Di dalam mobil Dena masih terlihat ketus, hari ini mereka gagal mendapatkan pekerjaan.
Talisha yang duduk di depan samping Dena menyandarkan pundaknya di kursi.
"Sepertinya aku harus mengganti pekerjaan lain," ujar Talisha.
"Kau mau bekerja apa?" Dena bertanya sembari menyetir.
"Aku akan membuka toko pakaian saja," jawab Talisha asal.
"Kau tidak salah? Lalu kami mau kau kemanakan? Karyawanmu ada delapan orang, kau ingin memecat kami?"
"Jika kalian ingin bekerja bersamaku dengan gaji tak seperti biasanya, tidak masalah bagiku," jawabnya.
"Kau ingin membuka toko, uang dari mana?"
"Aku masih mempunyai tabungan, cukup untuk menyewa ruko, membeli beberapa lusin pakaian dan menggaji kalian bulan ini."
"Lisha, aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Entah kenapa tiba-tiba saja karir yang kau bangun hancur seketika dalam seminggu ini?" masih bertanya-bertanya.
"Aku juga tidak tahu, itu semua karena pria licik yang kau tawarkan," celetuk Talisha.
"Aku tidak tahu, jika dia pria jahat. Wajahnya cukup membuat ku yakin kalau dirinya seorang produser," jelas Dena.
"Apa kau masih tahu nomor kontaknya?" tanya Talisha.
"Masih," jawab Dena.
"Berikan padaku?" pintanya.
Dena menyerahkan ponselnya kepada sahabatnya. "Aku memberikan nama kontaknya penipu!"
Talisha pun mencoba menekan nomor pria itu dan menghubunginya.
"Bagaimana?"
"Tak aktif, sepertinya dia mengganti nomor ponselnya," tutur Talisha.
"Sudah ku duga," ujar Dena.
"Awas saja, kalau aku berjumpa dengannya. Dia harus bertanggung jawab!" geramnya.
"Ya, aku akan membantumu menghajarnya.
...----------------...
Seminggu kemudian....
Seluruh tabungan Talisha telah diambil. Ia juga sudah membayar gaji karyawan.
Talisha dan manajernya itu menggelilingi kota mencari ruko untuk memulai usahanya. Tiga jam berputar-putar akhirnya ketemu tempat yang pas dan cocok.
Berbagai jenis pakaian telah Talisha pesan dan siap untuk dijual kembali.
Talisha tersenyum lega, akhirnya sedikit lagi toko yang menjadi harapan dirinya mencari nafkah terealisasikan.
Talisha menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, ia bisa tidur dengan nyenyak setelah 2 minggu yang terlalu besar untuknya.
Baru beberapa jam memejamkan matanya beristirahat di malam hari. Suara ponselnya berdering berulang kali. Ia pun terbangun dan menjawab panggilan tersebut.
"Halo, ada apa?"
"Aku malas untuk meneleponmu kalau bukan Mama yang menyuruhku," jawab seorang gadis dari kejauhan.
"Cepat katakan, jangan terlalu banyak bicara!"
"Kakek kesayanganmu sakit, jadi pulanglah!"
"Apa!" Lisha tampak terkejut.
"Ya, dia selalu memanggil namamu. Aku sungguh bosan mendengarnya," ujarnya.
"Baiklah, nanti pagi aku akan ke sana!" Lisha melihat jam dinding masih di angka 4. Ia lalu menutup panggilan teleponnya.
Karena sudah terbangun, Talisha tak bisa tertidur lagi. Ia membuka sosial media miliknya, berita yang memfitnah dirinya masih berseliweran.
"Aaarrrghhh......." Talisha menjambak rambutnya.
"Brengseeekk......!" melempar gelas ke sembarang arah.
Mendengar suara pecahan gelas, membuat Dena keluar dari kamarnya. Wanita itu berlari mendekati Talisha yang sedang memeluk lututnya dengan rambut acak-acakan.
"Lisha..." panggilnya lirih.
Talisha mendongakkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca menatap sahabatnya.
Dena lantas memeluk Talisha, "Apa yang terjadi?"
"Berita itu masih ada, apa belum puas mereka menyiksaku?" Talisha meneteskan air matanya.
"Aku sudah katakan, jangan pernah membuka media sosialmu lagi!"
"Aku pikir mereka sudah melupakannya," ucapnya terisak.
"Sudah, jangan menangis lagi. Kau pasti kuat menghadapinya," nasehat Dena.
"Kau tidak akan meninggalkanku, kan?"
"Tidak, Lisha. Aku akan tetap bersamamu," jawab Dena.
Lisha melonggarkan pelukannya, menyeka air matanya.
"Kenapa jam segini kau bangun?"
"Ghea menelepon dan mengabarkan kalau kakek sakit keras," jawabnya.
"Kapan kau akan ke sana?"
"Setelah sarapan pagi, ku akan berangkat.
"Apa perlu aku temani?"
"Tidak, kau urus saja toko kita. Dua hari lagi akan dibuka," jawabnya.
"Baiklah, kalau begitu."
...----------------...
Pagi harinya, Talisha mengendarai mobilnya sendiri pergi ke kediaman kakeknya. Begitu sampai rumah berlantai 4 dengan lift di dalamnya, ia melangkah ke kamar pria tua yang kini berusia 70 tahun.
"Kenapa kau baru datang? Dasar cucu nakal!" omelnya terbatuk-batuk.
"Kakek, berhenti memarahiku. Kalau tak ingin aku kabur lagi!" ancam Talisha dengan nada bercanda.
"Baiklah, Kakek tidak akan memarahimu. Bagaimana dengan kehidupanmu di luar sana?"
"Ya, begitulah."
"Lisha, kau adalah cucuku satu-satunya. Perusahaan itu milikmu, kau harus menjalankannya," ujar Kakek.
"Kek, aku tidak mau bertengkar dengan Mama. Setahun ini sudah cukup membuatku tenang tanpa harus mendengarnya marah-marah," Talisha menundukkan kepalanya.
"Lidya itu hanya ibu tiri," ucap Kakek.
Dengan cepat Talisha memotong ucapan, "Tapi, Mama Lidya yang telah merawat dan menyayangiku dari bayi."
"Tapi, sikapnya sejak menikah dengan suami keduanya membuat Kakek tak suka."
"Kek, Mama dan Papa tidak pernah membedakan aku dengan Ghea. Apa yang ku mau selalu mereka berikan, kecuali perusahaan."
"Apa kau tidak curiga dengan mereka?"
Talisha tertawa tipis, "Percuma jika aku yang menjalankan perusahaan, ku tak mengerti tentang bisnis."
"Kamu bisa belajar, Lisha."
"Kek, aku ke sini bukan berbicara mengenai perusahaan jadi berhentilah membicarakannya. Ku hanya ingin menjenguk dan bercerita tentang kondisi Kakek," ujar Talisha.
Kakek pun mengangguk paham, cucunya tidak akan mau berlama-lama membahas perusahaan.
-
Selesai makan siang, Talisha hendak ke toko. Baru saja memegang handle mobil, ponselnya berdering. Ia lantas mengangkat dan menjawabnya.
"Halo, Dena!"
"Lisha, pemilik ruko tiba-tiba membatalkan sewa kita."
"Apa? Bukankah kita sudah membayar lunas untuk setahun ke depan?" tampak terkejut.
"Aku juga tidak mengerti, kemarilah!" pintanya.
"Baiklah, aku akan ke sana."
Mobil melesat ke alamat toko pakaian miliknya.
Dengan langkah tergesa-gesa, ia turun dan menghampiri Dena.
Beberapa pakaian tampak sudah tersusun rapi di gantungan.
Lisha lantas berbicara kepada pemilik ruko. "Tuan, kita sudah melakukan kesepakatan. Kenapa memutuskan pembatalan secara mendadak begini?"
"Maaf, Nona. Ruko ini milik keluarga besar, saya tidak tahu jika tempat ini telah disewakan kepada orang lain oleh kakak saya."
Lisha tampak sangat kecewa. "Kemana lagi saya harus mencari tempat? Kami juga sudah mengecat ulang tembok dan memperbaiki sudut ruangan ini."
"Saya akan mengembalikan uang Nona utuh sekaligus biaya yang telah anda keluarkan untuk ruko ini."
"Bukan masalah uang, tapi kesepakatan yang sudah kita setujui."
"Sekali lagi saya mohon maaf, Nona."
Lisha menarik nafas dalam-dalam lalu ia hembuskan secara kasar.
"Saya akan kirimkan kembali uang Nona," ujar pria itu.
Lisha hanya bisa pasrah, ia lalu memberikan nomor rekening miliknya.
"Tuan, kami minta waktu untuk membereskan barang-barang ini dan mencari tempat baru," ujar Dena.
"Ya, saya akan berikan waktu kalian dua hari."
"Baiklah, tidak masalah. Terima kasih," Lisha memaksakan tersenyum.
Pria itu pun pergi.
Lisha terduduk, tampak wajahnya yang frustasi.
"Lisha yang sabar, ya!" Dena menguatkan.
Lisha mengangguk dan tersenyum tipis.
...****************...
Hai semua, ini karyaku yang kesembilan dan ini lanjutan kisah 'Marsha Milik Bara'.
Semoga kalian suka ...
Selamat Membaca 🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments