#03

Sebelum sampai di rumah, terlebih dahulu Ainul mampir di sebuah warung kecil tak jauh dari rumahnya. Ia membeli satu buah botol air kemasan dan obat penurun panas. Ia merasa tidak harus sakit terlalu lama. Terlalu banyak yang harus ia kerjakan di masjid.

Setelah membayar, ia kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Ainul menatap sudut teras yang penuh dengan daun-daun kering yang masuk terbawa angin. Sapu yang bersandar di sudut teras diambilnya dan mulai membersihkan teras. Setelah itu tikar pandan ia gelar. Dua buah sarung di keluarkannya dari dalam tas kresek warna hitam. Setelah minum obat, Ainul membaringkan tubuhnya pelan di atas tikar.

Di tempat lain. Di sebuah kafe bercat merah yang terbuat dari papan-papan kayu jati di pinggir pantai, Humairo terlihat menikmati minuman ringan yang disuguhkan pelayan. Di depannya, seorang laki-laki dengan potongan rambut cepak terlihat juga sedang mengaduk-ngaduk pelan minuman di depannya dengan sedotan plastik berwarna putih di tangannya. Ia adalah David, pacar Humairo.

Humairo terlihat cemberut. Beberapa kali ia berbalik membelakangi laki-laki di depannya.

"Udah Sayang, jangan cemberut terus. Nanti kamu cepat tua lho," kata David mencoba menggoda Humairo. Sisa air minum dalam sedotan ia percikkan ke wajah Humairo. Humairo membalas dengan memercikkan minumannya ke arah David.

"Kalau memang kamu tidak berani membuat keputusan, lebih baik aku pulang saja. Males tahu kalau berhubungan seperti ini terus," kata Humairo tampak kesal. Ia memasukkan HP nya ke dalam tasnya dan ia bangkit. David segera memegang tangan Humairo dan menariknya agar duduk kembali.

"Ok, ok, tapi kamu duduk dulu," kata David tersenyum.

"Kamu yang gak pernah menganggap ini serius. Setiap kali aku membicarakan ini, kamu tidak pernah menanggapinya serius," kata Humairo. Ia masih berdiri walaupun David masih memegang lengannya, berharap ia mau duduk.

"Makanya kamu duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik. Jangan marah seperti itu, gak enak dilihat orang," kata David sambil menoleh ke sekelilingnya.

Humairo akhirnya luluh dan duduk. Wajahnya masih terlihat cemberut dan tak mau menatap David.

"Aku tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. Aku berada dalam posisi yang sulit. Kalau hanya mengikuti kemauan kita sendiri, itu gampang, tapi banyak hal yang harus terkait jika kita ngotot untuk menikah." David memegang tangan Humairo.

"Seharusnya kamu sendiri yang mengajak Ainul ngomong baik-baik. Minta ia menceraikanmu," sambung David. Mendengar itu, Humairo menghalau tangan David. Nampak ekspresi tubuhnya mengisyaratkan rasa jijik yang besar ketika David menyebut nama Ainul.

"Tapi aku tidak sudi bicara dengan dia," jawab Humairo ketus.

"Nah itulah masalahnya. Jika aku membawamu kabur hari ini, kita akan terusir dari desa ini. Bahkan polisi akan memburuku karna telah melarikan istri orang," kata David. Humairo terdiam. Ia berbalik dan tatapannya ia lemparkan jauh ke arah laut.

"Ini tidak semudah yang kita pikirkan Sayang. Aku ingin kita memikirkannya matang-matang." David melanjutkan pembicaraannya setelah untuk beberapa saat terdiam menatap Humairo.

"Kok kayaknya kamu mulai gak semangat," kata Humairo. David menyandarkan punggungnya di kursi. Ia tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan agar Humairo mengerti.

"Benar kan, kamu sudah tidak mau lagi melanjutkan hubungan ini." Humairo mempertegas ketika melihat David hanya terdiam menyandarkan tubuhnya.

David mendesah. Ia memejamkan matanya sejenak lalu kembali menatap Humairo.

"Bukan seperti itu maksudku. Kita butuh waktu lama untuk memikirkan masalah ini. Kita tidak bisa begitu saja mengambil keputusan. Sekali terusir dari desa itu, maka kita gak akan bisa kembali lagi. Masyarakat akan membenci kita. Ini bukan perkara gampang Humairo. Aku justru tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak baik kepadamu." David bangkit dan mendekat ke arah Humairo. Ia memegang kepala Humairo dan mengusapnya.

"Aku mohon kamu mengerti situasi ini. Sekali lagi ini tidak semudah yang kita pikirkan. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk saat ini, selain menunggu waktu yang tepat." David memperbaiki pengikat rambut bentuk kupu-kupu berwarna biru di rambut Humairo. Humairo terdengar menangis. Tubuhnya luruh dalam pelukan David. David mengusap-usap punggung Humairo. Ia membiarkan saja Gadis itu menangis dalam dekapannya. Ia sama sekali tidak punya cara untuk memberikan kepastian pada Humairo. Posisi yang benar-benar sulit. Tapi jika ia mengatakan untuk saling melepaskan dan mengikhlaskan satu sama lain, tentu gadis itu semakin tidak akan menerimanya.

Biarlah waktu akan merubah segalanya. Semuanya sudah ada yang mengatur. Dia tidak mau mendahului kehendak Tuhan. Dulu ia begitu yakin kalau Humairo adalah miliknya. Humairo sangat mencintainya dan tak mungkin memilih orang lain untuk menjadi pasangan hidupnya. Walaupun memang Humairo masih sangat mencintainya. Tapi Tuhan menitipkan Kehendaknya lewat almarhumah bu Salma, agar Humairo menikah dengan Ainul. Kini, ketika ia sudah lelah memikirkan jalan keluar agar bisa bersatu dengannya, Ia memilih untuk berdoa semoga suatu hari nanti Humairo bisa mencintai Ainul.

"Humairo, lihatlah! hari sudah mulai gelap. Sebaiknya kita segera pulang," ajak David. Humairo menggeleng dan pelukannya semakin erat. Setiap kali David ingin melepaskannya, pelukan Humairo semakin lekat. David mendongak tak berdaya.

"Aku mau pulang dengan satu syarat. Biarkan aku menginap di rumahmu," kata Humairo.

David *******-***** rambutnya.

"Kumohon Humairo, lepaskan pelukanmu. Lihat, pemilik kafe akan segera menutup cafenya. Kita harus pulang Humairo." David kembali mencoba melepaskan pelukan Humairo tapi tetap saja Humairo semakin mencengkram tubuhnya kuat. Melihat beberapa orang melirik ke arah mereka, David mulai kesal. Ia mulai terusik dengan tingkah Humairo. Ia menarik dengan paksa tangan Humairo dan membuatnya melepaskan pelukannya. Humairo terbengong. Baru kali ini ia melihat David memperlakukannya sekasar itu. Humairo menangis dan berlari meninggalkan David. Sadar telah membuat Humairo menangis, David segera mengejarnya.

Humairo sudah terlanjur marah. Teriakan David yang masih mengejarnya di belakang sama sekali tak digubrisnya. Ia terus menggeber laju sepeda motornya meninggalkan David yang sesekali berteriak di belakangnya. David terus membuntutinya. Ia takut akan terjadi sesuatu terhadap Humairo.

Setelah memastikan Humairo mengarahkan sepeda motornya menuju jalan ke desa, David memutuskan untuk berhenti mengikutinya.

Sementara itu Ainul yang masih merasa tidak enak badan terlihat duduk menekur di balik selimutnya. Surban hijau terlihat masih melilit kuat di kepalanya. Ia masih merasa sedikit pusing. Membuatnya tak nyaman merebahkan tubuhnya. Ainul kembali membaringkan tubuhnya lemah. Pengaruh obat yang diminumnya tadi masih menyisakan kantuk. Ia merasa harus kembali tidur dan berharap ia segera sembuh dan kembali beraktifitas seperti biasanya.

Samar-samar terdengar suara sepeda motor mendekat ke arahnya. Ainul yang baru saja mulai tak sadarkan diri membuka matanya perlahan. Sepertinya Humairo sudah pulang. Dia tahu ia sudah menempati tempat dimana Humairo selalu memarkir sepeda motornya. Humairo pasti akan marah jika melihatnya tidur lagi di tempat itu. Tapi tubuhnya yang lemah tak memungkinkan Ainul berpindah tempat.

"Hei bangun! Sudah tahu ini tempat parkir motor, masih saja tidur di sini. Bangsat kamu, gara-gara kamu hidupku jadi berantakan seperti ini," kata Humairo mulai menghardik Ainul yang yang masih mendekap kedua lututnya di dalam selimut. Ainul hanya terdiam mendengar umpatan Humairo. Humairo sudah berani mengeluarkan kata kasar kepadanya setelah sebelumnya hanya bersikap sinis dan membuang wajah saat bertatap muka dengannya. Kata-kata Humairo itu begitu melukai hatinya. Kali ini ia merasa ingin menuntaskan semuanya. Ia ingin memperlihatkan Humairo bahwa ia bukan laki-laki bodoh yang bisa diinjak harga dirinya. Tapi Ainul mengurungkan niatnya. Tubuhnya begitu lemah. Pesan terakhir bu Salma tiba-tiba hadir menyadarkannya untuk tetap bersabar.

"Jika Humairo bertindak kasar, jangan kamu ladeni Nak. Ibu mohon maaf jika nanti Nak Ainul sering terluka dengan sikap Humairo. Tapi ibu yakin, Humairo masih harus belajar untuk menjadi seorang istri yang baik buat Nak Ainul. Ibu mohon jangan tinggalkan Humairo apapun keadaannya. Kelak ia akan sadar bahwa tak ada siapapun yang ia miliki selain Nak Ainul".

Pesan itu membuat hati Ainul yang mulai tersulut emosi mulai mereda. Ia mulai menyibukkan hatinya berzikir dan membaca shalawat sehingga segala umpatan Humairo tak didihiraukannya sama sekali.

Terpopuler

Comments

Adico

Adico

eem ada yang cemburu nih 😚😚

2022-09-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!