Malam ini, Laras tidak bisa tidur. Besok adalah hari minggu, hari pertama dia dan adiknya akan menempati kamar baru tidak berbagi kamar lagi dengan Azka dan Ruly. Mata laras menerawang jauh keatas langit. Melihat gugusan bintang yang telah membentuk rasi-rasi bintang.
Tiba-tiba Laras tersentak tatkala dia melihat rasi bintang itu berubah menjadi sebentuk wajah almarhumah Ibunya yang sedang tersenyum padanya. Setitik air jatuh dari sudut matanya.
“ Ibu..” panggilnya lirih.
Teringat semua masa lalunya hingga dia sampai berada di rumah ini.
“ Ibu.. Ibu.. benar. Dulu Ibu selalu bilang kalo Allah sayang sama kita. Dia gak akan membiarkan kita terpuruk lebih lama lagi kalo kita mau berusaha bangkit. Dan Ibu juga benar, kalo Allah sudah mengatur rizky kita. Dan rizky itu selalu datang dari arah yang gak kita duga...” kata Laras dalam hati.
Sebuah tepukan lembut dibahunya membuat dia terlonjak kaget.
“ Azka...!!” serunya lalu dengan cepat menghapus air matanya.
Azka duduk disampingnya memandang Laras sejenak.
“ Ada apa sich..?” tanya Laras risih dipandang seperti itu oleh Azka.
“ Kamu jujur dong sama aku...” pinta Azka dengan tanpa mengalihkan pandangannya.
Laras menyadari kalo Azka sedang mencurigai sesuatu, Laras berusaha mengalihkan pembicaraan.
“ Kok belum tidur sich..?”
“ Gak usah mengalihkan pembicaraan. Kamu belum jawab pertanyaanku.”
Mendengar ketegasan Azka, Laras tersenyum kecut. Dia hanya menunduk.
“ Apa yang harus jujur..? aku gak lagi bohong kok.”
“ Tuh bohong..”
Laras menatap Azka. Dan sebaliknya, namun karena Laras memang sedang menyembunyikan suatu beban akhirnya dia yang menunduk lagi.
“ Ada apa sich Ras..” ulang Azka.
Laras masih belum mampu untuk bicara, dia semakin menunduk. Hanya untuk menyembunyikan air matanya dari Azka. Bergetarnya bahu Laras cukup menyadarkan Azka bahwa Laras memang sedang menyembunyikan sesuatu bahkan dia sekarang telah menangis.
Azka mengelap air mata Laras dengan jemarinya, membuat Laras menoleh. Entah karena apa tapi yang jelas, Laras ingin sekali memeluk Azka. Tapi keinginan itu ditepisnya. Dia masih merasa rendah diri, seorang pengamen...
“ Dengan kamu menangis seperti ini, udah cukup bisa membuktikan kalo kamu lagi nyimpen sesuatu,Ras. Kenapa sich kamu gak mau cerita ke aku? Kamu masih belum bisa mempercayai aku..? kalo kamu bisa menganggap Ibu sebagai Ibu kamu sendiri. Kenapa gak bisa anggap aku saudara kamu..?!
udah lama aku perhatiin kamu, bahkan dari awal kita ngobrol dulu aku udah sadar kalo kamu ada beban. Tolonglah beri aku sedikit aja kepercayaan untuk jadi tempat berbagi beban itu.”
Laras semakin tersedu. Dia hanya gak ingin merepotkan keluarga Azka lagi. Dengan diberi kesempatan untuk merasakan kembali apa arti sebuah keluarga, itu sudah merupakan anugerah besar buatnya.
“ Masih belum mau ngomong.?” Tanya Azka saat dilihatnya Laras masih belum mulai bicara.
“ Maaf, Ka. Aku tahu niat kamu baik. Tapi sungguh aku gak bisa.. dengan menceritakan ini sama saja dengan membuka luka lama yang ingin aku lupakan. Aku gak mau merepotkan kalian lagi. Dengan kalian memberikan kesempatan padaku dan pada Joe untuk bisa merasakan kembali sebuah arti keluarga, itu sudah menjadi anugerah terbesar buat aku.”
“ Tapi itu bukan jadi alasan untuk larut dalam luka itu,Ras. Ingat, kamu punya Joe.. dan sekarang kamu punya Ibu, ada aku dan juga mas Ruly. Kalo kamu kayak gini terus, ini gak adil! Apa arti keluarga..? tempat berbagi kan..??”
“ Aku belum sanggup, Ka. Terlalu pahit.. aku mohon..”
“ Aku gak mau dengar, aku gak tega liat kamu kayak gini terus..”
Laras terdiam. Seolah berfikir keputusan apa yang ingin dia ambil sekarang.
“ Baiklah. Tapi tolong jangan pernah berubah sikap padaku ataupun Joe..”
