Jie mengantar Adara pulang ke rumahnya, wanita melajang itu tengah mabuk. Jie sudah berusaha melarangnya tapi Adara mengabaikan hingga menegak dan membiarkan minuman keras itu membakar tenggorokannya.
Ting.
Jie menekan bel dan beberapa menit menunggu Lidia membukakan pintu.
"Dara," gumam Lidia membantu menopang tubuh Adara yang sempoyongan. "Maaf sudah merepotkanmu, Jie." kata Lidia, seraya menahan tubuh Adara dalam dekapannya.
"Tidak apa -apa Bibi sudah tanggung jawabku sebagai temannya." Lidia mengangguk. "Aku pulang ya," tambahnya mengembalikan kunci mobil Adara.
"Bawa saja mobilnya, kau mau jalan kaki? Taksi di jam segini juga sulit." Benar malam sudah tua, bahkan bisa di katakan sudah dini hari.
"Baiklah Bibi, besok aku akan kesini menjemput Dara." Lidia mengangguk dan gadis itu meninggalkan tempat itu.
"Si sialan ini, menyusahkan saja. Kau mau mati? Mau mati? Ah ...!" Teriak Lidia begitu menutup pintu.
"Mama, jangan teriak di telingaku. Kau bisa menambah cacat pada diriku nanti."
"Apa? Dasar! Dasar anak sialan!" Lidia mendorong tubuh Adara hingga terjatuh ke lantai. "Kalau kau ingin mati kenapa tidak mati di rumah mantan suamimu itu, hah! Jangan di rumahku Dara!" Teriaknya kesal. " Kau! Setiap hari mabuk dan menyiksa dirimu, kau benar-benar membuatku kesal, seolah tidak ada masa depan!"
Adara tertawa menggema di ruang tamu itu. "Masa depan? Masa depan apa yang mama bicarakan? Aku sudah kehilangan itu sejak hari itu dan tidak ada masa depan lagi."
"Astaga ...." Lidia berkacak pinggang menahan emosinya yang membuncah.
"Yang kau hadapi adalah perceraian bukan kematian, Dara. Dijaman sekarang bercerai bukan lagi aib. Jangan membunuh dirimu hanya karena masalah itu." Perkataan yang lugas tapi sulit untuk memenuhinya.
"Bercerai sama halnya dengan kematian bagiku, Ma. Andai saja hanya perceraian itu yang kuhadapi. Ta~pi kenyataan pahit malah menghampiriku," Tiba-tiba saja Adara terisak, duduk memeluk kedua kakinya merapat ke dada. Lidia turut sedih melihatnya.
"Ayo, mama bantu kau ke kamarmu." katanya, membantu Adara bangun dan menopang membawanya menaiki anak tangga.
"Tidurlah," guman Lidia setelah berhasil membantu Adara berbaring di ranjang. Air mata Lidia menitik, orang tua mana yang tidak hancur melihat kehidupan putrinya yang yaris sempurna hancur seketika.
Lidia hanya berpura-pura buta dan juga menulikan telinganya mendengar pergunjingan mengenai putrinya itu. Hatinya tetap hancur tak terperih.
🍁🍁🍁🍁
Enam bulan yang lalu ...
Rion menyugar rambutnya gusar, pikirannya tidak fokus semenjak kedatangan Calista dan menemuinya di kantornya dan membuatnya tercengang atas pengakuan gadis itu.
Calista sengaja datang setelah mendapatkan alamat kantornya lewat website perusahaannya, padahal Rion sudah berusaha mengabaikannya telpon dan pesan yang dikirim Calista padanya.
"Bukannya kau di Shanghai? Kapan kau datang?" tanya Rion, rautnya pucat kedatangan Calista yang mendadak.
"Rion, kau tidak mengangkat telponku itulah sebabnya aku di negara ini," ujar Calista, menatap Rion dengan jengkel. Masuk dan langsung menempatkan diri di sofa yang ada di ruang kerja Rion.
"Sorry, aku rasa tidak ada alasan untukku mengangkat telponmu. Lagipula kita tidak punya hubungan apa-apa jadi sah-sah saja jika aku mengabaikannya," Calista kecewa mendengarnya.
Ya benar! Mereka tidak punya hubungan selain hubungan satu malam yang tidak di sengaja, dan malam itupun mereka mengakhiri dengan baik.
Calista ingat dan sangat ingat kejadian tiga bulan yang lalu saat Rion berada di Shanghai perjalanan bisnis dan tidak sengaja bertemu dengan Calista.
Malam itu di Shanghai.
"Ma-maafkan aku Calista, i-ini tidak benar. Kita tidak melakukan apapun kan?" Rion panik saat terbangun tanpa sehelai benang di tubuhnya dan Calista tengah menangis sesegukan di sampingnya.
"Maafkan aku ...," pinta Rion seraya mengenakan pakaiannya. Calista menggelengkan kepala kemudian menyeka air matanya. Perawannya telah ia berikan pada pria itu.
"Ini bukan cuma salahmu, aku juga turut disalahkan karena tidak bisa menjaga diri," ucap Calista membungkus tubuhnya dengan selimut dan berjalan ke kamar mandi.
Rion menampar dirinya sendiri, kenapa bisa kehilangan kendali dan berakhir merusak kesucian orang. Senyum Adara terbayang olehnya dan membuatnya semakin merasa bersalah. Rion menonjok dinding hingga tangannya terluka.
Melihat bagaimana Rion menyakiti dirinya, Calista memutuskan untuk tidak mengungkit kejadian ini.
"Cukup, tanganmu bisa patah." Calista menghampiri Rion yang masih melampiaskan kebodohanya pada dinding kamar. Tatapan Rion tersirat kemarahan tapi bukan untuk Calista melainkan pada dirinya sendiri.
