Maura masih menunduk. Ia bingung harus jujur atau tidak kepada lelaki yang ada di depannya. Fakta membuktikan, lelaki di hadapannya ini adalah lelaki yang telah merenggut keperawannya.
Panji terus merayu Maura untuk bicara jujur.
"Ceritakan saja. AKu tidak akan marah. bnera lelaki tua tadi itu Ayahmu?" tanya Panji dari hal yang mudah untuk Maura jawab.
Maura mengangguk kecil.
"Dia ayah tiriku," jawab Maura dengan suara pelan dan sedikit takut untu jujur.
"Oke. Lalu? Ini Penjebakan? Kamu di bayar berapa oleh Brian untuk bersamaku malam ini?" tanya Panji yang langsung to the point.
Maura langsung mengangkat wajahnya dan menatap lekat wajah tampan yang ada di depannya. Urusan uang, Maura sama sekali tak tahu menahu. Ia hanya di suruh oleh Ayahnya untuk masuk ke kamar ini dan memakai pakaian memalukan yang hanya seperti jaring laba - laba, dan bahkan pagi ini pakaian mesum itu pun juga sudah terlepas dari tubuhnya.
"Kenapa tak kau jawab? Malah menatapku seperti itu? Tinggal jawab saja. Aku sudah janji tidak akan marah," ucap Panji mencoba tenang dan terlihat santai.
"Maaf. Soal itu aku tidak tahu," jawab Maura sambil meremat sprei yang ada di sebelahnya. Terlihat noda darah merah seperti bercak darah yang warnanya tidak teralu pekat. Tapi Panji cukup tahu tentang itu.
Lirikan mata Panji beralih.
"Kamu masih perawan Maura?" tanya Panji lirih.
Maura hanya menunduk. Percuma menangis juga, toh semuanya sudah terjadi. Mungkin keduanya menikmati di bawah alam sadar mereka.
"Iya Tuan," jawab Maura lirih. Air mataya sudah berhenti turun.
Panji mengusap wajahnya dengan kasar menggunalan kedua teapak tangannya. Ia benar - benar tak mengingat kejadian tai malam.
"Huftt ...." desis Panji sambil mengehembuskan napasnya dengan kasar.
"Maafkan aku, Maura. Jujur, aku tak mengingat apapun tentang malam tadi. aku hanya ingat ...." ucapan Panji terhenti sejenak. Ia ingat, mengingat desah Maura yang mmebuatnya terpuaskan saat itu dan noda darah itu menjadi bukti bahwa Maura memang gadis yang masih perawan.
"Buka salah Tuan. Mungkin, ini sudah jalan hidup Maura. Maura harus pergi dari sini," ucap Maura pelan.
Ia bahkan tidak tahu akan kemana lagi. Untuk kembali kepada Ayah tirinya sepertinya tidak mungkin. Maura cukup sadar, dengan kejadian ini, Ayah tirinya bukanlah orang baik. Ia dengan sengaja menjual Maura demi kepentingannya sendiri bukan untuk membayar hutang sebagai biaya Ibunya saat itu berobat sakit.
Saat Maura berdiri, ia sengaja melepas selimut yang ada di kasur dan berusaha meraih handuk yang agak jauh dari tempatnya. Namun tangan Maura langsung di tarik oleh Panji. Sebagai lelaki normal, Panji tak kuasa melihat tubuh polos yang jelas ada di depan matanya.
Maura pun terjatuh tepat di pelukan Panji yang sudah berdiri dan sengaja menangkap Maura.
"Kamu telah menjadi milikku Maura," ucapa Panji kemudian.
Degub jantung Maura pun jelas teraa kencang sekali. Ia bnear - benar gugu dan napasnya memburu. Belum pernah Maura merasakan hal seperti ini sebelumnya.
"Apa maksud Tuan?" tanya Maura dengan tergagap. Napasnya tak beraturan karena Maura harus mengontrol detak jantungnya yang seakin lama semakin keras.
Aroma wangi tubuh Panji begitu khas sekali. Harumnya sungguh enak dan melekat jelas di indera penciuman Maura. Atau mungkin memang Maura t pernah mengenal lelaki se -dekat ini jadi hatinya begitu was -was terjebak antara suka, kagum dan nafsu.
"Maafkan aku yang telah merenggut kegadisanmu, Maura. Kamu milikku, dan aku tidak memperbolehkan kamu untuk di miliki yang lain. Kamu paham dengan maksudku, bukan?" tanya Panji pelan sambil memeluk Maura dan mengusap lembut rambut hingga punggung mulus gadis itu.
Elusan Panji tak hanya pelan dan lembut, namun jari - jarinya sengaja menjejakkan rasa geli nan nikmat di tubuh Maura. Mungkin kejadian tadi malam, mereka tak mengingat apapu. Setidaknya Panji ingin mengulangnya kembali dalam keadaan sadar.
Tubuh polos keduanya menempel begitu saja tanpa halangan hingga seluruh lekukan tubuh teras bergesekkan dengan tubuh yang lainnya. Dan itu ... Tentu memiliki sensasi tersendiri bagi keduanya. Maura yang belum pernah sama sekali melakukan hal itu, dan penasaran. Berbeda dengan panji, yang sudah sering melakukan itu dengan tunangannya, Anetha. Gadis agresif yang di jodohkan pada dirinya.
"Maura tidak paham," jawab Maura yang mulai asal.
Bibir Panji mulai menjelajah di leher mulus Maura. Satu kecup dua kecup, dan meninggalakan jejak merah di sana. Tak hanya itu satu tangan Panji masih menyangga punggung Maura, dan satu tangannya lagi sudah mulai bergerilya menjamah semua daerah yang membuat Panji sedikit candu.
"Eumhh ...." satu leguhan nikmat berhasil lolos dari bibir Maura membuat Panji pun semakin bersemangat.
Tubuh Maura pun langsung di rebahkan di kasur. Tak banyak waktu membuat Maura yang sudah mulai basah dan penasaran semua kejadian terulanglagi.
Bibir keduanya telah menyatu. Maura yang hanya diam pun mulai berani merespon, dan mencoba membalas seperti apa yang di lakukan Panji.
Panji mengehentikan semuanya dan menatap Maura dengan lekat. maura sudah terlihat sangat ingin sekali.
"Aku ingin mandi. Aku harus bekerja sekarang," ucap Panji lirih tepat di dekat telinga Maura yang sudah ingin di ubun - ubun itu. Maura tersenyum tipis. Kecewa tentu saja iya, seluruh tubuhnya sudah terangsang dan berdenyut, dan dengan mudahnya Panji bilang ingin menyudahi semuanya dan ingin mandi untuk segera ke kantor.
Satu kecupan itu mendarat di bibir Maura. Tubuh Panji masih mengungkung rapat tubuh Maura. Sekilas terlihat juga, tonkat ajaib Panji yang sudah siap menerjang pun sepertinya akan kecewa berat jika tak sampai di ujung lubang.
"Tuan ....." panggil Maura lirih saat Panji beringsut turun dari ranjang.
"Apa?" tanya Panji penuh rti. Ia tahu, Maura sudah tidak kuat menahannya. Panji jhanya ingin Maura pun ikut menikmati, ikut menginginkan agar keduaya bisa sama - sama melepas secara bersamaan.
"Apa benar yang Tuan ucapkan tadi?" tanay Maura tiba - tiba menatap lekat Panji yang juga menatapnya.
Maura lebih muda, lebih cantik dan lebih menggairahkan dari pada Anetha yang selalu ingin mendominasi. Panji kurang suka dengan wanita yang selalu pegang kendali.
Panji tersenyum tipis.
"Kalau kau bisa menuruti aku, kenapa tidak?" ucap Panji dengan pelan.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Maura kemudian. Maura tak punya pilihan lain lagi, setidaknya saat ini Panji tak sedikit pun bermaksud menyakitinya.
"Aku ingin memakanmu," ucap Panji yang sudah tak kuat menahan juga.
Selimut itu di tariknya untuk menutupi tubuh keduanya yang sedang begerilya menikmati satu sama lain.
Hanya erangan, ******* dan leguhan nikmat lolos dari bibir keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments