Hujan turun tipis-tipis sejak setengah jam yang lalu, dan tampaknya ia tidak berniat untuk jatuh lebih deras ataupun sekalian berhenti. Kalea membuka pintu geser di kamarnya yang terhubung dengan balkon. Dingin seketika menampar permukaan kulit tubuhnya yang terbuka mengingat ia hanya mengenakan kaus oversize warna putih dengan celana pendek yang bahkan sudah tak nampak, tenggelam di balik kaus oversize yang ia kenakan.
Kalea berjalan keluar, mengabaikan hawa dingin yang semakin menjadi-jadi saat angin tiba-tiba berembus lebih kencang, seolah ia menyimpan dendam tersendiri pada Kalea. Dari tempatnya berdiri kini, Kalea bisa melihat kondisi kamar Karel yang masih terang. Maklum, sekarang baru pukul delapan malam dan laki-laki itu biasanya sedang asyik bermain game di komputer kesayangan.
Tadi, setelah bertukar nomor hp dengan Gavin dan lelaki itu pamit undur diri, Kalea sempat bertemu dengan Karel. Bocah tengik itu baru saja kembali (entah dari mana) dan hendak memasukkan mobilnya ke dalam rumah ketika melihat mobil Gavin pergi meninggalkan area perumahan mereka. Dari tatapan yang lelaki itu layangkan saat kepalanya menyembul keluar dari jendela mobil, Kalea tahu Karel tampak tidak suka dengan kehadiran Gavin. Terbukti dari tindakan Karel selanjutnya di mana lelaki itu langsung saja menyetir mobilnya masuk ke area pelataran setelah gerbang dibukakan dari dalam, mengabaikan Kalea yang masih berdiri di depan pagar rumahnya dengan tatapan keheranan.
"Bocah tengik itu kenapa lagi, sih? Marah gara-gara aku nggak telepon minta jemput?" Gumam Kalea. Dia sudah berusaha menghubungi Karel, tapi tidak ada satupun dari belasan teleponnya yang diangkat oleh lelaki itu. Bahkan puluhan pesan yang ia kirimkan juga sama sekali tak dibalas. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Padahal Kalea yakin lelaki itu sedang online.
Apa Karel marah padanya? Tapi karena apa? Karena ia tidak menelepon untuk minta dijemput? Apa lelaki itu menunggunya selama pertemuannya dengan Gavin dan menjadi marah saat melihat Kalea malah pulang bersama Gavin? Tapi kenapa? Kenapa Karel harus marah padanya?
Akhirnya, karena sudah lelah menerka-nerka sendiri, Kalea melangkah mendekati rumah Karel. Terbilang nekat saat dia menyeberang ke balkon kamar Karel yang berpagar cukup tinggi. Salah langkah sedikit saja, yang ada tubuh kurusnya bisa jatuh terpelanting ke bawah dan dia akan berakhir menjadi Kalea geprek.
Setelah bersusah payah membawa dirinya menyeberang, Kalea akhirnya berhasil berdiri di depan pintu kaca kamar Karel. Namun sayangnya ia tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan bocah tengik itu karena gorden putih tulang yang membalut pintu kaca besar itu tertutup rapat.
"Tumben amat sih gordennya ditutup. Biasanya juga dibuka lebar-lebar biar bisa ngintipin Julia yang lagi olahraga malam!" Gerutu Kalea. Merasa heran sekaligus kesal karena biasanya Karel akan membiarkan gorden itu terbuka demi bisa memandangi Juli, tentangga seberang rumah mereka yang biasa olahraga malam dengan pakaian yang superketat.
"Karellllll!!!!!" Kalea geregetan, jadi dia menggedor pintu kaca di hadapannya. Masa bodoh kalau suaranya bisa terdengar oleh seluruh penghuni komplek. Biar saja. Dia tinggal bilang kalau Karel menguncinya di luar sehingga tidak bisa masuk. Biar saja bocah tengik itu yang akan kena marah.
"Bukaaaaaa!!!!!" Ia menggedor semakin kuat. Tapi sampai tangannya sudah memerah dan suaranya nyaris serak, Karel sama sekali tak menampakkan batang hidungnya.
"Ih, sumpah ya! Karelllll bukaaaaaa!!!!" Kalea berteriak untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya menyerah dan memilih untuk berjongkok, memandangi pintu kaca besar di hadapannya dengan sendu.
Bermenit-menit ia diam dalam posisi itu. Kakinya sudah mulai kesemutan, tapi Kalea sama sekali tidak berniat untuk beranjak dari sana. Tidak, sebelum Karel keluar dan menjelaskan kepadanya mengapa lelaki itu mendiamkannya sejak sore tadi.
Entah di menit ke berapa, tepat setelah Kalea bangkit berdiri, pintu kaca di depannya terbuka, menampakkan sosok Karel yang hanya mengenakan handuk yang memilit bagian bawah tubuhnya. Air menetes dari rambutnya yang masih setengah basah, menuruni lekuk leher hingga beberapa tetes jatuh menuruni dada dan perutnya yang terekspos.
Kalea sama sekali tidak peduli pada penampilan Karel yang demikian. Tiga belas tahun mereka berteman, ini bukan kali pertama Kalea melihat Karel bertelanjang dada seperti ini. Jadi alih-alih berteriak histeris ataupun tersipu malu, Kalea justru melangkah maju, semakin mendekat ke arah Karel yang kini menatapnya kebingungan.
"Heh, lo mau ngapain?" tanya Karel sembari melangkah mundur karena Kalea masih terus melangkah maju, seolah bernafsu sekali untuk mengikis jarak di antara mereka berdua.
Karel masih terus berjalan mundur, sampai akhirnya bokongnya mendarat di atas kasur, dan barulah Kalea berhenti.
"Lo mau ngapain?!" teriak Karel histeris. Ia kalang kabut menutupi dadanya yang terekspos. Heboh sekali sehingga membuat Kalea mendengus sebal.
"Aku nggak nafsu sama kamu!" Cibir Kalea. Tangannya bersedekap di depan dada sementara matanya memicing tidak suka.
"Ya terus? Maju maju begitu maksudnya gimana?"
"Aku mau minta penjelasan!"
"Penjelasan apaan anjir? Jangan aneh-aneh deh!"
"Kamu kenapa diemin aku dari tadi sore? Telepon nggak diangkat, wa nggak dibales. Kamu marah sama aku?" Kalea nyerocos sementara Karel hanya bisa diam mendengarkan sembari melongo tak percaya.
Karel baru bangun tidur. Ia kelelahan setelah bermain tenis bersama teman-teman semasa kuliahnya sembari menunggu Kalea menelepon untuk minta dijemput. Jadi setelah tahu bahwa Kalea sudah sampai rumah dengan selamat, ia langsung naik ke kamar dan berbaring di kasur. Entah karena saking lelahnya atau karena kepalanya terlampau penuh, Karel jatuh tertidur. Itulah sebabnya ia tidak tahu kalau Kalea mengiriminya banyak pesan dan bahkan menelepon. Karel tidak menyangka Kalea akan mengira ia marah pada gadis itu.
"Jawab!"
Karel mengembuskan napas perlahan-lahan. Sebelum menjawab pertanyaan Kalea, ia bangkit dari kasur, berjalan menuju lemari pakaian dan mengambil sebuah kaus oblong warna hitam. Tanpa ba-bi-bu, ia kenakan kaus itu. Lalu saat akan menarik handuk yang terlilit di pinggang, ia mendengar Kalea menjerit histeris.
"Kamu mau ngapain?! Gila!!"
"Apaan sih, Kal? Orang gue udah pakai celana!" Karel balik mengomel. Handuk yang semula ia kenakan sudah berpindah tempat, mendarat estetik di atas tempat tidur. Biar saja nanti ia kena omel Ibun karena tidak meletakkan handuk di tempat yang semestinya.
"Lagian tiba-tiba banget mau narik handuknya!"
"Ya gue nggak akan copot handuknya kalau gue nggak pakai celana! Lo pikir gue orang mesum?"
"Yaudah sih nggak usah marah-marah!"
"Lo yang dari tadi marah-marah nggak jelas! Kenapa, sih?" Karel duduk di atas kasur, meraih remot tv dari nakas kemudian menyalakan siaran berita.
Kalea berjalan menyusul dengan bersungut-sungut. Tangannya enteng sekali saat menggeplak bahu Karel untuk menyuruh lelaki itu menggeser duduknya.
"Sakit! Demen banget KDRT." Walaupun sambil mengomel, tapi Karel tetap menggeser tubuhnya agar Kalea bisa duduk.
"Kenapa, sih? Kenapa baru dateng udah ngomel-ngomel? Terus kenapa datengnya lewat balkon coba? Berapa kali gue bilang, itu bahaya! Apa susahnya sih lewat pintu depan? Lagian nggak nyampe lima menit kalo lo jalan dari rumah lo ke sini."
"Ini aku ya yang mau ngomel sama kamu! Kenapa malah kamu yang jadinya ngomel-ngomel?!"
Karel menghela napas. Kepalanya masih terasa berat karena kelamaan tidur. Kalau ia turuti untuk berdebat dengan Kalea, yang ada kepalanya akan pecah. Maka dengan segenap kesabaran yang masih ia punya, Karel mengalah. Ia membiarkan Kalea mengeluarkan seluruh isi kepalanya.
"Yaudah, coba jelasin kenapa marah-marah?" tanya Karel dengan nada selembut mungkin.
"Kamu kenapa cuekin aku?" ada kabut tipis yang menyelubungi bola mata Kalea saat gadis itu bertanya.
"Kapan sih gue cuekin lo?"
"Dari tadi sore sampai sekarang!"
"Gue ketiduran, Kale. Nggak ada gue cuekin lo. Nggak ada untungnya juga." Karel masih menjawab dengan sabar.
"Tapi telepon aku nggak diangkat! Kamu tidur apa mati sampai nggak bisa angkat telepon aku?"
"Mulutnya kalo ngomong! Ya gue nggak denger, hpnya gue silent."
Hening kemudian. Karel tidak tahu apa yang Kalea pikirkan di dalam kepalanya saat ini. Entah gadis itu sedang berusaha mencerna penjelasannya kemudian menganggukkan kepala maklum atau justru gadis itu sedang mencari-cari alasan lain untuk terus merengek dan mengomeli dirinya.
"Maaf deh udah bikin lo ngerasa dicuekin. Tapi suwerrrr gue sama sekali nggak ada niat kayak gitu." Karel mengangkat jarinya yang membentuk huruf V, menatap Kalea yang duduk di sebelahnya dengan tatapan paling tak berdosa. Berharap gadis itu akan segera luluh dan mereka bisa mengakhiri drama ini sekarang juga.
"Ada syaratnya."
"Hah?"
"Ada syaratnya kalau mau aku maafin."
"Apa?"
"Beliin aku kinderjoy. Sebelas."
"Buseeeetttt. Itumah malak namanya!"
"Ya kalau mau, kalau nggak ya nggak apa-apa!"
"Iya iya, gue beliin. Sana balik dulu ambil celana!"
"Aku pake celana ya!" Kalea tiba-tiba berdiri, menyibakkan kaus oversize nya demi menunjukkan celana pendek di atas lutut yang ia kenakan.
"Heh! Turunin! Nggak sopan buka-buka begitu!" Karel panik, ia buru-buru menyuruh Kalea menurunkan kembali bajunya. Padahal ia juga tidak bisa melihat apa-apa karena Kalea hanya mengangkat bajunya sedikit sampai celana pendeknya kelihatan.
Melihat reaksi Karel yang heboh seperti biasanya, Kalea tergelak. Dengan begini saja dia sudah lega. Paling tidak dia tahu Karel memang tidak sedang mendiamkannya. Suasana hati Kalea sudah kembali baik, jadi dia dengan senang hati menggamit lengan Karel, menuntun lelaki itu untuk memenuhi janjinya membelikan kinderjoy.
"Let's go! Beli kinderjoy, sebelas!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Dewi Payang
Cemburu Karel😄
2022-10-25
2
harie insani putra
hahaha, lanjut thoorrr
2022-10-20
1