“Pintu ini terkunci…?” Keterkejutan menyetrum seluruh tubuhku seketika. Aku menggumam dengan tidak percaya. “Tidak, tidak, tidak!”
Tanganku yang menempel ke pintu langsung berusaha menarik kedua daun pintu yang tinggi, besar, nan kokoh itu.
Percuma.
Pintu itu terlalu kuat dikunci sehingag tubuhku yang tidak punya banyak tenaga, alih-alih bisa membukanya, malahan pelan-pelan melorot di lantai.
“Buka….!” Suaraku perlahan berubah parau. “Tolong, siapa saja yang ada di luar! Tolong buka pintu ini!”
Apa yang terjadi sebenarnya di sini? Tubuhku yang terlalu lemah, kamar tidak terurus, tubuh yang tidak terawat, perut yang perlahan berubah perih, lalu kamar yang terkunci….
“Buka! Aku mohon buka!” Ketukan dan tarikanku di pintu kamar berubah menjadi gedoran yang semakin lama semakin keras, seiring dengan suaraku juga yang semakin lantang berteriak meski kian parau dan kering. “Siapa saja!”
Siapa sebenarnya pemilik tubuh ini? Siapa sebenarnya “aku” sekarang? Ruangan apa ini? Kenapa meski terlihat seperti kamar, aku malah dikunci seperti seorang tahanan? Kenapa ruangan ini begitu tidak terawat dan aku pun juga berpenampilan lusuh dan seperti orang kena malnutrisi?
Semua pertanyaan itu tidak terjawab. Di bawah suaraku yang semakin parau dan tenagaku yang semakin habis, tidak ada satu tanya pun yang terjawab. Ini sama sekali tidak wajar!
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?!” Aku menjerit tidak tahan lagi. “Kenapa aku dikunci begini? Ini sebenarnya di mana? Apa salahku?!”
“BERISIK!”
BUGH!
Aku terkesiap ketika pintu tersentak kuat tepat di depan wajahku. Seperti digebuk dengan kencang dari sisi lain sampai hampir terbuka dari selopnya. Karena kaget, aku langsung terjerembab ke lantai. Pantatku yang seperti tidak berdaging langsung menghantam lantai yang keras.
Tapi aku bahkan tidak merasakan sakitnya.
Dengan mata nanar, aku menatap pintu itu. Apa baru saja ada seseorang menjawab? Dari suaranya … tadi itu suara lelaki?
“Si-siapa…?”
Suara siapa itu? Apa … dia sedang bicara padaku? Apa ada orang di depan pintu? Tapi … tadi ia tidak terdengar ramah. Ia malah berteriak begitu? Kenapa ia terdengar marah sekali? Apa aku … sudah terlalu berisik sampai mengganggunya?
“Siapa? Apa dua hari dikurung di kamar ini sudah membuatmu lupa dan jadi gila?”
Perlahan aku menjauh dari pintu. Tidak mungkin ada orang yang berniat baik berkata seperti itu. Tidak, ini tidak bagus. Yang ada di luar pintu itu … tidak punya niat baik padaku.
“Yah, baguslah.” Suara itu terkekeh. “Pada akhirnya. Aku sudah capek dan hampir kehilangan kesabaran! Kalau sudah begini, artinya tinggal sedikit lagi kau akan lenyap, kan?”
Pintu di depanku tiba-tiba bergetar. Ketakutan merayap di punggungku. Ada sesuatu di balik pintu yang sedang mendekat. Aku merasakannya! Dan itu sama sekali bukan sesuatu yang baik.
“Baguslah. Kau memang layak untuk disingkirkan.”
Tidak perlu mengenal suara itu untuk bisa ketakutan dengan ancaman yang diberikannya. Aku yang tidak tahu apa-apa mungkin akan lebih takut karena mendengar ancaman seperti itu dari orang yang tidak terlihat wujudnya. Terutama saat kau sadar, suara yang mengucapkan ancaman menakutkan itu bukanlah suara orang dewasa.
Itu suara anak-anak.
Suara seorang anak lelaki.
Kemudian kerakutan yang dirasakan oleh tubuhku ini … rasanya bukan ketakutan karena sekadar ancaman. Ini ketakutan yang sudah mendarah daging. Sepertinya … meski aku bukan pemilik tubuh ini ataupun mengenali suara itu, tubuh ini masih mengenalinya dengan baik.
“Ti-tidak, tolong….” Pintaku. “Tolong ampuni saya … saya tidak tahu….”
“Berisik!” Kebencian yang terkandung dalam suara dan kalimatnya tidak main-main. Kebencian yang mendalam yang tidak bisa dipermainkan dengan lelucon.
Apa yang sudah aku lakukan sampai laki-laki di depan pintu sana begitu membenciku?
Apa pun itu, sekarang aku tahu, aku tidak bisa keluar dari kamar ini. Tidak boleh.
Tidak sampai laki-laki itu pergi dari sana.
“Kalau kau masih bisa berbicara sebanyak ini, artinya kau pasti masih sehat-sehat saja di dalam, ya?” Terdengar suara cibiran. “Sudah aku duga Paman terlalu lembek memberikanmu hukuman. Kurungan seminggu itu mana cukup untuk membunuhmu! Tapi semua orang dewasa itu tolol! Mereka kira kamu sudah mati sejak kemarin dan hari ini menugaskan orang untuk membawa mayatmu. Sampai suara gelas itu membuat seisi mansion Arcantrina ini terbangun.”
Telingaku berdengung. Kepalaku diserang pusing yang sama itu lagi. Tapi kali ini, aku tidak begitu saja kehilangan fokus.
Tadi dia bilang apa? Ar-cantrina?
Apa aku tidak salah dengar? Arcantrina itu, kan … itu nama salah satu keluarga di dalam novel Transcient Dream?!
Dengan syok, aku memegang wajah sendiri, menyentuh pipi, kemudian melihat rambut dan mengingat imej yang aku lihat dari di dalam cermin. Itu bukan wajahku, tapi … tapi jika aku ingat-ingat lagi, ada deskripsi yang cukup unik sampai aku mengingatnya dari novel Transcient Dream.
Yaitu soal salah satu antagonis di dalam tokoh cerita itu.
Keluarga Arcantrina. Keluarga dengan ciri khas berupa warna rambut perak dan mata violet. Penghasil Enchantress terbesar di kekaisaran Laumaji di benua Soleil. Selain fisik yang khas, mereka memiliki satu hal lagi yang khas. Kemampuan yang secara eksklusif hanya dimiliki oleh keluarga Arcantrina.
“Apa kau tidak bisa mati dengan tenang saja seperti seharusnya daripada membuat Nenek jadi marah di pagi hari seperti ini?” Belum sempat aku berpikir lebih jauh, udara di sekelilingku tiba-tiba berubah pekat. Suhu tiba-tiba berubah dingin. “Hei, Anak Haram?”
Sekujur tubuhku merinding, bergidik ngeri. Ketakutan yang tidak biasa merayap di punggungku dan sekali lagi, pintu di depanku bergetar. Aku buru-buru menjauh. Dari getaran pintu yang tidak biasa frekuensinya, instingku langsung tahu ada sesuatu yang berbahaya sedang terjadi. Dengan sisa tenaga yang ada, aku menjauh dari pintu, berharap bisa perlahan menjauh dari sana, selangkah demi selangkah.
“Kekang.”
Mendadak saja, sebuah suara bergema. Suara itu terdengar berulang-ulang di ruangan tempatku berada, di telingaku, bahkan dalam kepalaku. Suara apa itu tadi?
Kemudian, semua terasa sunyi: ruanganku, tubuhku, pikiranku. Semuanya kosong tidak bersuara. Sampai aku sadar sudah dengan bodohnya menghabiskan waktu dengan hanya melamun di depan pintu tanpa lari atau bertindak. Berpikir cepat, aku pun mencoba untuk bangkit dan mencari senjata untuk berjaga-jaga.
Namun gagal.
Tubuhku membeku. Tidak bisa bergerak sama sekali. Secara harfiah.
“Ter-tang-kap!” Suara di seberang pintu berkata dengan semangat yang keji.
Apa—apa yang terjadi?
Kaget dan bingung, aku menatap tubuh sendiri yang masih terjerembab kaku ke lantai. Tangan dan kakiku yang menempel langsung ke lantai, tidak bisa digerakkan sedikit pun. Sementara udara di sekelilingku semakin dingin. Jantungku bergemuruh. Ketakutan sudah mencapai leherku. Secara harfiah.
Anak laki-laki di seberang pintu tertawa.
“Rupanya kamu masih berdiri di depan pintu? Biasanya setelah mendengar bentakan begitu, kau akan langsung meringkuk kembali ke kasur. Hari ini kau rupanya jadi lebih berani setelah dikurung berhari-hari, ya? Atau mungkin kau hanya memang lambat. Bara. Belati.”
Aku mencoba berontak, mencoba melawan, tapi sia-sia. Tidak ada usaha yang berhasil. Malahan, pergelangan tangan dan kakik terasa sakit.
Seperti terbakar oleh gelang dari besi yang panas.
Mataku memandang nanar ke arah kedua tangan dan kaki, melihat pergelangan kaki dan tanganku memerah seperti terbakar dan mulai melepuh. Di tempat luka bakar itu menjalar, ulur-sulur hitam tembus pandang seperti bayangan hitam melingkar, membungkus tangan dan kakiku. Sulur hitam itu lalu perlahan merangkak naik, menuju paha, pinggang, pundak, dan mencapai leher.
Seketike mencekikku.
Saat itulah tubuhku jatuh ke tanah, ditekan oleh sulur yang menekan pundakku. Lantai yang dingin tidak terasa di kulitku yang membara dirajah rasa sakit dan panas bertubi-tubi. Mulutku intin teriak, tapi salah satu sulur bayangan itu membungkus kepalaku. Menutupi seluruh pandangan, mulut, dan penciumanku dengan kegelapan total. Aroma hilang dari hidungku, suara hilang dari mulutku, dan cahaya hilang dari mataku.
Tapi aku masih bisa menangis. Ironi, aku merasakan air mata keluar dari mataku, tapi tidak mengalir ke mana pun. Air mata itu terperangkap di antara sulur-sulur yang mencekik.
Kekuatan apa ini?
Tepat saat aku bertanya-tanya seperti itu, dalam ketersiksaan, nama Arcantrina kembali bergema dalam kepalaku. Arcantrina dan teknik membunuh mereka yang mematikan. Tapi aku gagal mengingat apa teknik membunuh mereka yang mematikan itu. Otakku sudah tidak bisa berpikir. Tubuh dan pikiranku terlalu dikuasai ketakutan.
“Ah, aku baru ingat. Jangan-jangan kau keluar karena….” Suara itu lenyap perlahan-lahan. Aku tidak dengar kelanjutannya. Tidak bisa. Karena suara dengan segera lenyap dari telingaku juga. Tertelan sepenuhnya oleh kegelapan mengerikan ini.
Aku mencoba memberontak, tapi sia-sia belaka. Malahan, semakin aku berusaha berteriak, leherku semakin terasa tercekik. Seolah ada tangan yang sedang mencengkam leherku dan semakin menguatkan pegangannya jika aku sampai berani berontak.
Kepalaku mencoba menggeleng kuat, tapi sekali lagi percuma. Jeritan tertahan di mulutku sama seperti pemberontakan tertahan di kepalaku.
“Tolong berhenti!” Aku ingin mengatakan itu, sekeras mungkin, dengan cara apa pun yang diminta oleh sang penyiksa ini atau kepada siapa pun di luar sana. Dengan cara apa pun.
Aku akan lakukan apa pun! Aku hanya ingin semua ini berhenti sekarang!
“Jeremy?”
Seketika, secepat datangnya, siksaan di seluruh tubuhku mendadak hilang. Lenyap tidak bersisa, meninggalkan kebas yang tidak bisa dijelaskan. Tubuhku jatuh lemas ke lantai dalam posisi tubuh membentuk huruf X yang baru saja aku sadari.
Seperti boneka marionette yang digunting benang-benangnya, aku terbaring ke atas lantai yang bahkan kini, tidak terasa dingin lagi. Aroma apak di ruangan tidak lagi tercium. Yang tersisa dariku hanyalah kehampaan dan … rasa lelah yang teramat sangat.
Apa dosaku? Apa yang sudah aku lakukan sampai pantas menerima semua ini?
“Sedang apa kau di depan kamar ini?”
Samar-samar aku mendengar suara lain. Tapi aku terlalu letih untuk bisa mengenalinya ataupun membedakannya dengan suara anak iblis itu. Aku tidak peduli.
“Bermain-main sebelum sarapan, seperti biasa!”
Anehnya, meski tidak bisa merasakan apa pun, aku masih bisa bergidik saat mendengar suara girang anak lelaki itu saat berbicara lagi. Sangat berbeda dari saat ia menyiksaku tadi.
“Segera hentikan main-mainnya dan ke meja makan sekarang. Kepala Keluarga sudah menunggu.”
“Nenek sudah datang? Asyik!”
Kemudian terdengar derap langkah yang menjauh dari depan pintu. Menjauh dariku. Akhirnya memberiku rasa aman untuk pertama kalinya semenjak aku terjaga.
Tapi apa gunanya?
Tubuhku bahkan tidak bisa lagi bergerak. Terlalu lemas dan lelah untuk sekadar menggerakkan jari. Tapi anehnya, meski ringkih luar biasa dan terasa kekurangan nutrisi, aku sama sekali tidak kehilangan kesadaran bahkan setelah disiksa habis-habisan begitu.
Tubuh macam apa ini? Apa aku … akan mendapatkan siksaan seperti ini terus selama tinggal di sini? Selama aku ada di tubuh ini? Hanya karena apa? Karena aku anak haram yang tidak diinginkan?
“Sial … sial….” Aku memaki lirih, terlalu lemah untuk bisa meluapkan semua emosi di dalam kepala.
Air mataku sekali lagi mengalir, menangisi nasib yang entah kenapa berubah menjadi seperti ini. Tanpa suara, aku menangis, meluapkan semua emosi dan rasa sakit yang tadi tidak sempat tersalurkan ke mana pun.
Ada banyak pertanyaan belum terjawab di dalam kepala, tapi memikirkannya saja tidak akan mengubah apa pun. Tidak akan ada jawaban yang muncul selama aku ada di sini. Tapi jika berani keluar, akan ada iblis yang siap menyiksaku lagi seperti tadi.
Apa yang harus aku lakukan?
“Aku mau pulang….” Dalam kesedihan dan kebingungan yang tidak menemukan jawaban, pertanyaan itu terus menggema di kepalaku, sampai kedua mataku akhirnya tertutup karena rasa lelah.
***
***
Sesuai kata-katanya, aku sekali lagi membuka mata.
Namun aku tidak berada di perpustakaan. Sekarang aku kembali ke langit-langit yang asing itu. Langit-langit putih yang terlalu tinggi, ruangan yang terlalu dingin dan beraroma apak, pakaian yang lusuh, tubuh yang ringkih, dan di tubuh yang sama sekali bukan tubuhku.
“Mimpi….” Suaraku berubah parau. Terdengar letih sekali. Selelah apa yang aku rasakan. Padahal aku berharap dunia inilah yang hanya mimpi dan yang tadi adalah nyata.
Kalau tahu perpustakaan tadi di dalam mimpi, aku tidak ingin bangun. Meletakkan lengan di atas kedua mata, aku pun berusaha sekali algi tidur. Berharap dengan demikian, aku akan tiba di perpustakaan itu lagi. Setidaknya merasakan sedikit sisa perasaan bahwa aku ada di rumah, sekali lagi.
Tapi, bukannya tidur, aku malah sesenggukan. Menangis tanpa henti.
“Aku mau pulang….”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments