Bunyi alarm terdengar menghentak sunyi malam. Ainul terjaga dari tidurnya. Untuk beberapa waktu tadi, ia benar-benar merasa pulas dalam tidurnya. Badannya sudah tidak meriang lagi. Tidak seperti sebelumnya, kali ini ia merasa lebih sehat.
Ainul mendesah panjang. Selimut yang dipakainya kemudian dilepas dan dilipatnya sebelum dimasukkan ke dalam tas kresek. Walaupun tubuhnya terasa masih lemah, tapi ia memaksa untuk bangun dengan bantuan kedua tangannya.
Ainul menoleh. Pintu rumah sepertinya tak dikunci. Sesekali angin yang bertiup menimbulkan bunyi pada pintu yang terhempas. Mungkin karna marah, Humairo tidak sempat menutupnya. Ainul menyandarkan tubuhnya di dinding teras. Dengan langkah lemah ia berjalan pelan menuju ke arah pintu. Setelah berhasil masuk kedalam rumah, pintu kemudian ditutupnya perlahan.
Ainul kembali menyandarkan tubuhnya usai menutup pintu. Hanya beberapa langkah ke dalam rumah, jantungnya berdetak sangat cepat. Dadanya berdebar-debar. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Akhir-akhir ini ia merasa mudah lelah. ia pun merasa kesulitan bernafas setiap kali pulang dari masjid. Padahal dengan usia yang masih muda, seharusnya jarak seratus meter dari rumah menuju masjid adalah jarak yang pendek. Akhir-akhir ini ia memang merasa ada yang berubah dengan dirinya.
Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menyusuri lorong rumah menuju kamar mandi. Setelah mengambil air wudhu, ia pun kembali.
Ada suara tangis yang lamat-lamat terdengar dari arah kamar Humairo. Ainul menghentikan langkahnya dan berusaha memasang pendengarannya. Suara tangis itu masih terdengar. Sesekali diikuti rintihan yang membuat hati Ainul cemas.
Ainul melangkah lebih dekat. Biasanya walaupun selarut ini, Humairo memang masih belum tidur. Entah apa yang ia kerjakan setiap malamnya hingga subuh tiba. Biasanya ia akan mendengar suara tawa dan teriakan dari dalam kamar Humairo, setiap kali ia hendak mengambil wudhu untuk shalat tahajjud. Tapi kali ini berbeda. Yang ia dengar memang suara tangis yang menyayat.
Ainul menyandarkan tubuhnya di sisi pintu. Tatapannya mengarah ke atas, mencoba memastikan apa yang harus ia lakukan. Dia sudah menunggu beberapa lama, berharap suara tangis itu tak terdengar lagi di telinganya, tapi justru tangisan itu semakin menjadi-jadi.
Ainul memberanikan diri mengetuk pintu kamar. Suara tangis di dalam kamar terhenti. Ainul terdiam. Nafasnya tertahan. Ia mengetuk kedua kalinya.
"Prank!
Suara gelas pecah terdengar menghantam pintu. Ainul terkejut.
"Bangsat kamu Ainul, berani-beraninya tanganmu yang nakjis itu menyentuh pintu kamarku. Pergi kamu bangsat!" umpatan Humairo membuat Ainul memejamkan matanya. Dia memilih meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja Ainul melangkahkan kakinya, suara pintu terdengar ditarik dengan kerasnya dari arah belakang. Humairo terlihat keluar dengan tatapan tajam. Nafasnya naik turun dengan suara dengusan pendek menakutkan. Ainul berbalik. Ditatapnya Humairo dengan tenang.
"Jangan khawatir, nanti setelah selesai shalat tahajjud aku akan membersihkan pintu itu."
Ainul masih berdiri. Humairo yang masih menatapnya tajam tak mau di tatapnya. Pandangannya tertuju ke arah pecahan-pecahan gelas yang berserakan di bawah kaki Humairo.
"Ini semua terjadi gara-gara kamu. Gara-gara kamu hubunganku dengan David berakhir. Jika saja kamu tidak sok alim dan berusaha menolak permintaan ibuku, semua ini tidak akan pernah terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang ke desa ini dan merusak segalanya." Suara Humairo semakin melemah. Awalnya keras disertai amarah, tapi perlahan tangisnya membuat tubuhnya luruh terhempas di lantai. Pecahan-pecahan kaca tak dihiraukannya menyakiti kakinya. Ia terus menangis.
Melihat itu, spontan Ainul memegang tubuh Humairo dan menjauhkannya dari pecahan kaca. Humairo berteriak, tapi Ainul terus membersihkan darah yang mengalir di kaki Humairo. Ainul membiarkan saja tangan Humairo memukul tubuhnya. Umpatan demi umpatan yang keluar dari mulut Humairo tak dihiraukannya. Setelah merasa Humairo baik-baik saja, Ainul lalu membersihkan pecahan-pecahan gelas yang berserakan di kamar.
"Ku mohon pergilah dari sini. Ceraikan aku agar aku bisa hidup bersama orang yang aku cintai."
Setelah untuk beberapa saat tadi Humairo mengumpat tanpa henti, kali ini suara memohonnya membuat Ainul tertegun di tempatnya. Ia memandang dengan tatapan sedih pada Humairo yang bersandar di bawah ranjangnya. Wanita itu terlihat begitu sedih. Tiba-tiba saja Ainul merasa bersalah. Ia lebih mendekat ke arah Humairo yang masih terisak.
"Maafkan aku jika selama ini membuatmu tersiksa. Aku janji akan membuat hubunganmu dengan David akan kembali baik." Ainul menghela nafas panjang. Ingin sekali ia meraih tubuh Humairo dan membantunya berdiri.
"Terkait keberadaanku di sini, aku masih terikat dengan janjiku pada almarhumah bu Salma." Ainul terdiam. ******* pendek berulangkali, menandakan ia sedang mempertimbangkan kata-kata yang akan ia keluarkan.
"Tenangkan dirimu. Kamu bisa menghubungi David dan membicarakan pernikahan kalian. Aku hanya minta beri aku waktu sepuluh hari saja berada di rumah ini. Setelah itu, kamu boleh membawa David kesini."
Setelah mengatakan itu, Ainul melangkah keluar. Kata-kata itu seharusnya tak ia keluarkan. Tapi mempertimbangkan keadaan Humairo, dengan terpaksa ia harus mengatakannya. Humairo mengangkat kepalanya dan menatap Ainul. Ia masih belum percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari Ainul. Kata-kata yang yang membuatnya melupakan rasa sakit di kakinya. Jelas ia senang mendengarnya. Humairo menghapus air matanya. Di lihatnya Ainul kembali setelah beberapa detik tadi tak terlihat. Kali ini ia membawa handsanitizer di tangannya. Tampak Ainul mulai menyemprotkan handsanitizer ke pintu. Setelah itu ia berbalik dan melangkah pergi.
Terdengar suara Tarhim dari arah masjid. Humairo keluar dari kamarnya. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang depan. Ainul tak dilihatnya saat ia menyibak tirai ruang depan. Laki-laki yang baru saja memberikannya kejutan paling indah itu sudah tidak ada di teras rumah.
Ia kembali masuk ke dalam kamarnya. Hp yang tergeletak di samping bantal diraihnya. Sudah lima kali ia menghubungi David, tapi David tidak kunjung juga mengangkat hp nya. Pesan singkat yang dikirimnya pun tak dibalasnya.
Humairo mendesah dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Ia merasa seperti baru terlahir kembali. Ia seperti baru terbebas dari ikatan rantai yang membelenggunya. Dia yakin David akan senang juga mendengarnya. Ia akan meminta David mencabut kata-kata putusnya tadi malam. Tapi mungkin saat ini David sudah tidur. Dan kalau harus menunggunya bangun, itu masih beberapa jam lagi, mungkin juga sore. Ia sudah bisa menebak bagaimana bahagianya David saat mendengar kabar baik darinya.
Humairo juga sudah mulai mengantuk. Beberapa kali ia menguap. Dia harus segera tidur agar nanti terlihat segar saat bertemu dengan David.
Udara siang ini terasa panas. Dedaunan dan beberapa sampah terlihat berserakan terhempas angin. Sesekali debu beterbangan membuat pejalan kaki menutup wajah mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Adico
buat kamu aku kasih 🌹 .
2022-09-27
2
Lalu Mustafa Kamal BinNuh
mmmmm
2022-09-14
0