The Shadow Enchantress

The Shadow Enchantress

1. Terbangun di Tubuh Berbeda

Ini bukan tubuhku.

Kesadaran itu berbunyi dengan kencang di kepala, bagai perinagtan, sejak detik pertama aku bangun dan membuka mata.

Kesunyian lantas mengisi gendang telingaku, dan sensasi asing mengisi seluruh inderaku yang lain. Sebelum menggantinya dengan sejuta tanya dan degup jantung yang meningkat secara konstan dari waktu ke waktu.

Aku menunduk, menatap kedua tangan yang tampak asing. Ini jelas bukan tanganku. Tangan ini terlalu kurus, jari jemarinya terlalu lentik, dan kulitnya terlalu putih.

“Ini….” Seketika, aku langsung menutup mulut kembali.

Aku langsung menoleh ke kanan kiri, Tidak ada siapa pun selain aku. Hanya aku sendiri di kamar ini. Yang artinya, suara lembut tadi … adalah suaraku.

Tapi itu bukan suaraku.

Aku tidak ingat suaraku sejernih dan selembut itu. Suaraku adalah suara yang sedikit serak dan rendah, bahkan sumbang di beberapa kesempatan. Tidak merdu dan … asing seperti suara itu. Tapi tidak peduli seberapa keras pun aku menentang, pada kenyataannya, suara indah tadi memang keluar dari tenggorokanku. Itu memang suaraku. Sama seperti halnya tangan asing ini … adalah tanganku.

Apa yang terjadi?

Kepanikan langsung melanda pikiranku, mengganti kebingungan yang sebelumnya ada di sana. Berbagai pertanyaan membanjiri otakku yang sebelumnya terasa kosong: siapa, di mana, bagaimana, kenapa; semua pertanyaan itu menumpuk menjadi satu kekacauan yang langsung membuatku panik.

Mataku melirik ke kanan kiri dengan liar. Tanganku menutupi mulut, mencegah bunyi napas keluar dari sana.Aku lantas menekuk kedua kaki yang, entah bagaimana masih utuh, berikut kedua tangan. Aku meringkuk sampai punggungku bersandar pada sesuatu dan terus seperti itu. Sampai aku merasa aman.

Setiap sudut tempat ini terasa asing.

Tidak ada yang bisa aku kenali. Tidak ada yang terasa familiar.

Bahkan tangan yang sedang memegang wajahku sekarang, tidak ada sensasi yang terasa familier. Kulitku rasanya lebih tipis dengan indera peraba yang terletak terlalu dekat dengan permukaan kulit.

Ini bukan indera-ku.

Bukan sensasi yang biasa aku dapat dengan panca indera.

Aku lalu meraba-raba wajah, merasakan tulang pipi yang timbul: pipi yang tirus, kulit yang halus tapi sedikit kering, dagu yang runcing, bibir yang kering, dan rambut … langsung terperangah saat menyadari rambutku berwarna putih.

Putih keperakan saat diterpa sinar matahari.

Tunggu—sinar matahari?!

Pandanganku memelesat cepat ke arah pilar cahaya yang menyelinap masuk ke dalam ruangan tempatku bernaung.

Sejenak, aku melongo melihat besarnya ukuran jendela itu.

Jendela ini lebih besar dari pintu rumahku! Tidak, setidaknya jendela ini sebesar pintu parlemen di tempat asal….

Tempat asal….

Dua kata itu terngiang di kepalaku sekali lagi, menyadarkanku akan lebih banyak pertanyaan yang harus diselesaikan segera. Dengan langkah tertatih, aku merangkak dari atas alas empuk yang ternyata adalah ranjang berukuran besar, dengan selembar selimut tipis dank ain putih yang tampak kumal dan kotor di berbagai sisi.

Ketika aku bangun, kedua kaki terasa begitu lemah. Beberapa kali aku harus jatuh dan berpegangan pada selimut sampai kain itu melorot dari ranjang hanya karena kakiku terasa serapuh ranting pohon. Berdiri saja rasanya sangat sulit.

Kepalaku seketika diterpa pusing. “Ugh!”

Rasanya dunia seperti berputar tidak terkendali di sekeliling. Aku mencoba mencari pegangan. Awalnya kembali ke kasur, lalu berdiri dengan nakas di samping kepala ranjang sebagai pegangan.

PRANG!

Sayangnya, tanganku yang juga kikuk malah tidak sengaja menyenggol segelas air yang penuh di atas nakas sampai jatuh ke lantai. Dalam sekejap, lantai jadi berantakan, penuh dengan air yang mengalir dan pecahan kaca dari gelas. Dengan langkah kaki yang kikuk, aku mengabaikan kekacauan itu dan melangkah mendekati jendela yang terbuka.

Sambil bersandar di dinding, aku perlahan mendekati jendela. Tangan masih menempel pada dinding saking tidak mampunya berjalan.

“Apa-apaan … tubuh lemah ini?” gerutuku kesal. “Apa aku tidak makan tiga hari atau apa?”

Pada akhirnya, aku berhasil menghampiri sepetak kaca raksasa itu tanpa melukai kaki sendiri atau terjatuh berulang kali. Dengan sisa tenaga, aku meraih tirai itu dan bersandar di kaca. Lalu dengan segenap kekuatan, aku berdiri tegap, meraih tirai yang terbuka—tempat cahaya itu berasal—dan menyibaknya.

Cahaya matahari langsung menyakiti mataku. “Ugh!”

Tidak hanya tubuh yang lemah, kepala yang senantias pusing, sekarang aku juga menghadapi mata yang sensitif pada cahaya? Astaga, aku ini sebenarnya ada di tubuh siapa? Apa-apaan tubuh super aneh ini?

Ketika mataku sudah mulai terbiasa dengan cahaya, aku mengintip ke balik dua lapis tirai yang menutupi kaca—tirai tebal yang gelap dan tirai tipis yang semi-transparan—dan aku malah mendapati diri lebih kaget lagi dari sebelumnya.

“Ini … sebenarnya tempat apa ini?”

Sebuah taman membentang di bawah jendela kamarku. Jauh di bawah sana, di jarak yang sudah pasti akan meremukkan tubuhku jika berani melompat dengan tubuh serapuh ini.

Taman itu menghijau oleh dedaunan yang subur dan bersemi oleh bebungaan yang mekar merekah di sepanjang semak yang ditata rapih digunting dalam bentuk petak-petak imut, menuju gerbang putih raksasa yang membentang luas memagari sebuah kompleks yang aku rasa sebuah rumah raksasa.

Sebuah puri. Mansion. “Aku .. ada di mansion?”

Tunggu sebentar.

Mansion? Kata apa itu? Dari mana aku tahu kata—

Sebelum aku dapat mencerna apa yang terjadi, sekelumit gambaran jatuh berduyun-duyun menimpa ingatanku yang terjaga.

“Aku … ingat….” gumamku tidak percaya. Air mata mengalir di pipiku. “Aku ingat semua….”

***

Aku menatap nanar ke arah sebuah tulisan yang dicetak dengan tinta hitam di penghujung halaman dari buku yang aku baca.

Tamat.

Dengan lesu aku menutup buku itu, mencoba beristirahat dari cerita yang begitu tidak diduga. Mungkin akan lebih lama kali ini. Pandanganku lantas berpindah ke arah jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh sore.

“Masih ada tiga jam lagi sebelum tutup.” Kali ini bukan suara yang asing. Ini suaraku! Benar-benar suaraku yang serak dan sumbang. Tidak terbayangkan betapa aku rindu mendengarkan suara sendiri sekarang.

Tapi anehnya, aku tidak bisa bicara sesuai isi hatiku. Karena … ah, benar. Aku pernah melalui ini. Tempat ini, aktivitas ini … semua ini adalah tempat yang aku kenal. Tempat dengan jajaran rak buku tak berujung dan atap yang super tinggi dan lantai yang bertumpuk-tumpuk ini, tidak salah lagi, ini adalah perpustakaan kota Jakarta.

Dan aku yang ingin menulis resensi buku … ah, benar, aku baru saja menamatkan membaca satu buku. Pandanganku kemudian tertuju ke arah buku bersampul merah marun di meja itu. Sebuah buku tergeletak tidak jauh dari tanganku. Dengan sampul merah marun, buku itu tergeletak tanpa gambar, hanya ada tulisan tinta emas yang tercetak di sampul itu.

Transcient Dream.

Aku menghela napas. “Mungkin nanti-nanti aja aku posting resensinya di blog. Ugh … book hangover kali ini kayaknya bakalan parah.”

“Ada apa?” Seorang pemuda berambut hitam dengan kacamata persegi menggantung di pucuk hidungnya muncul di pandanganku.

Ia duduk di kursi seberang dengan mudah. Senyum hangat terlukis di wajahnya, lalu matanya tertuju ke bawah lagi.

Aneh sekali. Ia tampak akrab denganku. Dan aku pun tidak melarangnya duduk di kursi seberang sana. Apa kami akrab? Tapi kenapa … tidak seperti tempat ini … aku tidak bisa mengenali pemuda itu sama sekali?

“Setelah baca buku itu, kenapa kamu jadi lesu?”

“Endingnya nggak sesuai yang aku harapkan.” Mulutku sekali lagi bergerak sendiri. Bahkan, bicara dengan akrab dan tenang. Seperti bicara dengan teman lama. Aku ingin menutup mulut, tapi tidak bisa.

Ini … ini adalah kenangan. Memori yang sudah berlalu.

Pemuda itu tertawa. “Kamu udah set bar ekspektasi sebelum kamu menyelesaikan membaca buku itu? Tumben sekali. Nggak seperti Ancika yang aku kenal.”

“Soalnya promosi soal novel ini ada di mana-mana. Banyak yang review bagus juga di berbagai blog dan situs baca.”

Pandangan sekali lagi terarah ke buku Transcient Dream itu. Hampir seketika, aku mengingat buku itu kemudian.

Itu adalah novel fantasi-tragedi yang sudah aku baca sampai tamat!

“Kamu udah melakukan riset soal pengarang dan berbagai hal soal pembuatan buku itu? Seharusnya di salah satu promosinya tertera referensi bacaannya, kan?”

“Nah, justru di situ! Semua buku yang dikaitkan sama novel ini menarik minatku.” Aku lanjut mengeluh dan ingat … memang aku mengeluh seperti itu sebelumnya. Aku begitu tidak suka pada akhir buku Transcient Dream yang baru saja aku selesai baca. Akhirnya membekas di kepala dengan cara yang sangat tidak menyenangkan, sama seperti semua bagian alurnya yang sangat….

Menyedihkan.

Kata itu bergema, tidak hanya dari mulutku, tapi juga dari kepalaku.

“Apa boleh buat, kan? Semua buku yang udah tertulis kata tamat di dalamnya, artinya kisah itu memang sudah berakhir dan kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”

Aku terkesiap sedikit. Kata-kata yang diucapkan dengan nada sedih itu menarik perhatianku. Di seberang, pemuda itu tampak sedih.

Aku menghela napas. “Tapi kalau aja endingnya bisa diganti … lebih bahagia, gitu. Seenggaknya untuk tokoh utamanya yang sama sekali nggak tau apa-apa soal semua tragedi masa lampau itu. Kan, bukan salahnya dia juga benua Soleil musnah.”

Sementara aku mengeluh, mata sang pemuda tertuju ke arah meja selama beberapa saat sebelum sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Dan matanya … matanya menatapku.

Tapi ada yang aneh dengan caranya memandangku.

Kenapa … rasanya mata pemuda itu menatap tepat ke mataku?

Bukan sekadar menatap mataku yang ada dalam kenangan ini, tapi juga seperti … menatap diriku yang sedang mengingat ini sekarang.

“Kisah yang tamat memang tidak bisa kita ubah lagi,” jelas pemuda itu. “tapi jika itu kisah baru yang belum pernah ditulis, kamu bisa menuliskan akhir kisah yang kamu inginkan, sesuai keinginanmmu, Ancika.”

***

Aku tersentak dengan mata membelalak terbuka. Warna putih mengisi kepalaku. Ingatan tadi terpotong di sana. Berakhir di sana. Tapi setidaknya aku ingat sekarang. Dari mana aku berasal dan siapa aku.

Aku adalah Ancika, seorang pegawai swasta yang merangkap seorang blogger. Aku tinggal di Jakarta.

Tanganku menggenggam tirai dengan tangan bergetar. Lututku tidak bisa lagi menopang tubuh dan tanpa kuasa, tubuhku pun melorot ke lantai. Benakku masih tidak memercayai apa yang baru saja aku ingat. Tapi itu memang nyata adanya. Aku ingat tempat itu, aku ingat kejadian itu, dan aku jelas ingat buku Transcient Dream itu.

Lantas, kalau aku asalnya dari Jakarta, tempat ini … tempat asing ini .. sebenarnya ada di mana?

Mataku beredar ke ruangan yang gelap itu. Masih saja tidak ada yang aku kenali di dalam kamar ini. Yang bisa aku simpulkan hanya, kamar ini bergaya arsitektur Eropa abad pertengahan dengan banyaknya hiasan model Baroque yang menghiasi setiap sudut dinding dan bahkan menghiasi kepala ranjang. Langit-langit yang penuh dengan lukisan dari astronomis, karpet yang membentang luas di lantai, serta pintu dan jendela yang ukurannya tidak masuk akal … yang hanya pernah aku lihat di dalam acara-acara tus kastel tua di Eropa.

“Kenapa….?”

Kenapa aku bisa ada di tempat ini? Bagaimana bisa? Apa ini semua hanya mimpi?

Aku mencubit tanganku sendiri, merasakan tulang di balik selapis kulit dan daging yang tipis itu, merasakan sakit walau lebih terasa kebasnya daripada sakitnya.

Tidak, ini nyata. Ini bukan mimpi.

Tapi bagaimana bisa aku terdampar di tempat ini?

Dan pertanyaan terbesarnya adalah … di tubuh siapa aku berada sekarang ini?

Dengan lemah, aku melangkah menjauh dari jendela. Masih mencai pegangan sepanjang jalan. Lalu aku tiba di depan lemari. Ada sebuah kaca rias seukuran badan di sana.

Dan untuk kesekian kali, aku syok luar biasa sampai melorot di lantai.

Itu sama sekali bukan wajahku!

Rambut panjang perak tergerai yang menjuntai tidak begitu terawat sampai ke pinggang, kulit yang pucat, dan mata yang berwarna violet … itu semua bukan milikku!

Tubuh siapa ini?

Aku mengenakan gaun yang mirip gaun tidur di Eropa pada abad pertengahan. Gaun tipis yang modelnya berupa terusan dengan rok yang menjulur sampai ke mata kaki seperti kain dan lipit sederhana di tepian gaun. Warnanya putih, tapi tidak seputih rambutku. Malahan, warnanya tampak kumal dan kotor … seperti warna sprei kasur tempatku berada tadi.

“Kenapa….?” Aku memandangi tangan sendiri dan menyadari betapa keriputnya jari jemariku. “Kenapa … aku terlihat tidak terawat sekali?”

Aku lalu memandang sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tadi saat bangun tidak terasa, tapi sekarang aku merasa ruangan besar dengan atap yang bahkan lebih tinggi dari gedung tempat kerjaku dulu ini, terasa amat pengap dan lembab. Dingin. Perapian di dalam kamar tidak menyala. Di atas juga tidak ada saluran yang menyebarkan hangat ke sepenjuru rumah.

Kamar ini, seperti kamar yang tidak dipakai. Bahkan, kamar ini lebih mirip gudang daripada kamar, jika saja barangnya tidak begitu tertata.

Firasatku tidak enak.

“Aku harus keluar dari sini!” Dengan susah payah, aku bangkit berdiri. Langkahku tergopoh-gopoh dan berkali-kali ambruk di jarak yang membentang antara lemari dan pintu kamar yang tertutup rapat. Aku mengutuk betapa luasnya kamar ini ketika merasa langkah kakiku tidak membawaku ke mana-mana.

Hingga ketika pada akhirnya aku bisa mencapai pintu, dengan napas terengah-engah, aku mencoba menarik pintu itu.

Tidak bisa.

Pintu itu tidak bergerak.

“Pintunya … dikunci?”

Apa lagi ini?!

***

Terpopuler

Comments

IG: @sskyrach

IG: @sskyrach

Hay aku pembaca baru dari Vampire Princess And Wolf Prince

ceritanya menarik, semangat terus ya!!!

2022-10-12

1

Andhea

Andhea

Ide ceritanya menarik u,u

2022-10-03

1

Syhr Syhr

Syhr Syhr

Suara wanita yang sangat diidamkan kaum wanita.

2022-09-16

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!