“ Aku janji..!!” tegas Azka pasti.
Laras menghela nafas, serasa ingin mengumpulkan keeberaniannya selama ini.
“ Kalian gak pernah sempat menanyakan kenapa orang tuaku meninggal. Karena itu, aku berusaha untuk tetap menutupinya.”
“ Karena bagi kami itu hanya akan membuat kalian sedih. Dengan kamu mengatakan kalo wajah Ibu mirip dengan almarhumah Ibu kamu aja Ibu udah sedih. Apalagi harus menanyakan lebih lanjut. Kami gak tega, Ras.”
Laras mengangguk sembari tersenyum.
“ Ibu, memang sudah meninggal. Tapi Ayah....”
Laras terdiam, tangannya gemetaran. Seolah menahan gejolak amarah dan beban yang tidak kuasa lagi dia tahan.
“ Ayah kamu kenapa...”
“ Ayah.. Ayah... Ayahku masih hidup, Ka.”
Azka tersentak. Kemudian dia teringat waktu Laras bilang ada walinya tapi dia telah lupa dimana dia tinggal. Dan kegugupan Laras waktu itu apakah ada hubungannya..? pikir Azka.
“ Yang kemarin waktu mas Ruly tanya ada wali kamu itu, yang kamu maksudkan adalah ayah kamu, Ras?”
Laras mengangguk lemah, terlihat senyuman getir tersungging dari bibirnya.
“ Lalu kenapa kalian bilang kalo orang tua kalian udah...”
“ Udah meninggal..??” selanya yang dijawab anggukan oleh Laras.
“ Karena aku benci ayahku, Ka..”
“ Astaghfirullah...”
Laras tersenyum mendengar pekikan Azka. Dia tahu Azka akan kaget mendengarnya ataupun bila nanti dia merasa muak pada dirinya, dia siap pergi tapi asalkan Joe tetap disini. Agar bisa mendapatkan kasih sayang bukan kebencian seperti dirinya.
“ Kenapa bisa seperti itu, Ras..?”
“ Kamu gak tahu apa yang dia lakukan, Ka. Kalo kamu tahu, aku yakin kamu akan menyesal dengan rasa simpatimu itu.”
Azka bergidik. Menurutnya Laras adalah gadis yang kalem.
Sebenernya wataknya gak jauh berbeda dari dia. Mungkin yang membedakannya adalah, Azka lebih ceria sedangkan Laras seorang yang pendiam. Lalu bagaimana bisa dia berkata dengan geram seperti itu seolah kebencian itu telah mendarah daging dalam dirinya.
“ Ada apa, Ras. Apa yang telah dilakukan oleh ayahmu?”
Laras kembali sesenggukan. Azka mendekap saudara barunya itu.
“ Ka.. aku gak sanggup ngomongnya..” katanya disela tangisnya.
“ Aku ambilin minum dulu ya. Biar kamu tenang.” Kata Azka sambil beranjak, tapi tangan Laras mencegahnya kemudian mendudukkan Azka kembali.
“ Gak usah.. Aku gak apa-apa kok. Makasih !” ujarnya parau.
“ Bener gak apa-apa..?? Mungkin emang terlalu berat buat kamu ceritain ya? Kalo memang kamu belum siap kita lanjutin ngobrolnya besok aja ya..”
Laras menggeleng. Kemudian memberikan segelas teh hangat pada Azka.
“ Tadi aku bawa dua gelas. Aku pikir yang kesini tadi Joe.”
“ Terima kasih.” Ucap Azka sambil minum. Laras menghela nafas lagi.
“ Maaf ya.. mungkin ekspresiku tadi keterlaluan.”
Laras mulai membuka obrolan. Azka hanya mengangguk faham. Kemudian keduanya sama-sama minum teh hangatnya.
“ Ayahku... Ayahku... Aku... A.. Aku.. Per.. “
Laras tiba-tiba tidak mempunyai kekuatan, yang keluar malah kata-kata yang hanya sepotong. Azka memandang Laras yang berusaha mati-matian untuk mengatakan bebannya selama ini.
“ Ayah.. Ayahku... “
“ Udah... Udah.. Gak usah dipaksain kalo memang berat. Kamu malah buat aku gak tega kalo gini terus. Tenangin dirimu dulu aja ya... Besok kita...”
“ Aku pernah diperkosa ayahku...” sela Laras lirih, namun terdengar jelas ditelinga Azka.
Kalimat itu membuat tulang-tulang persendian Azka seolah terlepas. Gelas yang dipegangnya jatuh ke lantai, pecah..! seperti hatinya yang tersayat karena merasa bersalah pada Laras.
Ternyata beban itu...
Azka tak mampu lagi berkata, air matanya pun ikut mengalir sederas air mata Laras saat ini. Spontanitas dia langsung memeluk Laras. Mereka saling berpelukan dan bertangisan.
Rasanya Azka sekarang seperti bisa merasakan kepedihan dan luka yang dirasakan Laras.
“ Maaf....Maaf....” ucap Azka parau disela tangisnya.
Laras melepaskan pelukannya, kemudian tersenyum getir padanya kemudian menggeleng pelan.
“ Gak apa-apa... Aku yang makasih udah dengerin aku... Hatiku serasa sedikit ringan sekarang. Ini yang aku simpen selama ini.”
Azka menghapus air matanya. Diapun tersenyum getir...
“ Joe... Tahu tentang hal ini?”
Laras menggeleng cepat.
“ Tolong jangan sampai Joe atau siapapun tahu hal ini. Aku mohon.”
Azka mengangguk cepat.
“ Ya Allah Laras... kalo itu aku... ahh... entahlah!”
Laras kembali hanya bisa tersenyum getir.
“ Maaf, Ras. Tapi bagaimana itu bisa terjadi? Apa waktu itu dirumah sedang tidak ada orang? Sampai ayahmu jadi khilaf seperti itu.”
“ Bukan khilaf kalo menurutku, Ka. Karena Ayah emang dasarnya suka main perempuan. Dulu waktu aku SMP, Ayah pernah membawa wanita kerumah tanpa sepengetahuan Ibu. Waktu itu Ibu masih mengantarkan Joe sekolah. Aku bertanya pada Ayah tapi dia hanya bilang teman.
Kalo kamu jadi aku, apa kamu akan percaya seorang teman itu, adalah perempuan yang berpakaian minim, dengan terus menerus menggandeng tangan Ayah. Muak aku dengan Ayah saat itu juga. Meski waktu itu, aku masih dua SMP, tapi aku udah bisa menilai mana yang sekiranya itu baik atau gak..
Aku keluar dari rumah, kerumah temanku. Dan herannya lagi, saat pulang aku udah menyaksikan Ayah sedang merayu Ibu untuk memenuhi nafsunya. Mungkin dia punya kelainan ****, karena selalu tidak puas. Budak ****..! Budak setan..!”
Laras menghela nafas, Azka hanya mendengarkan dengan kengerian yang luar biasa, merasa ikut jadi muak. Laras memang benar, simpati itu tidak pantas ditujukan untuk Ayahnya.
“ Dan... Waktu itu..”
Laras kembali terisak.
“ Aku sedang belajar, saat Ibu pamit ikut pengajian dirumah tetangga. Dan gak berapa lama kemudian, dia tiba-tiba masuk dan menyergapku dari belakang... merobek-robek baju yang aku pakai, perangai yang sama sekali sangat membuatku takut.. aku udah berkali-kali berusaha untuk berteriak tapi udah berkali-kali itu pula telapak tangannya mendarat dipipiku, Ka...!!”
Azka mendekap Laras dan mengusap bahunya lembut untuk memberikan sekedar dukungan padanya untuk tetap kuat, meskipun dia sekarang pun sedang menangis.
“ Aku gak tahu apa dia sudah mengambil mahkotaku atau belum. Tapi yang jelas, antara sadar dan tidak. Aku mendengar jeritan Ibu dan suara kayu balok serta rintihan dan pekikan Ayahku yang meminta ampun. Aku ingin bangkit, untuk melihat apa yang terjadi. Tapi aku gak bisa, semua badanku terasa lemas, sakit, perih, entahlah... perasaan apalagi saat itu yang ku rasakan. Untung saja waktu itu, Joe sedang kerumah temannya karena ada tugas kelompok.
Waktu aku sadar, aku sudah berada di RS dengan Ibu yang sudah menangis disampingku. Berkali-kali meratapi nasibku dan meminta maaf padaku. Entahlah.. aku merasa telah hampa. Aku seperti mati rasa, gak bisa lagi menangis. Lidahku terasa kelu, bahkan untuk menenangkan Ibuku sendiri aku gak sanggup. Mungkin karena jiwaku pun tengah terguncang.”
Azka memberikan minuman Laras, agar dia lebih tenang. Entah berapa banyak air mata yang telah tumpah pada malam ini. Malam yang teramat sangat mengerikan bagi Azka, dan semoga ini hanya mimpi buruk saja.
Ketakutan Laras pada saat masa depannya yang suram karena terenggut oleh Ayah kandungnya sendiri, berkali-kali membuat Azka bergidik.
“ Karena kebisuanku ini, Ibu menganggap aku gak mau memaafkannya. Padahal, sungguh demi Allah, Ka. Aku benar-benar gak sanggup untuk bicara, aku masih shock!
Pihak RS mengusahakan yang terbaik untukku, lambat laun aku mulai membaik. Tapi kondisi Ibu yang memburuk hingga tepat satu hari setelah kami benar-benar bicara setelah sekian lama, Ibu meninggal. Aku ngerasa bersalah pada Ibu. Ibu hanya berpesan agar mendidik Joe menjadi anak yang berguna, tidak mengikuti jejak Ayahnya.”
“ Karena itu,aku memilih meninggalkan rumah dengan Joe tanpa sepengetahuan siapapun. Dan kami lebih memilih hidup miskin dan kumal agar Ayah gak bisa menemukan kami. Karena sampai kapanpun, aku gak akan pernah bisa memaafkan Ayahku.”
Azka menghapus air matanya. Berharap itu adalah air mata terakhir yang keluar.
“ Apa karena itu juga, kamu jadi gugup waktu ketemu dengan mas Ruly waktu pertama kali dulu? “
Laras menganguk.
“ Trauma itu masih membekas, Ka. Setiap kali aku dan Joe melewati warung-warung yang banyak laki-laki aku hanya menunduk. Takut, bila salah seorang dari mereka adalah informan Ayahku.”
“ Lalu kenapa Joe bilang Ayahnya meninggal?”
“ Waktu itu, aku bilang kalo Ayah pergi keluar kota, dan pesawat Ayah mengalami kecelakaan dan mayat Ayah gak pernah ditemukan karena terbakar didalamnya.”
“ Dan sampai saat ini Joe masih percaya?”
“Azka, waktu itu Joe masih SD. Dia masih belum bisa memahami sesuatunya. Terkadang bila dia cerita ke teman-temannya dengan mengatakan kalo Ayah udah meninggal, hatiku sakit. Aku gak tega melihat dia tumbuh menjadi seorang yatim piatu, padahal dia masih punya Ayah. Bagaimanapun ini permasalahan pribadi antara aku dan Ayah, aku gak mau Joe jadi ikut-ikut membenci Ayah.”
Azka mengangguk-angguk lega..
“ Entahlah, Ras. Aku jadi speechless gini. Aku gak tahu harus bilang apa. Sekali lagi kalo itu terjadi sama aku, aku gak tahu apa aku masih bisa bertahan setegar kamu.”
“ Kamu terlalu berlebihan. Aku gak setegar itu.”
“ Maaf, Ras. Tapi apa kamu gak pernah cek selaput darah kamu ke RS?”
“ Pernah terfikir seperti itu, Ka. Tapi kemudian aku tepis lagi fikiran itu.”
“Kenapa..? apa kamu gak mau tahu, kamu masih perawan atau gak?”
“ Iya kalo aku masih perawan.. Kalo ternyata gak..?? Mau hati yang sebelah mana yang akan aku campakkan ?? semuanya udah hampa, Ka.”
“ Aku salut sama kamu, Ras.”
Laras menunduk menyembunyikan kegetirannya.
“ Udah tengah malam.. Ayo kita tidur.. Nanti kita sendiri yang kesiangan.” Seru Laras diikuti anggukan oleh Azka.
Mereka sama-sama beranjak kekamar, setelah membersihkan pecahan-pecahan gelas yang dijatuhkan Azka tadi.
Tanpa mereka sadari enam pasang mata pun telah basah mendengar cerita Laras tadi.
Mata itu adalah milik Bu Suci, Ruly dan Joe.. setelah kepergian mereka berdua kekamar, barulah tangan Joe dilepaskan oleh Ruly. Sedang, tangan Ruly yang satunya ditarik dari mulut Joe. Karena sedari tadi memaksa untuk keluar untuk meminta penjelasan pada kakaknya.
“ Maaf ya Joe...” pinta Ruly menyesal.
Joe hanya menggeleng, dia terduduk lemas. Kakaknya yang selama ini selalu menceritakan kebaikan-kebaikan Ayahnya saat masih hidup ternyata mempunyai luka sedalam itu. Parahnya luka itu karena Ayahnya...
“ Joe.. Kamu gak apa-apa, Nak?” tanya Ibu sembari membungkuk kearah Joe.
“ Joe, gak tahu harus gimana, Bu.”
“ Kamu bener mau bantu mengurangi beban mbakmu dan sedikit menyembuhkan lukanya?” tanya Ruly sembari menepuk pundak Joe.
Dipandanginya Ruly dengan seksama.
“ Caranya gimana, Mas?”
“ Kamu harus bisa sukses..! Harus bisa membuktikan pada Ayahmu kalo mbakmu bisa mendidikmu menjadi orang yang sukses tanpa campur tangan Ayahmu.”
Bu Suci tersenyum mendengar penuturan Ruly.
“ Gimana nak? Kira-kira kamu sanggup gak melakukan cara yang dikatakan masmu tadi?” tanya Bu Suci memberikan semangat.
Joe mengangguk pasti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments