi luapan amarah dari sana? Tidakkah terpikir untuknya menanyakan kabar Vioni terlebih dulu? Atau setidaknya bertanya baik-baik tanpa harus menggunakan suara keras.

"Apa hanya itu yang ingin Ayah tanyakan padaku?" tanya Vioni yang berusaha untuk tetap tenang.

"Apa maksudmu?"

"Tidak ada. Aku hanya berpikir kalau Ayah terlalu berlebihan untuk menghubungiku hanya karena gara-gara aku tidak bisa memenuhi keinginan Vanila."

"Itu memang benar. Kau sudah membuat Vanila kecewa hingga dia marah-marah di sini dan tidak mau makan siang hingga membuat keadaannya semakin lemah yang berakibat tidak sadarkan diri. Apa kau tidak tahu, bagaimana khawatirnya Ibumu padanya?" Clifford masih bertanya dengan nada tinggi.

"Ya, aku tidak tahu dan aku juga tidak ingin tahu," jawab Vioni.

Sakit hati yang dirasakan oleh Vioni sudah membuatnya tidak peduli kalau sikapnya ini pasti akan sampai pada telinga Marvel ataupun Resa, yang mungkin akan langsung memarahinya meskipun tidak sampai memukulnya.

"Lancang sekali kau berkata seperti itu, Vioni. Aku tidak membesarkanmu untuk menjadi anak yang kurang ajar seperti ini!" teriak Clifford dari seberang sana yang langsung membuat Vioni menjauhkan ponsel itu dari telinganya.

"Apa Ayah sudah selesai?" tanya Vioni lagi. Dia sangat ingin mengakhiri panggilan itu karena merasa tidak ada gunanya terus bermain urat dengan sang ayah.

"Cih, lagi-lagi kamu bertanya dengan nada seperti itu! Apa kamu tidak memiliki sopan santun?" tanya Clifford karena merasa sikap Vioni akhir-akhir ini sangat menjengkelkannya. Apalagi dia juga sudah membuat Vanila kecewa dan marah padanya.

Vioni memilih untuk tidak menyahuti perkataan Clifford. Dia membiarkan panggilan itu tersambung di sebelah bantalnya sementara dia hanya menutupi wajahnya dengan tangan. Vioni berusaha untuk menyemangati hatinya sendiri agar perasaannya tidak meledak-ledak. Dia juga harus bisa mengontrol emosinya karena daya tahan tubuhnya yang lemah akhir-akhir ini.

Kuatlah, Vio! Kau lahir di dunia ini untuk menjadi gadis kuat! Jangan sampai gara-gara keluarga, kau hilang akal dan ikut gila. Kau harus tetap waras, setidaknya sampai kau keluar dari rumah Om dan Tante, batin Vioni.

Setelah beberapa saat mendiamkan ponselnya, Vioni kembali menatap layar ponsel itu. Panggilannya sudah terputus, tetapi di sana ada banyak pesan masuk untuknya. Pesan itu hanya dari keluarganya saja, yang sudah pasti berisi tentang amarah serta makian yang biasa diterimanya.

Terserah kalian mau memarahiku seperti apa, aku akan belajar tidak peduli lagi terhadap kalian, batin gadis itu sambil mematikan ponselnya dan memilih memejamkan mata beberapa saat, sebelum nanti dia akan meminta dokter memulangkannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!