"Anggap saja kita tidak pernah bertemu dan masalah ini tidak pernah terjadi." kata Calista, katakanlah gadis itu bodoh tapi kejadian ini juga hanya sebuah kecelakaan. Rion juga teramat mencintai Adara, pria itu tak berhenti membanggakan Adara pada Calista.
"Apa maksudmu?" Rion menoleh pada Calista yang tengah duduk di tepian ranjang.
"Jadikan ini rahasia diantara kita." Calista tersenyum tapi dalam hatinya ia merasa seperti orang terbodoh di dunia ini. Menyerahkan dirinya gratis dan malah meminta untuk melupakan kejadian besar seperti ini. Bukankah seharusnya ini kesempatannya, mendapatkan hati Rion yang tidak pernah ia jangkau di masa lalu? Calista begitu bodoh, melepas medali yang sudah di genggamannya.
Kesepakatan terjalin. Rion kembali ke negara ini dan menjalani kehidupannya seperti biasa. Tapi sekarang? Lihatlah wanita itu datang dan menemuinya di kantornya sekarang dengan kabar mengejutkan.
"Apa?" tanya Rion dan tidak sengaja ponselnya terlepas dari tangan dan terbanting ke lantai. "kau bilang apa?" tanyanya lagi berharap ia salah dengar.
"Aku hamil," Rion terkekeh lututnya gemetar, ia memilih duduk di meja kerjanya. Menatap Calista seperti orang bodoh.
"Bagaimana bisa?" Rion shock mendengarnya hingga membuat otaknya lupa berpikir bagaimana cara membuat anak.
"Rion. Aku rasa kau belum melupakan kejadian malam itu kan?" Calista mengingatkan.
"Kau yakin Calista?"
"Yakin. Aku sudah berulang melakukan tes dan hasilnya semua sama dua garis merah." Calista mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya.
"Dan untuk memastikannya, aku melakukan tes medis. Dan hasilnya positif jalan tiga bulan." Tambahnya, bangun dari duduknya dan menyerahkan kertas itu pada Rion.
Rion membacanya sekilas. Hasil tes kehamilan yang Calista lakukan di Shanghai. Kepala Rion berdenyut sakit. Ia bingung harus bagaimana.
"Ki-kita hanya sekali melakukannya Calista, apa kau yakin itu darahku?" Calista terkekeh, ia sudah mempersiapkan hatinya untuk itu. Penolakan dan ketidakpercayaan pasti akan ia terima.
"Apa kau pikir aku wanita murahan?" tanya Calista menatap Rion, "Iya mungkin kau menganggap demikian karena begitu mudah mendapatkan perawanku saat itu kan, Rion?" Calista menahan air matanya yang sudah mengumpul di pelupuk matanya. Ia harus tegar.
"Maafkan aku tapi—"
"Rion, a-andai saja aku tidak hamil aku tidak akan pernah disini, aku tidak akan pernah menemuimu seperti janji kita. Tapi saat ini ada darahmu di tubuhku, aku ingin kau mengetahui itu dan jika kau tidak menginginkannya aku bisa menggugurkannya." ucap Calista menekan di kata 'menggugurkannya' seraya meremas tali tasnya dan bangun dari duduknya hendak keluar.
"Pikirkan baik-baik, jika sudah ada jalan keluarnya hubungi aku." Kata Calista keluar dari ruangan itu. Rion diam membisu di meja kerjanya.
🍁🍁🍁🍁
"Honey ..., Sepenting apa hidupku untukmu?" Malam itu Rion bertaya pada Adara yang sedang duduk dipangkuannya.
"Kenapa kau bertanya?" Adara membelai rahang Rion, sengaja menggoda suaminya itu.
"Aku hanya ingin tahu," Adara terkekeh, mendekatkan wajahnya pada wajah Rion.
"Dalam hidupku kau adalah napasku. Kau tahu seseorang tidak akan hidup tanpa napasnya. Sebesar itulah pentingnya dirimu untukku sayang." Hembusan napas Adara yang hangat membuatnya menengan. Meski pikirannya sedikit terganggu karena pengakuan Calista, tapi hasratnya mengalahkan semuanya saat ini.
Rion menangkup dagu Adara dan menatap istrinya itu lembut. Melabuhkan ciuman hangat di bibir itu, Adara juga membalasnya.
Rion membawa istrinya ke ranjang tanpa melepaskan ciuman itu, membaringkanya pelan. "Aku sangat mencintaimu, Dara." gumam Rion dengan mata berkabut dipenuhi hasrat.
Setelah menyelesaikan urusan ranjang mereka, Rion mendekap Adara dalam pelukannya. Membelai rambut istrinya itu hingga terlelap.
Rion mengingat kembali perkataan Calista.
Jika kau tidak menginginkannya aku bisa menggugurkannya.
Rion terpejam, menahan napas. Perlahan menarik lengannya yang dijadikan bantalan Adara. Mencium lembut kening Adara. maafkan aku Honey batinnya dan istrinya itu berbalik meringkuk. Rion turun dari ranjangnya mengambil piyama serupa jubah dan mengenakannya. Menyibak tirai menatap keluar rumah.
"Apa yang harus aku lakukan? Jika Adara tahu masalah ini habislah hidupku. Tapi bayi itu ...." Rion memejamkan matanya, gelisah dan rasanya ingin berteriak melepas beban dari pikirannya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
💜bucinnya taehyung💜
calista nya ini baik apa ga sih jgn² jebakan betmen aja nih...
2021-08-03
0
Nanik Harahap
Oooo ternyata ada pengkhianatan toh
2021-07-17
0
🐊⃝⃟SUMI🐊⃝⃟🐊⃝⃟(HIATUS)
free sex jd jd benih
2021-06-01
0