"Jadi, namanya Gavin?" tanya Karel sembari mengunyah es krim cone rasa coklat miliknya. Iya, dikunyah. Karel tidak suka menjilati es krim pelan-pelan karena akan sangat merepotkan saat es krim meleleh dan dia harus berusah payah membersihkan lelehannya yang lengket. Belum lagi kalau lelehan itu jatuh mengenai bajunya, yang ada Ibun akan mengomel dengan kecepatan 1000 kata per menit padanya. Jadi ia lebih suka mengunyahnya langsung walaupun harus beberapa kali mengernyit karena giginya terasa ngilu.
"Gavin yang anaknya pemilik stasiu TV itu? Siapa ya namanya gue lupa?"
"Jonathan Abdi Cakraditya."
"Nah, itu. Jadi, beneran Gavin yang itu?" tanya Karel sekali lagi. Berusaha memastikan bahwa Gavin yang dimaksud Kalea memang Gavin yang itu.
"Iya." Kalea mengangguk. Tangannya bergerak pelan untuk membuka bungkus kinderjoy ke-lima setelah yang ke-empat selesai ia lahap tiga belas detik yang lalu.
"Terus, gimana kelanjutannya?"
Karel tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Tiga belas tahun. Tolong ingat sekali lagi. Tiga belas tahun mereka berteman dan Karel tidak pernah melihat Males tertarik pada laki-laki. Bukankah wajar jika Karel ingin tahu seperti apa sosok Gavin yang sudah membuat temannya ini tak berhenti tersenyum sejak tadi? Tolong ingat juga bahwa Kalea pernah berkata tidak ingin bertemu dengan lelaki itu agar perjodohan konyol ini tak perlu dilanjutkan. Dan hal itu Kalea katakan kurang dari 24 jam sebelum bertemu dengan Gavin. Jadi, apa kiranya yang membuat Kalea berubah pikiran tiba-tiba?
"Kalau soal perjodohan, aku belum tahu. Masih terlalu dini buat mengiyakan, kan? Aku baru ketemu Gavin sekali dan yang nampak di depan mata aku bisa jadi cuma cangkang yang sengaja dipoles indah sedemikian rupa supaya aku tertarik." Kalea bicara setelah menelan bola-bola kinderjoy yang selesai ia kunyah. Matanya menerawang ke depan, pada jalanan yang masih tampak ramai oleh lalu-lalang kendaraan.
Hujan sudah berhenti sejak lima belas menit yang lalu, tapi hawa dingin yang dibawa masih tertinggal sampai sekarang. Kalea merutuki sikap keras kepalanya yang menolak untuk pulang terlebih dahulu dan mengganti celana pendeknya dengan training. Akibat keras kepalanya itu, ia kini menggigil kedinginan.
Indomaret masih ramai dikunjungi oleh pelanggan, tapi barisan kursi yang tersedia di depannya sama sekali tak terjamah oleh pengunjung lain. Hanya Kalea dan Karel yang duduk di sana sejak setengah jam lalu. Dengan kantung kresek berisik kinderjoy, es krim dan beberapa camilan.
"Tapi lo masih akan ketemu sama dia?"
Kalea menoleh, hanya untuk mendapati Karel tengah menatapnya dalam. Ada jeda sebelum akhirnya ia mengangguk dan kembali menatap ke jalanan.
"Sekadar memastikan apakah perjodohan ini memang layak untuk dilaksanakan atau nggak."
Kalea tahu, saat ia memutuskan untuk melangkah, maka akan ada resiko yang harus ia terima dari setiap jejak yang ia ambil. Mencoba untuk kenal lebih jauh dengan Gavin berarti ia siap untuk menerima sisi-sisi lain lelaki itu yang tidak ia temui di hari pertama mereka bertemu. Kalea sudah menyiapkan hati untuk kecewa, hanya saja dia berharap kekecewaannya hanya akan sebatas Gavin yang ternyata punya kebiasaan menggigiti kuku jarinya yang kotor atau laki-laki itu yang ternyata sedikit cuek dan tak punya banyak waktu untuk dihabiskan berdua. Untuk hal-hal yang lebih serius dari itu, Kalea rasa ia masih belum siap.
"Berarti ada kemungkinan lo akan terima perjodohan ini, am I right?"
Karel tidak bisa menahan sesak di dadanya saat Kalea mengangguk dengan tatapan yang masih lurus ke depan. Tiga belas tahun bersama, dan setengahnya Karel habiskan untuk mencintai gadis itu diam-diam. Agenda perjodohan yang ia dengar belakangan ini saja sudah membuat hatinya remuk redam, bagaimana jika perjodohan itu akhrinya bukan hanya jadi agenda tapi benar-benar dilaksanakan? Mungkin Karel akan kehilangan separuh nyawanya yang sudah telanjur terbiasa dengan kehadiran Kalea.
Entah setan dari mana yang mencoba memengaruhinya, Karel mendadak berharap Gavin bukanlah pria yang sebaik itu. Supaya Kalea punya alasan untuk tidak menerima perjodohan ini dan ia jadi punya kesempatan untuk mengungkapkan perasaanya. Karel ingin jadi egois sekali saja. Seandainya ia bisa.
*****
Pukul setengah sepuluh malam. Setelah enam kinderjoy habis dilahap oleh Kalea dan mereka sempat berputar-putar mengelilingi kompleks menggunakan motor, Karel akhirnya mengantarkan Kalea pulang. Tidak hanya sampai depan gerbang, lelaki tiu mengantarkan Kalea sampai ke depan pintu kamarnya.
"Nggak perlu sampai depan pintu kamar juga sih sebenernya." Kata Kalea saat Karel melepaskan genggaman tangan mereka.
"Nggak perlu sampai depan pintu kamar tapi tangan gue nggak dilepas-lepas dari tadi." Cibir Karel yang membuat Kalea terkekeh. Bukan apa-apa, tapi ekspresi wajah julid khas Karel benar-benar menyenangkan untuk dilihat. Kalea seolah mendapatkan energi baru saat melihat sahabatnya ini menampakkan ekspresi itu.
"Udah sana masuk. Cuci kaki, cuci muka, gosok gigi terus tidur." Titah Karel.
"Aku bukan anak kecil." Kalea mencebik saat tangan besar Karel mengacak rambutnya gemas.
"Bagi gue lo akan selalu jadi anak kecil."
Sederhana. Bukan kalimat romantis yang bisa membuat hati berbunga-bunga. Tapi Kalea tetap senang mendengarnya. Karena dari kalimat sederhana itu, Kalea jadi tahu seberapa berarti dirinya bagi Karel. Dan Karel juga harus tahu seberarti itu juga lelaki itu bagi Kalea.
"Gue balik. Kalau butuh apa-apa telepon aja, pasti langsung gue angkat di hitungan ke-tiga. Kecuali kalau gue lagi tidur sih, beda cerita." Ucap Karel diakhiri kekehan.
Setelah itu Kalea masuk ke dalam kamarnya dan Karel segera berjalan menuruni tangga. Di ruang tengah, Mama masih duduk di sofa sembari menonton siaran berita yang kali ini membahas tentang kasus perseteruan antara sesama anggota kepolisian. Itu kasus yang sudah berlangsung selama dua minggu, dan anehnya masih belum terlihat juga titik terangnya. Ah, kenapa Karel jadi peduli pada kasus tidak penting itu?
"Papa belum balik kantor? Nggak keliatan dari tadi?" tanya Karel, bukannya pulang seperti yang ia katakan pada Kalea, ia malah duduk di samping Mama.
"Dinas luar kota. Baru berangkat sore tadi." Kata Mama, membiarkan Karel menyenderkan kepala di pundaknya. Karel memang sudah biasa begitu. Selain karena Mama yang sudah biasa memperlakukan Karel seperti anak sendiri karena memang sedari dulu ingin punya anak laki-laki, Mama juga merasa berterimakasih karena Karel sudah mau menjadi teman bagi Kalea yang sedari kecil sudah galaknya minta ampun.
"Kok Kale nggak cerita sama Karel kalau Papa pergi dinas?"
"Kalea nggak tahu. Dinas dadakan."
Karel mengangguk dengan kepala yang masih menyandar di bahu Mama.
"Ma?"
"Hmm?"
"Kale beneran mau dijodohin sama anaknya yang punya stasiun TV itu, ya?" tunjuk Karel pada layar televisi yang terdapat logo salah satu stasiun TV swasta milik ayah Gavin.
"Kalau anaknya mau." Tidak seperti kemarin saat Mama begitu antusias untuk menjodohkan Kalea dengan Gavin, kali ini, di depan Karel Mama bersikap lebih kalem.
"Kalau anaknya nggak mau berarti perjodohannya nggak jadi, ya?" Karel masih terus bertanya, dengan nada suara mirip anak kecil yang punya banyak pertanyaan tentang dunia.
"Iya. Kan, nggak boleh maksa." Ucap Mama begitu bijaknya. Kalau Kalea dengar, anak itu pasti akan tertawa terbahak-bahak sebab apa yang Mama katakan sekarang benar-benar berbanding terbalik dengan apa yang Kalea dengar sebelumnya.
"Kenapa? Kamu nggak rela Kalea nikah sama orang lain, ya?"
Mendengar pertanyaan itu lolos begitu saja tanpa hambatan dari bibir Mama membuat Karel menarik kepalanya dari bahu Mama. Ia menatap Mama tak percaya. Seolah berkata kok bisa Mama bertanya begitu? Apa gue terlalu kentara menunjukkan rasa suka gue terhadap Kalea? Perasaan selama ini udah disimpen rapat-rapat. Atau sebetulnya, gue nggak berhasil sembunyiin apapun, cuma Kalea aja yang nggak peka sama perasaan gue?
Pertanyaan itu tentu tidak akan Karel tanyakan secara langsung kepada Mama. Tapi mendengar wanita itu terkekeh dan detik berikutnya mata mereka bertemu, Karel sudah tahu jawabannya. Rupanya ia memang gagal menyembunyikan perasaannya, dan Kalea lah yang kelewat tidak peka sehingga hubungan mereka berjalan begini-begini saja. Dengan begitu saja Karel tertawa dengan suara yang sumbang. Menertawakan hubungannya dengan Kalea. Menertawakan sikap pengecutnya yang tidak berani berterus terang karena takut akan kehilangan seorang teman. Menertawakan harapan bodohnya yang menginginkan Kalea peka terhadap perasaannya, padahal dirinya sendiri selalu berusaha menyembunyikan itu dari semua orang.
"Mama nggak keberatan dengan siapapun Kalea menikah. Karena buat Mama, kebahagiaan anak itu adalah yang terpenting."
"Agenda Perjodohan ini cuma salah satu cara untuk bantu Kalea ketemu sama orang yang dia mau. Dan kalau ternyata yang dia mau bukan Gavin, ya Mama sama Papa nggak akan maksa dia." Kata-kata Mama kedengarannya tulus sekali. Jadi Karel cuma bisa mengangguk.
"Dan kalaupun ternyata yang Kalea mau itu kamu, Mama juga sama sekali nggak keberatan."
Ah... Mama seharusnya tidak bicara seperti itu. Karena hal itu membuat Karel jadi merasa diberi harapan palsu. Kalau memang Mama tidak keberatan untuk memiliki Karel sebagai anak mantu, kenapa perjodohan itu tidak disepakati antara Mama dan Ibun saja? Kenapa Kalea tidak dijodohkan dengan Karel, tapi malah dengan laki-laki asing yang belum pernah dia kenal sebelumnya?
Masih banyak pertanyaan yang kemudian timbul dari statement Mama itu. Pertanyaan-pertanyaan yang kini berputar-putar di kepala Karel hingga membuatnya pusing bukan main. Sebelum ia pingsan di sini, Karel pun pamit undur diri. Setidaknya, kalau harus terlihat menyedihkan, ia akan melakukannya di kamarnya sendiri. Di mana hanya ada dia, Tuhan, dan setan-setan laknat di dalam kamarnya yang akan melihat betapa menyedihkannya seorang Azerya Karelino Gautama.
Setelah mengecup singkat pipi Mama, Karel berjalan gontai. Motor yang terparkir di halaman depan rumah Kalea tidak ia kendarai, tapi ia tuntun saja seperti sedang kehabisan bensin. Separuh nyawa Karel melayang entah kemana, ia bahkan tidak menyahuti sapaan Pak Dadang saat lelaki paruh baya itu membukakan pintu untuknya.
Karel, lo menyedihkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Dewi Payang
aduh jd ikutan sedih memikirkan nasib Karel
2022-10-25
1
Rini Antika
Semangat terus ya..💪💪
2022-10-24
1
Rini Antika
banyak bgt 6 kinderjoy? 1 aja 15 rb, 🤭
2022-10-24
1