Kamar itu tidak lagi terasa begitu menakutkan setelah aku mendapat keberadaan seorang teman. Selepas “menolongku” dari lorong di depan, pelayan wanita itu segera menyalakan penerangan di kamarku.
“Kamar ini tidak punya lilin yang tersisa? Astaga!” Pelayan wanita itu memekik. Ia menoleh kepadaku, tersenyum dengan wajah menyesal. “Mohon tunggu sebentar, Nona. Saya akan mencari-cari penerangan dulu. Siapa tahu ada penerangan cadangan di dalam sini.”
Pelayan itu mewujudkan kata-katanya dengan serius. Ia mencari ke berbagai tempat di kamar, tentunya dalam pengawasanku. Ia bahkan meminta izin ketika akan memeriksa laci dan duvet. Aku yang tidak tahu ada apa saja di sana pun memberi izin, menyadari mungkin pelayan wanita ini tidak seberapa buruk karena ia meminta izin setiap kali akan bertindak.
Tapi tetap saja aku tidak bisa menyerahkan begitu saja kepercayaanku. Dia bisa saja sedang mencari-cari sesuatu yang bisa menguntungkannya. Bisa saja ia punya rencana sendiri dalam pikiran.
Jadi aku pun bangkit dari kasur dan kadangkala mengintip apa yang ia temukan di dalam laci.
“N-Nona Madeleine!” Pelayan wanita itu memekik saat aku bangkit dari kasur. Memang tubuhku masih limbung dan harus bersandar di salah satu tiang ranjang untuk berdiri tegap. Tapi aku tidak mau menyerahkan semua hal pada pelayan, apalagi pada pelayan yang baru aku temui. “Nona seharusnya jangan bergerak dulu.”
“Aku tidak mungkin membiarkan….” Kata-kataku berhenti. Pelayan wanita itu menatapku penasaran, menunggu kelanjutan kalimatku.
Oh, tidak, aku lupa. Dia adalah pelayan. Aku adalah majikan, kan? Sekalipun aku dalam kondisi menyedihkan begini, aku tetap majikan. Jika aku sampai salah bicara atau mengatakan sesuatu yang aneh, bisa bahaya.
Tapi, kata-kata yang tidak mencurigakan seperti apa ya? Tampil arogan? Aku jelas tidak suka itu. Tampil rendah diri dan langsung membantunya bersih-bersih, jelas tidak mungkin aku bergerak secepat itu, apalagi dengan kondisi tubuh lemah begini.
“Aku tidak mungkin membiarkan….” Aku melanjutkan. “Kau mengacak-acak laciku tanpa pengawasanku langsung!”
Benar, ini satu-satunya cara. Agar aku melihat sendiri. Agar dia juga tidak curiga. Aku hanya berharap nada yang aku gunakan tadi tidak begitu arogan.
“Baik, Nona. Saya mengerti,” Pelayan itu mengangguk. Lalu ia melangkah mendekat. “Biar saya bantu.”
Aku langsung menghentikannya di tempat. “Aku bisa sendiri.”
Meski perlahan, aku berhasil menghampiri pelayan itu dan dalam pengawasanku, perempuan itu pun kembali memeriksa setiap celah dan laci yang ada.
***
Sayangnya, kecurigaanku tidak terbukti. Di dalam semua laci, nakas, dan duvet, tidak ada apa pun yang bisa dipakai.
Akhirnya, terpaksa, kami mengandalkan cahaya bulan yang masuk dari jendela sebagai penerangan. Sangat kurang, tapi aku tidak bisa berbuat lebih.
Mataku menyipit memandang pelayan wanita yang membungkukkan badan di hadapanku. Segera setelah pencarian kami terbukti sia-sia, ia meminta izin kepadaku:
“Saya permisi mengambil air dulu untuk membasuh, Nona.” Air untuk membasuh? Siapa yang ingin ia basuh? Aku maksudnya? “Saya permisi dulu.”
“Kaki dan tangan saja,” ujarku.
Pelayan itu terperanjat. “Apa?”
“Aku tidak mau lepas baju,” ujarku menerangkan. “Basuh kaki, leher, dan tangan saja.”
Sejujurnya, aku tidak menyangka ia akan kembali ke kamarku. Aku mengira ia memang hanya mencari-cari sesuatu, entah disuruh siapa, lalu akan pergi setelah memastikan memang tidak ada apa-apa di dalam kamarku.
Rupanya aku salah.
Pelayan wanita itu kembali lagi ke kamarku dengan satu wadah air dan kain putih kecil.
Ia lalu membasuh seluruh tubuhku dari kepala sampai kaki dengan kain lembut yang terasa seperti handuk itu. Hangat.
Untuk pertama kalinya sejak aku bangun, aku merasakan kenyamanan. Sayangnya, pelayan wanita ini mungkin kurang setuju.
Saat membuka kaki gaunku sedikit, wajahnya langsung pias. Sempat ia memekik dengan wajah ketakutan saat melihat kedua kakiku, tapi ia buru-buru minta maaf dan langsung melanjutkan membasuh.
Lebih lanjut, pelayan wanita itu membasuh tubuhku dengan wajah sedih berkali-kali saat melihat lebam dan bekas cekikan di berbagai tempat di tubuhku. Saking sedihnya, aku hampir mengira ia akan menangis melihat lebam-lebam yang segar itu. Rasanya memang sakit saat ia membasuhnya, tapi jelas sekali pelayan ini berusaha lemah lembut kepadaku. Dia memperlakukanku seperti boneka yang bisa pecah kapan pun. Aku menghargai itu.
Tapi aku tidak boleh lunak. Aku tidak boleh menurunkan kewaspadaan. Setelah apa yang terjadi padaku tadi, siapa pun bisa saja jadi musuh.
“Saya akan ambilkan salep dulu untuk luka-luka ini. Nona tunggu dulu di kamar ini.” Pelayan wanita itu segera bangkit berdiri, membawa serta wadah air itu bersamanya. “Saya permisi dulu.”
“Tunggu.”
“Ya, Nona?” Pelayan itu berhenti. “Apa ada lagi yang Nona butuhkan?”
Mendadak saja aku teringat sesuatu.
“Bukannya tadi kau bilang ada jebakan di luar?” tanyaku. “Bagaimana kau bisa berjalan keluar bolak-balik sementara aku tidak?”
Perempuan itu tampaknya sadar aku sedang membahas air di tangannya dan salep yang akan ia ambil.
“Air ini .. dan salep itu ada di kamar saya.” Pelayan perempuan itu berkata. “Jika hanya berjalan dari sini ke kamar saya, seharusnya tidak melawan peraturan “tiga langkah di lorong”. Selama saya masih ada di lantai ini. Ceritanya memang akan lain jika saya pindah ke lantai di bawah.”
Peraturan tiga langkah di lorong? Apa maksudnya itu? Dia mau bilang kamarnya kurang dari tiga langkah di luar? Tidak, tunggu, “lorong”? Maksudnya … apa maksudnya ada jalan rahasia yang tidak memerlukannya untuk berjalan di lorong?
“Apa masih ada yang ingin Nona tanyakan?” Pelayan itu bertanya lagi dengan sopan.
Sesaat aku terdiam, sebelum memutuskan untuk bertanya: “Kenapa kau menolongku?”
Pelayan wanita itu mematung. Perlahan, ia menoleh. Dalam keremangan cahaya kamar, aku bisa melihat matanya menatapku dengan sorot yang meski kaget, tetap terlihat hangat dan ramah. Tidak terlihat ada niatan aneh sedikit pun dari wajahnya. Andai saja, isi hatinya juga selaras seperti itu dan aku bisa memastikannya.
“Karena saya adalah pelayan keluarga Arcantrina. Dan Anda adalah Nona Madeleine Arcantrina.” Ia tersenyum hangat. “Itu saja sudah cukup bagi saya untuk melayani Nona.”
Setelah wanita itu pergi, aku kembali bangun dan memeriksa seluruh isi kamar. Ada aroma yang tidak sedap entah datang dari mana sedari tadi. Entah pelayan wanita itu tidak menyadarinya atau memang tidak mau tahu sampai bisa mengabaikannya. Mungkin yang kedua.
Dengan langkah gontai, aku mencoba menghirup aroma itu, mengendus jejaknya dan mencari tahu dari mana asal bau tidak sedap itu. Sampai aku sadari, bau itu berasal dari kolong ranjangku sendiri. Dengan susah payah, aku duduk di lantai dan mengintip ke balik kasur, mengangkat seprai dan membungkus tebal kasur besar itu.
Dan menemukan sebuah tray makanan terabaikan di kolong ranjang.
Aku membelalak ngeri melihat tray makanan itu. Aromanya semakin tajam dari sana.
“Apa-apaan ini? Siapa yang menaruh makanan basi di atas tray begini?!” deissku kesal. Aku memalingkan muka dan mengernyit. Asam lambungku rasanya naik sampai ke leher.
Tidak, tahan napas. Cukup tahan napas dan keluarkan sumber bau busuk itu jika tidak ingin terus menerus mencium aroma ini!
Aku pun menahan napas dan menyibak matras itu lagi, lalu menarik tray itu keluar dari kolong ranjang. Sambil menjepit hidung, aku melihat isi menu di dalam tray itu, menu yang sekarang tampak seperti sampah dan gumpalan gelap menjijikkan beraroma busuk. Ada sepotong roti berjamur, sup yang sudah berlendir dan mulai didatangi belatung, dan air yang keruh seperti air bekas cucian.
Dilihat dari kondisi makanannya, setidaknya makanan ini sudah rusak lebih dari satu hari. Tapi tidak diganti.
Kenapa? Apa “Madeleine” yang tidak ingin diganti? Ia tidak tahu atau sengaja tidak mau tahu?
Tidak, mungkin … lebih mungkin jika ia diabaikan dan tidak ada yang datang sepert ipelayan wanita tadi ke kamarnya.
Pertama adalah kekerasan. Kedua, makanan busuk. Apa-apaan yang sebenarnya terjadi di rumah ini?
Apa ini hidup sang Penjahat legendaris Madeleine Arcantrina? Tidak heran ia jadi penjahat yang dikenang sampai berabad-abad kemudian jika memang begini kehidupannya!
Aku benar-benar harus menemukan jalan kembali! Ayo, pikirkan! Pikirkan, Ancika! Pikirkan bagaimana kau bisa keluar dari tubuh Madeleine, dari dunia dalam novel ini, dan kembali ke dunia asalmu!
Tapi bagaimana caranya? Dari mana aku harus memulai?
Pintu kamarku diketuk.
“Permisi, Nona,” Suara pelayan wanita itu berbisik. “Saya bawa obatnya.”
Ah, benar juga.
Aku bangkit berdiri dan menghadap pintu. Benar, ada satu orang yang bisa aku tanyai. Orang yan entah kenapa, tiba-tiba muncul dengan anehnya di kamarku yang berantakan ini. Seolah ia baru muncul hari ini dan sebelum-sebelum ini, ia tidak pernah datang ke kamarku.
“Masuk.”
Pelayan wanita itu pun masuk dengan satu kotak yang belum pernah aku lihat. Mataku tidak lepas memandangnya. Apa tujuannya apa motifnya, apa kebohongan yang ia sembunyikan, aku harus tahu semuanya.
“Nona, saya akan balurkan—astaga!” Pelayan wanita itu melihat ke arah tray yang sudah aku keluarkan dari kolong kasur dan sekarang tergeletak di lantai. Tepat di dekat kakiku. “Bagaimana bisa masakan seperti itu—Nona, permisi sebentar, saya akan mengeluarkannya—
“Tidak perlu.” Aku naik ke kasur dan duduk di pinggirnya. “Luka-lukaku saja dulu.”
Pelayan itu tampak kaget, tapi langsung berhasil menguasai diri. “A-ah, baik, Nona.”
Ia pun buru-buru menutup pintu dan menghampiriku. Tanpa ragu ia berlutut di sebelahku. Tapi tentu saja, aku melihatnya mengernyit dan melirik jijik ke arah tray makanan busuk itu. Hanya satu kali, sebelum ia fokus membuka kotak yang ia bawa, mengambil satu salep dari sana. Salep itu berwarna jernih dan saat wadahnya dibuka, aku bisa mencium aroma herbal asing dari sana. Aroma yang menenangkan.
“Hei,” panggilku, sembari menyusun kata-kata dalam kepala. Aku tidak boleh tampil mencurigakan. Ingat itu baik-baik di kepalamu, Ancika! “Aku lupa, siapa namamu lagi, tadi?”
“A-ah, nama saya Marilyn, Nona.” Pelayan itu menjawab dengan ringan, tanpa terlihat heran sama sekali. Apa ini artinya kami memang tidak saling kenal sebelumnya? Atau aku tidak tahu namanya? Yang mana pun terasa aneh.
Rasanya seolah kemunculan pelayan ini, jadi terkesan mendadak dalam satu malam saja.
Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi terus. Aku tidak bisa percaya padanya.
Saat berpikir seperti itu, dari sudut mata, aku melihat sesuatu bergerak. Instingku yang dipenuhi kewaspadaan langsung melirik bayanganku yang samar di tembok sebelah sana. Sesuatu bergerak dari balik bayangan itu. Siluet di seberang sana tampak tidak stabil, seperti bergelung dan bergerak hidup.
Aku menyipitkan mata, lalu teringat pada kekuatan anak aneh yang aku terima beberapa waktu lalu. Saat itu aku ingat ada bayangan hitam mencekik dan melilit kedua tangan serta kakiku.
Benar, aku—Madeleine Arcantrina, sekalipun ia anak haram, darah Arcantrina tetap mengalir di dalam darahnya. Seperti kata Marilyn, dia adalah Arcantrina.
“Marilyn.” Aku menoleh dan pelayan itu mendongakkan kepalanya, menatapku tanpa sekali pun terlihat jijik.
Meski aku masih belum bisa percaya sepenuhnya pada pelayan ini, mungkin … aku masih bisa menggunakannya untuk cara yang lain.
Benar, pertama-tama aku harus mempersiapkan diri. Jadi jika kejadian hari ini terulang lagi, aku akan siap menghadapinya. Dan apa lagi kekuatan yang lebih berarti selain daripada informasi?
“Aku ingin keluar kamar.”
Tentu saja, pernyataan ini membuat Marilyn terlonjak kaget. “Tapi, Nona…”
“Kau yang tunjukkan jalannya.” Nada yang keluar dari mulutku benar-benar nada yang asing. Nada dingin dan keji yang bahkan sampai membuat diriku sendiri merinding. Tapi apa yang aku lalui hari ini sudah memberiku alasan untuk tidak bersikap lunak. Tidak kepada siapa pun. “Tunjukkan padaku jalan yang kau pakai untuk mengambil salep dan air itu, Marilyn.”
Aku akan mencari jalan pulang. Dan untuk itu, aku akan melakukan apa pun. Aku bersumpah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments