Vioni menghela napas panjang setelah Resa meninggalkannya sendirian. Ada rasa sakit dan lega dalam hatinya yang dia rasakan secara bersamaan. Vioni lega karena Resa tidak banyak bertanya tentang penyakit yang dia derita, tapi di sisi lain dia juga merasa sakit karena Resa benar-benar sama sekali tidak memperdulikannya.
Huh, memang apa yang bisa aku harapkan dari Tante? Bukankah sikap seperti ini sudah biasa dia tunjukkan padaku? Kenapa malah aku sendiri yang merasa sakit hati? tanya gadis itu dalam hatinya.
Vioni pun memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Di sana dia membaringkan tubuhnya di kasur kecil. Ya, Vioni tidak memiliki ruangan kamar seperti milik Vanila di rumah kedua orang tuanya. Bahkan kamar Vioni pun terbilang sederhana di kalangannya karena hanya berisikan kasur berukuran single bed serta meja rias kecil yang merangkap dengan lemari pakaian. Akan tetapi, meskipun seperti itu Vioni tidak pernah protes dan hanya menerima apa yang tante dan omnya berikan.
Langit-langit kamar yang polos serta kipas angin yang menggantung menjadi pemandangannya saat berbaring dalam posisi terlentang. Pikiran gadis itu sedang kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan kedua orang tua kandung serta adik kembarnya. Saat itu dirinya baru berusia delapan tahun, tantenya membawa dia ke sebuah rumah mewah. Di sana Vioni melihat potret seseorang yang sangat mirip dengannya, tetapi dia tidak memiliki tahi lalat di bawah matanya.
"Tante, ini rumah siapa? Kita ada di mana?" tanya Vioni kecil kala itu.
"Kita berada di rumah kedua orang tuamu. Aku mendengar kalau Adik kembarmu sedang sakit parah. Jadi aku memutuskan untuk mengajakmu kemari," jawab Tante Resa tanpa menoleh ke arah di mana Vioni berdiri.
"Orang tua? Apakah aku memiliki orang tua seperti teman-temanku yang lain?" tanya Vioni lagi dengan semangat.
Selama delapan tahun itu, Vioni tidak pernah mengetahui kalau dirinya masih mempunyai orang tua karena baik Clifford maupun Rosa tak pernah ada yang datang ke rumah Resa. Begitu pula dengan Resa yang tidak pernah menjawab pertanyaan Vioni dengan benar kala dia menanyakan di mana keberadaan ayah dan ibunya.
"Iya. Tentu saja kau masih memiliki kedua orang tua. Apa kau pikir mereka sudah mati? Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?"
"Aku tidak pernah berpikir seperti itu, Tante. Bukankah tanpa sendiri yang tidak pernah mengenalkanku pada mereka? Dan ... Tante juga baru mengajakku sekali kemari."
"Ck. Sudahlah. Gadis kecil sepertimu tidak perlu banyak bertanya seperti orang dewasa!"
Saat itu Vioni tidak lagi menjawab ucapan dari sang tante. Dia hanya menunduk sembari memainkan jemari kecilnya di atas pangkuan. Tak lama berselang datanglah kedua orang dewasa yang Vioni ketahui sebagai orang tuanya. Mereka juga membawa seorang anak perempuan yang sangat mirip sekali dengannya.
"Apakah anak ini yang kuberikan dulu padamu?" tanya Rosa saat melihat Vioni yang sedang menatapnya.
"Iya, Kak. Dia anak yang kau titipkan dulu."
Clifford dan Rosa tampak memperhatikan penampilan Vioni. Saat itu penampilan Vioni sangatlah sederhana dan tubuhnya pun tidak terlalu berisi seperti Vanila. Akh, bahkan Vioni sendiri bisa menilai kalau Vanila lebih menggemaskan darinya, padahal mereka saudara identik, tetapi mereka sangat bisa dibedakan.
"Dia terlihat sehat. Baguslah kalau kau bisa merawatnya dengan benar," ucap Clifford kala dia sudah selesai mengamati putri keduanya.
"Iya, Kak. Itu pasti karena aku yang merawatnya dengan benar," jawab Resa. "Oh, ya ... bagaimana kabar keponakanku tersayang ini?" tanyanya lagi sambil membelai pipi Vanila yang berada dalam dekapan ayahnya, Clifford.
"Keadaan vanila sedang tidak baik. Sejak semalam dia mengalami demam dan baru turun tadi pagi. Akhir-akhir ini dia juga sering batuk," jawab prosa sembari mengusap kepala putrinya dengan sayang.
Saat itu Vioni hanya bisa menatap iri perlakuan manis yang ditunjukkan oleh tantenya pada gadis kecil yang dia ketahui sebagai adik kembarnya. Begitu pula dengan kedua orang dewasa yang mengelu-elukan Vanila. Sejak itu pula Vioni selalu dibanding-bandingkan dengan Vanila dan Vioni pembenci hal itu tetapi tidak bisa membantahnya.
Vioni langsung sadar dari lamunannya. Mau seperti apapun dia saat ini, ini adalah takdir kehidupan yang harus dijalaninya.
Akh, pertemuan itu sudah terjadi sekitar 12 tahun lamanya. Tetapi kenapa aku masih tidak bisa melupakan hal itu? Kenapa rasa sakitnya masih sama seperti dulu? gumam Vioni yang bertanya pada dirinya sendiri.
Saat Vioni masih sedang mengistirahatkan tubuhnya, tiba-tiba suara dering ponsel miliknya terdengar dari dalam tas yang dia bawa tadi. Dengan gerakan malas gadis itu bangun dan segera menjawab panggilan tersebut tanpa melihat ID sang pemanggil.
"Halo ini siap–"
"Kak Vio, ini aku, Vanila. Bisakah kita bertemu sore ini?"
Ternyata yang menghubungi Vioni adalah adik kembarnya, Vanila. Untuk berkatama kalinya setelah beberapa bulan lalu, adik kembarnya itu menghubungi dia.
"Ada perlu apa? Katakan saja di sini!"
"Tidak. Aku hanya ingin bertemu dengan Kakak!" pinta gadis itu.
"Apakah kau sudah meminta izin pada kedua orang tuamu? Aku tidak mau sampai mereka salah paham dan mengira aku yang memintamu untuk bertemu untuk lebih dulu."
"Kakak, mereka orang tua kita. Tidak seharusnya kau mengatakan dia hanya orang tuaku!" tegur Vanila yang langsung membuat Vioni tersenyum.
Orang tuaku? Akh, iya ... aku lupa kalau aku juga dilahirkan oleh mereka, batin Vioni. Akhirnya dia lebih memilih untuk diam sambil menanti jawaban yang akan diberikan Vanila. Bukan tanpa dasar Vioni bertanya seperti itu pada adik kembarnya, tapi dia dulu pernah mengalami kejadian di mana Clifford dan Rosa tiba-tiba memarahi dan menyalahkannya karena Vanila pulang ke rumah dengan keadaan demam. Padahal, saat itu adiknya lah yang meminta untuk bertemu.
"Kak, apa kau masih di sana?"
"Ya. Aku masih menunggu jawabanmu!"
"O–oh. Aku ... aku belum izin pada Ayah dan Ibu karena mereka pasti tidak akan memperbolehkanku untuk menemuimu," jawab Vanila dengan gugup.
Sudah bisa ditebak oleh Vioni kalau nggak dikembarnya itu pasti tidak akan membicarakan hal ini pada kedua orang tuanya.
Menghela napas panjang, akhirnya Vioni pun berkata, "Kalau kau tidak meminta izin pada mereka, maka aku tidak akan menyetujui permintaan."
"T–tapi, Kak–"
"Tolong jangan buat aku dalam kesulitan!" ucap Vioni sebelum ia memutuskan sambungan panggilannya secara sepihak. Dia tidak peduli kalau di seberang sana Vanila akan marah terhadapnya.
Gadis itu pun kembali menyimpan ponselnya dengan sembarangan di atas kasur dan menutup matanya dengan sebelah tangan. Hingga sebuah suara tiba-tiba membuatnya terkejut.
"Seperti itukah caramu memperlakukan saudara kembarmu sendiri?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments