NovelToon NovelToon

The Shadow Enchantress

1. Terbangun di Tubuh Berbeda

Ini bukan tubuhku.

Kesadaran itu berbunyi dengan kencang di kepala, bagai perinagtan, sejak detik pertama aku bangun dan membuka mata.

Kesunyian lantas mengisi gendang telingaku, dan sensasi asing mengisi seluruh inderaku yang lain. Sebelum menggantinya dengan sejuta tanya dan degup jantung yang meningkat secara konstan dari waktu ke waktu.

Aku menunduk, menatap kedua tangan yang tampak asing. Ini jelas bukan tanganku. Tangan ini terlalu kurus, jari jemarinya terlalu lentik, dan kulitnya terlalu putih.

“Ini….” Seketika, aku langsung menutup mulut kembali.

Aku langsung menoleh ke kanan kiri, Tidak ada siapa pun selain aku. Hanya aku sendiri di kamar ini. Yang artinya, suara lembut tadi … adalah suaraku.

Tapi itu bukan suaraku.

Aku tidak ingat suaraku sejernih dan selembut itu. Suaraku adalah suara yang sedikit serak dan rendah, bahkan sumbang di beberapa kesempatan. Tidak merdu dan … asing seperti suara itu. Tapi tidak peduli seberapa keras pun aku menentang, pada kenyataannya, suara indah tadi memang keluar dari tenggorokanku. Itu memang suaraku. Sama seperti halnya tangan asing ini … adalah tanganku.

Apa yang terjadi?

Kepanikan langsung melanda pikiranku, mengganti kebingungan yang sebelumnya ada di sana. Berbagai pertanyaan membanjiri otakku yang sebelumnya terasa kosong: siapa, di mana, bagaimana, kenapa; semua pertanyaan itu menumpuk menjadi satu kekacauan yang langsung membuatku panik.

Mataku melirik ke kanan kiri dengan liar. Tanganku menutupi mulut, mencegah bunyi napas keluar dari sana.Aku lantas menekuk kedua kaki yang, entah bagaimana masih utuh, berikut kedua tangan. Aku meringkuk sampai punggungku bersandar pada sesuatu dan terus seperti itu. Sampai aku merasa aman.

Setiap sudut tempat ini terasa asing.

Tidak ada yang bisa aku kenali. Tidak ada yang terasa familiar.

Bahkan tangan yang sedang memegang wajahku sekarang, tidak ada sensasi yang terasa familier. Kulitku rasanya lebih tipis dengan indera peraba yang terletak terlalu dekat dengan permukaan kulit.

Ini bukan indera-ku.

Bukan sensasi yang biasa aku dapat dengan panca indera.

Aku lalu meraba-raba wajah, merasakan tulang pipi yang timbul: pipi yang tirus, kulit yang halus tapi sedikit kering, dagu yang runcing, bibir yang kering, dan rambut … langsung terperangah saat menyadari rambutku berwarna putih.

Putih keperakan saat diterpa sinar matahari.

Tunggu—sinar matahari?!

Pandanganku memelesat cepat ke arah pilar cahaya yang menyelinap masuk ke dalam ruangan tempatku bernaung.

Sejenak, aku melongo melihat besarnya ukuran jendela itu.

Jendela ini lebih besar dari pintu rumahku! Tidak, setidaknya jendela ini sebesar pintu parlemen di tempat asal….

Tempat asal….

Dua kata itu terngiang di kepalaku sekali lagi, menyadarkanku akan lebih banyak pertanyaan yang harus diselesaikan segera. Dengan langkah tertatih, aku merangkak dari atas alas empuk yang ternyata adalah ranjang berukuran besar, dengan selembar selimut tipis dank ain putih yang tampak kumal dan kotor di berbagai sisi.

Ketika aku bangun, kedua kaki terasa begitu lemah. Beberapa kali aku harus jatuh dan berpegangan pada selimut sampai kain itu melorot dari ranjang hanya karena kakiku terasa serapuh ranting pohon. Berdiri saja rasanya sangat sulit.

Kepalaku seketika diterpa pusing. “Ugh!”

Rasanya dunia seperti berputar tidak terkendali di sekeliling. Aku mencoba mencari pegangan. Awalnya kembali ke kasur, lalu berdiri dengan nakas di samping kepala ranjang sebagai pegangan.

PRANG!

Sayangnya, tanganku yang juga kikuk malah tidak sengaja menyenggol segelas air yang penuh di atas nakas sampai jatuh ke lantai. Dalam sekejap, lantai jadi berantakan, penuh dengan air yang mengalir dan pecahan kaca dari gelas. Dengan langkah kaki yang kikuk, aku mengabaikan kekacauan itu dan melangkah mendekati jendela yang terbuka.

Sambil bersandar di dinding, aku perlahan mendekati jendela. Tangan masih menempel pada dinding saking tidak mampunya berjalan.

“Apa-apaan … tubuh lemah ini?” gerutuku kesal. “Apa aku tidak makan tiga hari atau apa?”

Pada akhirnya, aku berhasil menghampiri sepetak kaca raksasa itu tanpa melukai kaki sendiri atau terjatuh berulang kali. Dengan sisa tenaga, aku meraih tirai itu dan bersandar di kaca. Lalu dengan segenap kekuatan, aku berdiri tegap, meraih tirai yang terbuka—tempat cahaya itu berasal—dan menyibaknya.

Cahaya matahari langsung menyakiti mataku. “Ugh!”

Tidak hanya tubuh yang lemah, kepala yang senantias pusing, sekarang aku juga menghadapi mata yang sensitif pada cahaya? Astaga, aku ini sebenarnya ada di tubuh siapa? Apa-apaan tubuh super aneh ini?

Ketika mataku sudah mulai terbiasa dengan cahaya, aku mengintip ke balik dua lapis tirai yang menutupi kaca—tirai tebal yang gelap dan tirai tipis yang semi-transparan—dan aku malah mendapati diri lebih kaget lagi dari sebelumnya.

“Ini … sebenarnya tempat apa ini?”

Sebuah taman membentang di bawah jendela kamarku. Jauh di bawah sana, di jarak yang sudah pasti akan meremukkan tubuhku jika berani melompat dengan tubuh serapuh ini.

Taman itu menghijau oleh dedaunan yang subur dan bersemi oleh bebungaan yang mekar merekah di sepanjang semak yang ditata rapih digunting dalam bentuk petak-petak imut, menuju gerbang putih raksasa yang membentang luas memagari sebuah kompleks yang aku rasa sebuah rumah raksasa.

Sebuah puri. Mansion. “Aku .. ada di mansion?”

Tunggu sebentar.

Mansion? Kata apa itu? Dari mana aku tahu kata—

Sebelum aku dapat mencerna apa yang terjadi, sekelumit gambaran jatuh berduyun-duyun menimpa ingatanku yang terjaga.

“Aku … ingat….” gumamku tidak percaya. Air mata mengalir di pipiku. “Aku ingat semua….”

***

Aku menatap nanar ke arah sebuah tulisan yang dicetak dengan tinta hitam di penghujung halaman dari buku yang aku baca.

Tamat.

Dengan lesu aku menutup buku itu, mencoba beristirahat dari cerita yang begitu tidak diduga. Mungkin akan lebih lama kali ini. Pandanganku lantas berpindah ke arah jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh sore.

“Masih ada tiga jam lagi sebelum tutup.” Kali ini bukan suara yang asing. Ini suaraku! Benar-benar suaraku yang serak dan sumbang. Tidak terbayangkan betapa aku rindu mendengarkan suara sendiri sekarang.

Tapi anehnya, aku tidak bisa bicara sesuai isi hatiku. Karena … ah, benar. Aku pernah melalui ini. Tempat ini, aktivitas ini … semua ini adalah tempat yang aku kenal. Tempat dengan jajaran rak buku tak berujung dan atap yang super tinggi dan lantai yang bertumpuk-tumpuk ini, tidak salah lagi, ini adalah perpustakaan kota Jakarta.

Dan aku yang ingin menulis resensi buku … ah, benar, aku baru saja menamatkan membaca satu buku. Pandanganku kemudian tertuju ke arah buku bersampul merah marun di meja itu. Sebuah buku tergeletak tidak jauh dari tanganku. Dengan sampul merah marun, buku itu tergeletak tanpa gambar, hanya ada tulisan tinta emas yang tercetak di sampul itu.

Transcient Dream.

Aku menghela napas. “Mungkin nanti-nanti aja aku posting resensinya di blog. Ugh … book hangover kali ini kayaknya bakalan parah.”

“Ada apa?” Seorang pemuda berambut hitam dengan kacamata persegi menggantung di pucuk hidungnya muncul di pandanganku.

Ia duduk di kursi seberang dengan mudah. Senyum hangat terlukis di wajahnya, lalu matanya tertuju ke bawah lagi.

Aneh sekali. Ia tampak akrab denganku. Dan aku pun tidak melarangnya duduk di kursi seberang sana. Apa kami akrab? Tapi kenapa … tidak seperti tempat ini … aku tidak bisa mengenali pemuda itu sama sekali?

“Setelah baca buku itu, kenapa kamu jadi lesu?”

“Endingnya nggak sesuai yang aku harapkan.” Mulutku sekali lagi bergerak sendiri. Bahkan, bicara dengan akrab dan tenang. Seperti bicara dengan teman lama. Aku ingin menutup mulut, tapi tidak bisa.

Ini … ini adalah kenangan. Memori yang sudah berlalu.

Pemuda itu tertawa. “Kamu udah set bar ekspektasi sebelum kamu menyelesaikan membaca buku itu? Tumben sekali. Nggak seperti Ancika yang aku kenal.”

“Soalnya promosi soal novel ini ada di mana-mana. Banyak yang review bagus juga di berbagai blog dan situs baca.”

Pandangan sekali lagi terarah ke buku Transcient Dream itu. Hampir seketika, aku mengingat buku itu kemudian.

Itu adalah novel fantasi-tragedi yang sudah aku baca sampai tamat!

“Kamu udah melakukan riset soal pengarang dan berbagai hal soal pembuatan buku itu? Seharusnya di salah satu promosinya tertera referensi bacaannya, kan?”

“Nah, justru di situ! Semua buku yang dikaitkan sama novel ini menarik minatku.” Aku lanjut mengeluh dan ingat … memang aku mengeluh seperti itu sebelumnya. Aku begitu tidak suka pada akhir buku Transcient Dream yang baru saja aku selesai baca. Akhirnya membekas di kepala dengan cara yang sangat tidak menyenangkan, sama seperti semua bagian alurnya yang sangat….

Menyedihkan.

Kata itu bergema, tidak hanya dari mulutku, tapi juga dari kepalaku.

“Apa boleh buat, kan? Semua buku yang udah tertulis kata tamat di dalamnya, artinya kisah itu memang sudah berakhir dan kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”

Aku terkesiap sedikit. Kata-kata yang diucapkan dengan nada sedih itu menarik perhatianku. Di seberang, pemuda itu tampak sedih.

Aku menghela napas. “Tapi kalau aja endingnya bisa diganti … lebih bahagia, gitu. Seenggaknya untuk tokoh utamanya yang sama sekali nggak tau apa-apa soal semua tragedi masa lampau itu. Kan, bukan salahnya dia juga benua Soleil musnah.”

Sementara aku mengeluh, mata sang pemuda tertuju ke arah meja selama beberapa saat sebelum sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Dan matanya … matanya menatapku.

Tapi ada yang aneh dengan caranya memandangku.

Kenapa … rasanya mata pemuda itu menatap tepat ke mataku?

Bukan sekadar menatap mataku yang ada dalam kenangan ini, tapi juga seperti … menatap diriku yang sedang mengingat ini sekarang.

“Kisah yang tamat memang tidak bisa kita ubah lagi,” jelas pemuda itu. “tapi jika itu kisah baru yang belum pernah ditulis, kamu bisa menuliskan akhir kisah yang kamu inginkan, sesuai keinginanmmu, Ancika.”

***

Aku tersentak dengan mata membelalak terbuka. Warna putih mengisi kepalaku. Ingatan tadi terpotong di sana. Berakhir di sana. Tapi setidaknya aku ingat sekarang. Dari mana aku berasal dan siapa aku.

Aku adalah Ancika, seorang pegawai swasta yang merangkap seorang blogger. Aku tinggal di Jakarta.

Tanganku menggenggam tirai dengan tangan bergetar. Lututku tidak bisa lagi menopang tubuh dan tanpa kuasa, tubuhku pun melorot ke lantai. Benakku masih tidak memercayai apa yang baru saja aku ingat. Tapi itu memang nyata adanya. Aku ingat tempat itu, aku ingat kejadian itu, dan aku jelas ingat buku Transcient Dream itu.

Lantas, kalau aku asalnya dari Jakarta, tempat ini … tempat asing ini .. sebenarnya ada di mana?

Mataku beredar ke ruangan yang gelap itu. Masih saja tidak ada yang aku kenali di dalam kamar ini. Yang bisa aku simpulkan hanya, kamar ini bergaya arsitektur Eropa abad pertengahan dengan banyaknya hiasan model Baroque yang menghiasi setiap sudut dinding dan bahkan menghiasi kepala ranjang. Langit-langit yang penuh dengan lukisan dari astronomis, karpet yang membentang luas di lantai, serta pintu dan jendela yang ukurannya tidak masuk akal … yang hanya pernah aku lihat di dalam acara-acara tus kastel tua di Eropa.

“Kenapa….?”

Kenapa aku bisa ada di tempat ini? Bagaimana bisa? Apa ini semua hanya mimpi?

Aku mencubit tanganku sendiri, merasakan tulang di balik selapis kulit dan daging yang tipis itu, merasakan sakit walau lebih terasa kebasnya daripada sakitnya.

Tidak, ini nyata. Ini bukan mimpi.

Tapi bagaimana bisa aku terdampar di tempat ini?

Dan pertanyaan terbesarnya adalah … di tubuh siapa aku berada sekarang ini?

Dengan lemah, aku melangkah menjauh dari jendela. Masih mencai pegangan sepanjang jalan. Lalu aku tiba di depan lemari. Ada sebuah kaca rias seukuran badan di sana.

Dan untuk kesekian kali, aku syok luar biasa sampai melorot di lantai.

Itu sama sekali bukan wajahku!

Rambut panjang perak tergerai yang menjuntai tidak begitu terawat sampai ke pinggang, kulit yang pucat, dan mata yang berwarna violet … itu semua bukan milikku!

Tubuh siapa ini?

Aku mengenakan gaun yang mirip gaun tidur di Eropa pada abad pertengahan. Gaun tipis yang modelnya berupa terusan dengan rok yang menjulur sampai ke mata kaki seperti kain dan lipit sederhana di tepian gaun. Warnanya putih, tapi tidak seputih rambutku. Malahan, warnanya tampak kumal dan kotor … seperti warna sprei kasur tempatku berada tadi.

“Kenapa….?” Aku memandangi tangan sendiri dan menyadari betapa keriputnya jari jemariku. “Kenapa … aku terlihat tidak terawat sekali?”

Aku lalu memandang sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tadi saat bangun tidak terasa, tapi sekarang aku merasa ruangan besar dengan atap yang bahkan lebih tinggi dari gedung tempat kerjaku dulu ini, terasa amat pengap dan lembab. Dingin. Perapian di dalam kamar tidak menyala. Di atas juga tidak ada saluran yang menyebarkan hangat ke sepenjuru rumah.

Kamar ini, seperti kamar yang tidak dipakai. Bahkan, kamar ini lebih mirip gudang daripada kamar, jika saja barangnya tidak begitu tertata.

Firasatku tidak enak.

“Aku harus keluar dari sini!” Dengan susah payah, aku bangkit berdiri. Langkahku tergopoh-gopoh dan berkali-kali ambruk di jarak yang membentang antara lemari dan pintu kamar yang tertutup rapat. Aku mengutuk betapa luasnya kamar ini ketika merasa langkah kakiku tidak membawaku ke mana-mana.

Hingga ketika pada akhirnya aku bisa mencapai pintu, dengan napas terengah-engah, aku mencoba menarik pintu itu.

Tidak bisa.

Pintu itu tidak bergerak.

“Pintunya … dikunci?”

Apa lagi ini?!

***

2. Kamar yang Terkunci

“Pintu ini terkunci…?” Keterkejutan menyetrum seluruh tubuhku seketika. Aku menggumam dengan tidak percaya. “Tidak, tidak, tidak!”

Tanganku yang menempel ke pintu langsung berusaha menarik kedua daun pintu yang tinggi, besar, nan kokoh itu.

Percuma.

Pintu itu terlalu kuat dikunci sehingag tubuhku yang tidak punya banyak tenaga, alih-alih bisa membukanya, malahan pelan-pelan melorot di lantai.

“Buka….!” Suaraku perlahan berubah parau. “Tolong, siapa saja yang ada di luar! Tolong buka pintu ini!”

Apa yang terjadi sebenarnya di sini? Tubuhku yang terlalu lemah, kamar tidak terurus, tubuh yang tidak terawat, perut yang perlahan berubah perih, lalu kamar yang terkunci….

“Buka! Aku mohon buka!” Ketukan dan tarikanku di pintu kamar berubah menjadi gedoran yang semakin lama semakin keras, seiring dengan suaraku juga yang semakin lantang berteriak meski kian parau dan kering. “Siapa saja!”

Siapa sebenarnya pemilik tubuh ini? Siapa sebenarnya “aku” sekarang? Ruangan apa ini? Kenapa meski terlihat seperti kamar, aku malah dikunci seperti seorang tahanan? Kenapa ruangan ini begitu tidak terawat dan aku pun juga berpenampilan lusuh dan seperti orang kena malnutrisi?

Semua pertanyaan itu tidak terjawab. Di bawah suaraku yang semakin parau dan tenagaku yang semakin habis, tidak ada satu tanya pun yang terjawab. Ini sama sekali tidak wajar!

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?!” Aku menjerit tidak tahan lagi. “Kenapa aku dikunci begini? Ini sebenarnya di mana? Apa salahku?!”

“BERISIK!”

BUGH!

Aku terkesiap ketika pintu tersentak kuat tepat di depan wajahku. Seperti digebuk dengan kencang dari sisi lain sampai hampir terbuka dari selopnya. Karena kaget, aku langsung terjerembab ke lantai. Pantatku yang seperti tidak berdaging langsung menghantam lantai yang keras.

Tapi aku bahkan tidak merasakan sakitnya.

Dengan mata nanar, aku menatap pintu itu. Apa baru saja ada seseorang menjawab? Dari suaranya … tadi itu suara lelaki?

“Si-siapa…?”

Suara siapa itu? Apa … dia sedang bicara padaku? Apa ada orang di depan pintu? Tapi … tadi ia tidak terdengar ramah. Ia malah berteriak begitu? Kenapa ia terdengar marah sekali? Apa aku … sudah terlalu berisik sampai mengganggunya?

“Siapa? Apa dua hari dikurung di kamar ini sudah membuatmu lupa dan jadi gila?”

Perlahan aku menjauh dari pintu. Tidak mungkin ada orang yang berniat baik berkata seperti itu. Tidak, ini tidak bagus. Yang ada di luar pintu itu … tidak punya niat baik padaku.

“Yah, baguslah.” Suara itu terkekeh. “Pada akhirnya. Aku sudah capek dan hampir kehilangan kesabaran! Kalau sudah begini, artinya tinggal sedikit lagi kau akan lenyap, kan?”

Pintu di depanku tiba-tiba bergetar. Ketakutan merayap di punggungku. Ada sesuatu di balik pintu yang sedang mendekat. Aku merasakannya! Dan itu sama sekali bukan sesuatu yang baik.

“Baguslah. Kau memang layak untuk disingkirkan.”

Tidak perlu mengenal suara itu untuk bisa ketakutan dengan ancaman yang diberikannya. Aku yang tidak tahu apa-apa mungkin akan lebih takut karena mendengar ancaman seperti itu dari orang yang tidak terlihat wujudnya. Terutama saat kau sadar, suara yang mengucapkan ancaman menakutkan itu bukanlah suara orang dewasa.

Itu suara anak-anak.

Suara seorang anak lelaki.

Kemudian kerakutan yang dirasakan oleh tubuhku ini … rasanya bukan ketakutan karena sekadar ancaman. Ini ketakutan yang sudah mendarah daging. Sepertinya … meski aku bukan pemilik tubuh ini ataupun mengenali suara itu, tubuh ini masih mengenalinya dengan baik.

“Ti-tidak, tolong….” Pintaku. “Tolong ampuni saya … saya tidak tahu….”

“Berisik!” Kebencian yang terkandung dalam suara dan kalimatnya tidak main-main. Kebencian yang mendalam yang tidak bisa dipermainkan dengan lelucon.

Apa yang sudah aku lakukan sampai laki-laki di depan pintu sana begitu membenciku?

Apa pun itu, sekarang aku tahu, aku tidak bisa keluar dari kamar ini. Tidak boleh.

Tidak sampai laki-laki itu pergi dari sana.

“Kalau kau masih bisa berbicara sebanyak ini, artinya kau pasti masih sehat-sehat saja di dalam, ya?” Terdengar suara cibiran. “Sudah aku duga Paman terlalu lembek memberikanmu hukuman. Kurungan seminggu itu mana cukup untuk membunuhmu! Tapi semua orang dewasa itu tolol! Mereka kira kamu sudah mati sejak kemarin dan hari ini menugaskan orang untuk membawa mayatmu.  Sampai suara gelas itu membuat seisi mansion Arcantrina ini terbangun.”

Telingaku berdengung. Kepalaku diserang pusing yang sama itu lagi. Tapi kali ini, aku tidak begitu saja kehilangan fokus.

Tadi dia bilang apa? Ar-cantrina?

Apa aku tidak salah dengar? Arcantrina itu, kan … itu nama salah satu keluarga di dalam novel Transcient Dream?!

Dengan syok, aku memegang wajah sendiri, menyentuh pipi, kemudian melihat rambut dan mengingat imej yang aku lihat dari di dalam cermin. Itu bukan wajahku, tapi … tapi jika aku ingat-ingat lagi, ada deskripsi yang cukup unik sampai aku mengingatnya dari novel Transcient Dream.

Yaitu soal salah satu antagonis di dalam tokoh cerita itu.

Keluarga Arcantrina. Keluarga dengan ciri khas berupa warna rambut perak dan mata violet. Penghasil Enchantress terbesar di kekaisaran Laumaji di benua Soleil. Selain fisik yang khas, mereka memiliki satu hal lagi yang khas. Kemampuan yang secara eksklusif hanya dimiliki oleh keluarga Arcantrina.

“Apa kau tidak bisa mati dengan tenang saja seperti seharusnya daripada membuat Nenek jadi marah di pagi hari seperti ini?” Belum sempat aku berpikir lebih jauh, udara di sekelilingku tiba-tiba berubah pekat. Suhu tiba-tiba berubah dingin. “Hei, Anak Haram?”

Sekujur tubuhku merinding, bergidik ngeri. Ketakutan yang tidak biasa merayap di punggungku dan sekali lagi, pintu di depanku bergetar. Aku buru-buru menjauh. Dari getaran pintu yang tidak biasa frekuensinya, instingku langsung tahu ada sesuatu yang berbahaya sedang terjadi. Dengan sisa tenaga yang ada, aku menjauh dari pintu, berharap bisa perlahan menjauh dari sana, selangkah demi selangkah.

“Kekang.”

Mendadak saja, sebuah suara bergema. Suara itu terdengar berulang-ulang di ruangan tempatku berada, di telingaku, bahkan dalam kepalaku. Suara apa itu tadi?

Kemudian, semua terasa sunyi: ruanganku, tubuhku, pikiranku. Semuanya kosong tidak bersuara. Sampai aku sadar sudah dengan bodohnya menghabiskan waktu dengan hanya melamun di depan pintu tanpa lari atau bertindak. Berpikir cepat, aku pun mencoba untuk bangkit dan mencari senjata untuk berjaga-jaga.

Namun gagal.

Tubuhku membeku. Tidak bisa bergerak sama sekali. Secara harfiah.

“Ter-tang-kap!” Suara di seberang pintu berkata dengan semangat yang keji.

Apa—apa yang terjadi?

Kaget dan bingung, aku menatap tubuh sendiri yang masih terjerembab kaku ke lantai. Tangan dan kakiku yang menempel langsung ke lantai, tidak bisa digerakkan sedikit pun. Sementara udara di sekelilingku semakin dingin. Jantungku bergemuruh. Ketakutan sudah mencapai leherku. Secara harfiah.

Anak laki-laki di seberang pintu tertawa.

“Rupanya kamu masih berdiri di depan pintu? Biasanya setelah mendengar bentakan begitu, kau akan langsung meringkuk kembali ke kasur. Hari ini kau rupanya jadi lebih berani setelah dikurung berhari-hari, ya? Atau mungkin kau hanya memang lambat. Bara. Belati.”

Aku mencoba berontak, mencoba melawan, tapi sia-sia. Tidak ada usaha yang berhasil. Malahan, pergelangan tangan dan kakik terasa sakit.

Seperti terbakar oleh gelang dari besi yang panas.

Mataku memandang nanar ke arah kedua tangan dan kaki, melihat pergelangan kaki dan tanganku memerah seperti terbakar dan mulai melepuh. Di tempat luka bakar itu menjalar, ulur-sulur hitam tembus pandang seperti bayangan hitam melingkar, membungkus tangan dan kakiku. Sulur hitam itu lalu perlahan merangkak naik, menuju paha, pinggang, pundak, dan mencapai leher.

Seketike mencekikku.

Saat itulah tubuhku jatuh ke tanah, ditekan oleh sulur yang menekan pundakku. Lantai yang dingin tidak terasa di kulitku yang membara dirajah rasa sakit dan panas bertubi-tubi. Mulutku intin teriak, tapi salah satu sulur bayangan itu membungkus kepalaku. Menutupi seluruh pandangan, mulut, dan penciumanku dengan kegelapan total. Aroma hilang dari hidungku, suara hilang dari mulutku, dan cahaya hilang dari mataku.

Tapi aku masih bisa menangis. Ironi, aku merasakan air mata keluar dari mataku, tapi tidak mengalir ke mana pun. Air mata itu terperangkap di antara sulur-sulur yang mencekik.

Kekuatan apa ini?

Tepat saat aku bertanya-tanya seperti itu, dalam ketersiksaan, nama Arcantrina kembali bergema dalam kepalaku. Arcantrina dan teknik membunuh mereka yang mematikan. Tapi aku gagal mengingat apa teknik membunuh mereka yang mematikan itu. Otakku sudah tidak bisa berpikir. Tubuh dan pikiranku terlalu dikuasai ketakutan.

“Ah, aku baru ingat. Jangan-jangan kau keluar karena….” Suara itu lenyap perlahan-lahan. Aku tidak dengar kelanjutannya. Tidak bisa. Karena suara dengan segera lenyap dari telingaku juga. Tertelan sepenuhnya oleh kegelapan mengerikan ini.

Aku mencoba memberontak, tapi sia-sia belaka. Malahan, semakin aku berusaha berteriak, leherku semakin terasa tercekik. Seolah ada tangan yang sedang mencengkam leherku dan semakin menguatkan pegangannya jika aku sampai berani berontak.

Kepalaku mencoba menggeleng kuat, tapi sekali lagi percuma. Jeritan tertahan di mulutku sama seperti pemberontakan tertahan di kepalaku.

“Tolong berhenti!” Aku ingin mengatakan itu, sekeras mungkin, dengan cara apa pun yang diminta oleh sang penyiksa ini atau kepada siapa pun di luar sana. Dengan cara apa pun.

Aku akan lakukan apa pun! Aku hanya ingin semua ini berhenti sekarang!

“Jeremy?”

Seketika, secepat datangnya, siksaan di seluruh tubuhku mendadak hilang. Lenyap tidak bersisa, meninggalkan kebas yang tidak bisa dijelaskan. Tubuhku jatuh lemas ke lantai dalam posisi tubuh membentuk huruf X yang baru saja aku sadari.

Seperti boneka marionette yang digunting benang-benangnya, aku terbaring ke atas lantai yang bahkan kini, tidak terasa dingin lagi. Aroma apak di ruangan tidak lagi tercium. Yang tersisa dariku hanyalah kehampaan dan … rasa lelah yang teramat sangat.

Apa dosaku? Apa yang sudah aku lakukan sampai pantas menerima semua ini?

“Sedang apa kau di depan kamar ini?”

Samar-samar aku mendengar suara lain. Tapi aku terlalu letih untuk bisa mengenalinya ataupun membedakannya dengan suara anak iblis itu. Aku tidak peduli.

“Bermain-main sebelum sarapan, seperti biasa!”

Anehnya, meski tidak bisa merasakan apa pun, aku masih bisa bergidik saat mendengar suara girang anak lelaki itu saat berbicara lagi. Sangat berbeda dari saat ia menyiksaku tadi.

“Segera hentikan main-mainnya dan ke meja makan sekarang. Kepala Keluarga sudah menunggu.”

“Nenek sudah datang? Asyik!”

Kemudian terdengar derap langkah yang menjauh dari depan pintu. Menjauh dariku. Akhirnya memberiku rasa aman untuk pertama kalinya semenjak aku terjaga.

Tapi apa gunanya?

Tubuhku bahkan tidak bisa lagi bergerak. Terlalu lemas dan lelah untuk sekadar menggerakkan jari. Tapi anehnya, meski ringkih luar biasa dan terasa kekurangan nutrisi, aku sama sekali tidak kehilangan kesadaran bahkan setelah disiksa habis-habisan begitu.

Tubuh macam apa ini? Apa aku … akan mendapatkan siksaan seperti ini terus selama tinggal di sini? Selama aku ada di tubuh ini? Hanya karena apa? Karena aku anak haram yang tidak diinginkan?

“Sial … sial….” Aku memaki lirih, terlalu lemah untuk bisa meluapkan semua emosi di dalam kepala.

Air mataku sekali lagi mengalir, menangisi nasib yang entah kenapa berubah menjadi seperti ini. Tanpa suara, aku menangis, meluapkan semua emosi dan rasa sakit yang tadi tidak sempat tersalurkan ke mana pun.

Ada banyak pertanyaan belum terjawab di dalam kepala, tapi memikirkannya saja tidak akan mengubah apa pun. Tidak akan ada jawaban yang muncul selama aku ada di sini. Tapi jika berani keluar, akan ada iblis yang siap menyiksaku lagi seperti tadi.

Apa yang harus aku lakukan?

“Aku mau pulang….” Dalam kesedihan dan kebingungan yang tidak menemukan jawaban, pertanyaan itu terus menggema di kepalaku, sampai kedua mataku akhirnya tertutup karena rasa lelah.

***

***

Sesuai kata-katanya, aku sekali lagi membuka mata.

Namun aku tidak berada di perpustakaan. Sekarang aku kembali ke langit-langit yang asing itu. Langit-langit putih yang terlalu tinggi, ruangan yang terlalu dingin dan beraroma apak, pakaian yang lusuh, tubuh yang ringkih, dan di tubuh yang sama sekali bukan tubuhku.

“Mimpi….” Suaraku berubah parau. Terdengar letih sekali. Selelah apa yang aku rasakan. Padahal aku berharap dunia inilah yang hanya mimpi dan yang tadi adalah nyata.

Kalau tahu perpustakaan tadi di dalam mimpi, aku tidak ingin bangun. Meletakkan lengan di atas kedua mata, aku pun berusaha sekali algi tidur. Berharap dengan demikian, aku akan tiba di perpustakaan itu lagi. Setidaknya merasakan sedikit sisa perasaan bahwa aku ada di rumah, sekali lagi.

Tapi, bukannya tidur, aku malah sesenggukan. Menangis tanpa henti.

“Aku mau pulang….”

***

3. Pengetahuan Tidak Terduga

“Buku apa yang lagi kamu baca itu?”

Aku tersentak kaget dan langsung menjerit. Tubuhku sampai terempas dan terjerembab jatuh dari kursi. Pantatku langsung membentur lantai dan aku pun mengaduh. Kemudian desis yang bersamaan langsung terdengar menggema.

Termasuk dari pemuda berkacamata yang berdiri di hadapanku. Dia meletakkan telunjuk di depan bibir. “Ini di perpustakaan! Jangan berisik kalau tidak mau diusir sama pustakawati!”

Aku tidak menutup mulut. Aku terlalu heran dan bingung dengan apa yang terjadi. Kepalaku menoleh ke berbagai arah dengan liar, mendapat balasan tatapan sinis dan heran dari beberapa orang. Untungnya tatapan itu tida berlangsung lama. Mereka langsung mengurusi urusan masing-masing. Meninggalkanku dan rasa maluku sendirian di lantai.

“Kamu nggak apa-apa? Tadi kayaknya kamu kebanting keras banget ke lantai.” Di depanku, seorang pemuda berkacamata membungkukkan badan dan mengulurkan tangan.

Pemuda yang sama yang ada dalam kenanganku. Pemuda yang … entah kenapa aku cari-cari. Tapi alih-alih memerhatikannya, aku justru melihat tangan sendiri. Tanganku lagi. Lalu aku mengenakan jaket yang sama seperti yang terakhir aku gunakan, berikut pula kaus yang familiar bermotif tulisan sebuah band. Ini benar-benar tubuhku.

Aku kembali ke tubuhku lagi.

Tapi aku yang masih tidak percaya pun masih juga mengedarkan pandang ke seluruh arah. “Ini … beneran di perpustakaan?”

“Ya … kamu kenapa?” Pemuda itu balik bertanya.

Aku seketika memeluk diri sendiri. “Mimpi. Tadi itu mimpi, kan? Ya, kan?” Tanpa sadar air mataku sekali lagi mengalir saat aku terisak. Dari sudut mata, aku melihat pemud aitu berlutut di depanku. Dan tak pelak, tangisanku semakin parah. “Aku nggak kuat! Aku mau pulang! Tolong antar aku pulang! Aku … aku nggak mau mimpi buruk kayak gitu lagi….”

“Tenang, kamu pasti bisa melaluinya.” Sebuah elusan terasa di atas kepalaku. Tapi alih-alih tenang, aku justru kaget dan menghindari dari sentuhan itu. Tepat di depanku, pemuda berkacamata itu tersenyum sedih. “Kamu pasti bisa bertahan.”

Aku terperangah kaget saat mata dari sang pemuda berubah warna menjadi kuning keemasan. Bukan coklat atau hitam selazimnya mata orang Asia. Rambutnya yang hitam pun melambai seakan ditiup angin, padahal itu di dalam ruangan.

Kemudian dengan suara lembut, ia mengatakan tepat ke depan wajahku: “Sudah saatnya bangun.”

***

Aku terbangun di tengah kegelapan.

Tidak perlu aku jelaskan betapa semangatnya aku ketika sadar, aku sama sekali tidak berpindah tempat. Masih di kamar terkutuk yang sama, di tubuh yang samal lemahnya. Bedanya, kali ini sekujur tubuhku rasanya remuk redam. Perih melanda tangan dan kaki saat aku mencoba menggerakkan mereka.

“Sial.” Aku memaki, lalu menangis lagi.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu yang aku habiskan untuk menangis, tertidur, lalu kembali menangis. Berkat usaha sia-sia itu, sepertinya mataku bengkak. Tapi bengkak mata adalah hal paling ringan yang bisa aku keluhkan sekarang. Aku mencoba mengucek mata, mengira kamar ini gelap karena mataku bengkak, tapi rupanya tidak. Memang tidak ada lagi banyak cahaya tersisa di dalam ruangan gelap nan pengap itu.

Menoleh ke arah jendela yang tadi, aku pun sadar, tidak ada lagi petak cahaya yang masuk. Yang ada hanyalah langit gelap dengan bintang gemintang yang samar-samar terlihat.

Sudah malam.

Jari jemariku menyentuh pergelangan tangan, daerah yang terasa paling perih. Dan aku langsung meringis. Sepertinya ada luka yang terbuka di sana, basah dan terasa berair. Nanah ataukah darah?

Kalau tidak segera diobati bisa-bisa….

Aku bergidik ngeri. Penyiksaku masih ada di luar sana, bebas, tidak sepertiku yang terkurung di sini. Jika aku tidak punya kaki untuk berlari atau tangan untuk melepaskan diri, aku akan benar-benar dalam kesulitan. Mungkin … akan lebih parah dari ini.

Mendadak saja mati tidak terasa begitu mudah lagi.

“Kamu pasti bisa bertahan.”

Suara pemuda itu kembali datang. Pemuda berambut hitam yang anehnya tidak bisa aku ingat namanya. Namun wajah dan figurnya sejelas mentari pagi. Segar dalam ingatan dan tidak lekang layaknya mimpi. Dan aku juga masih ingat betapa warna mata pemuda itu berubah di detik terakhir.

Apa maksudnya itu? Dan kenapa aku tetap tidak bisa mengingat namanya walau memperlakukannya dengan baik di dalam mimpi? Apa yang aku temui itu memang pemuda dari kenanganku ataukah sesuatu yang lain?

Kemungkinan kedua terasa masuk akal sekarang, setelah aku melihat betapa mudahnya mata pemuda itu berganti warna.

Apa pun dia, setidaknya ia benar untuk satu hal: aku harus kuat.

Karena aku harus pulang. Aku tidak bisa selamanya terjebak di tempat aneh dan menyakitkan ini. Aku harus pulang kembali ke Jakarta. Entah bagaimana caranya.

Sebuah tekad membara dalam dadaku. Mengisi kekosongan yang tidak aku sadari sudah begitu besar mengisi dada. Sekarang aku punya tujuan. Dan aku akan mencoba mencapai tujuan itu.

Dengan cara apa pun.

***

Di pinggir tempat tidur, aku terus melatih napas. Tarik dan buang, begitu berkali-kali dalam tempo yang lambat dan panjang. Masuk lewat hidung dan dikeluarkan lewat mulut. Seperti metode meditasi normal yang pernah diajarkan instruktur yoga di kantorku.

Kegelapan terasa semakin pekat. Keringat dingin mengucur membasahi leher setiap kali aku teringat pada kegelapan, pada bayangan yang tadi sempat mengikat seluruh tubuhku.

Kekuatan itu mustahil digunakan di duniaku dulu. Duniaku adalah tempat teknologi berada, tempat manusia berusaha dengan fisik dan intelegensi, bukan kemampuan aneh seperti itu.

Tapi siapa yang sedang aku bohongi? Aku datang sebagai Arcantrina, keluarga yang seharusnya hanya ada dalam sebuah novel: Transcient Dream.

“Ah, benar….”

Mengenai novel itu, aku ingat sesuatu soal Arcantrina. Sesuatu yang baru aku ingat sekarang setelah bebas dari rasa sakit.

Di novel Transcient Dream, keluarga Arcantrina adalah keluarga kuno penghasil Enchantress di kekaisaran Laumaji, satu dari sedikit kekaisaran yang besar di sebuah benua yang telah musnah bernama Soleil.

“Soleil….” Aku menggumam, mengingat penjelasan soal Soleil adalah benua mati tempat tinggal Arcantrina yang pendendam. Mereka banyak menghasilkan keturunan di sana, entah lewat jalur alami atau jalur buatan lewat alkemi. Tapi yang mana pun pilihan mereka, selalu dilakukan dengan cara yang mengerikan dan metode yang tidak manusiawi.

Tapi kalau ini bukan di Soleil lantas ini di mana? Dan bangunan ini jelas-jelas adalah puri. Padahal di novel, keluarga Arcantrina adalah keluarga pengembara. Benua Soleil sendiri adalah benua mati tempat tidak ada tumbuhan bisa hidup di sana. Tapi kalau begitu, bagaimana bunga-bunga ada di taman?

Aku harus mengumpulkan lebih banyak info lagi.

Dengan segenap tenaga yang berkumpul, aku bangkit berdiri. Langkahku masih limbung dan lemah seperti sebelumnya, tapi setidaknya aku sudah bisa berjalan tanpa berpegangan pada apa pun. Aku bisa berdiri.

Kemudian, aku berjalan ke arah pintu. Tanganku menyentuh gagang besinya yang dingin, sebelum tiba-tiba ingat dan jadi lesu.

“Ah, benar juga. Tadi pintu ini dikunci,” ujarku lemah, lalu aku menghela napas dan berbalik. “Sebaiknya aku—eh!”

Tanpa sadar, rok dari gaun tidurku menyangkut di pintu dan tidak sengaja, menarik salah satu daun pintu sampai sedikit terbuka.

Aku membelalak kaget. “Pintunya … tidak dikunci?”

***

Lorong yang membentang di balik pintu itu gelap tanpa ada penerangan satu pun. Tidak ada seorang pun juga. Hanya -cahaya bulan yang menyelinap masuk dari jendela-jendela kaca di ujung lorong yang menjadi sumber cahaya dan kesunyian yang jadi teman cerita.

Selama beberapa saat, aku terdiam di pinggir lrorong, mencoba membiasakan mata dengan kegelapan yang mengurung.

Tidak ada orang. Ini kesempatan!

Ketika mataku sudah terbiasa dan sudah bisa melihat sedikit dalam gelap, aku mulai meraba-raba dinding sebagai pegangan. Dengan satu tangan sebagai penyangga dan tangan yang lain berjaga-jaga menggenggam pecahan kaca yang tadi aku pungut dari kamar—bekas gelas yang aku pecahkan sedari siang.

Namun baru saja tiga langkah aku berjalan, cahaya remang-remang datang dari arah belakang.

Apakah itu laki-laki yang tadi? Aku terpergok?!

Jantungku berdegup kencang. Ketakutan segera melandaku. Setetes keringat menetes di pipi. Padahal tadi suhu tubuhku biasa-biasa saja, tapi sekarang jadi terasa panas sekali. Pecahan kaca di tanganku terasa dingin.

“Nona Madeleine?”

Aku langsung berputar dengan liar dan mengacungkan pecahan kaca itu. Tepat ke arah seseorang dengan seragam hitam yang berdiri tepag di belakangku. Wajahnya sama-sama kaget: matanya membelalak mulutnya menganga. Tapi tidak ada suara yang keluar dari sana. Sosok itu sudah lebih dulu menutup mulutnya dengan tangan sendiri.

Di bawah cahaya redup yang rupanya berasal dari lilin yang ia bawa, tahulah aku bahwa sosok itu adalah perempuan dengan rambut dicepol dan wajah agak pucat. Seorang pelayan lengkap dengan seragam maid: seragam yang biasanya hanya aku lihat di novel dan film.

Benar-benar seperti gambaran maid di dalam novel dan film.

“Mau apa kau?” Aku yang sadar tidak juga menurunkan pecahan kaca di tangan, langsung bertanya dengan nada tajam kepada perempuan itu.

Di bawah cahaya, remang rambut brunette sang perempuan tampak agak berpendar. “Sa-saya hanya ingin—Nona sendiri, apa yang Nona lakukan di sini? Di luar sini berbahaya! Nona tidak seharusnya keluar kamar!”

“Kata siapa aku tidak boleh keluar kamar?” Meski suaraku parau, aku berhasil mengeluarkan satu kalimat utuh, lengkap dengan arogansi yang mengiringi. “Kau cuma pelayan, kalau kau berani menyuruhku….”

“Silakan hukum saya nanti, tapi sebelum itu, saya mau bertanya satu hal, Nona,” Pelayan itu bersikeras. “Nona sudah melangkah berapa langkah dari kamar?”

Aku tidak perlu mengingatnya. Jumlahnya masih terlukis jelas di benakku, tapi apa yang istimewa dari jumlah langkah itu sampai pelayan ini?

“Nona Madeleine.”

Nama itu lagi. Aku tidak kenal nama itu. Tapi seperti sebelumnya, tubuhku bergerak sendiri. Menoleh ketika nama itu disebut. Seperti sebuah reaksi tubuh alami.

Apa itu nama … dari pemilik tubuh ini yang sebenarnya?

Madeleine?

“Nona Madeleine, mohon dengarkan saya lebih dulu. Nona harus segera kembali ke kamar. Mari saya antarkan dan akan saya jelaskan di sana.” Aku masih belum menurunkan serpihan kaca itu, tapi pelayan di depanku langsung angkat tangan menyerah.

Aku menggeleng kuat. “Tidak mau,” ujarku, lalu memutar otak sekali lagi, mencoba untuk tidak terdengar mencurigakan, gila, atau aneh. “Aku tidak tahu kepada siapa kau setia.”

Pelayan itu agaknya tidak menyerah. Jika ia memang jahat atau bermaksud buruk, ia cukup menyembunyikan maksudnya dengan gigih dan baik. Sampai ke level yang sangat meyakinkan sekarang.

“Nona, saya berjanji, saya tidak akan melakukan apa pun pada nona atau kepada siapa pun. Hanya saja … saya meminta tolong sekarang, dengan teramat sangat….” Pelayan itu menundukkan kepala. “Mohon masuk kembali ke kamar. Sebelum kita berdua mati mengenaskan di lorong ini karena jebakan Tuan Muda Helion.”

Telingaku berjingkat. “Jebakan?”

Pelayan itu mengangguk. “Tidak boleh keluar kamar lebih dari tiga langkah atau jebakannya akan aktif. Saya dengar jebakan itu dipasang di setiap kamar dan akan aktif jika penghuni kamar itu sudah masuk kamar pertama kali.” Ia melirik ke arah pintu yang tertutup. “Termasuk kamar Nona.”

APA?!

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!