5. Mencari Informasi

“Aku tidak tahu apa memasukkan novel ini ke genre fantasy adalah pilihan yang tepat. Tragedinya terlalu membekas.”

Pemuda di hadapanku hanya tersenyum sedih, tapi matanya tidak lepas dari laptop yang ia bawa. “Yah, nggak semua novel punya ending yang bahagia."

Aku menghela napas, menatap buku bersampul merah marun itu. Jariku mengetuk-ngetuk sampulnya. “Ini bukan cuma soal ending. Segala hal soal buku ini tragis banget. Mulai dari latar, benua Soleil yang musnah, satu keluarga penyhir yang kuat tapi psikopat semua, lalu pahlawan yang juga mati dengan tragis di masa lalu yang bikin tragedi di masa sekarang nggak bisa dihentikan. Dunia Unsa ini kayaknya sengaja banget dibikin ancur sama pengarangnya.”

Aku mengedikkan bahu. “Oke, aku jadiin itu sebagai kritiknya.”

Pemuda itu mendengkus pelan. “Bisa aja emang dari sananya begitu, kan? Dunianya emang udah nggak bisa diselamatkan, jadi lebih baik dikasih ending yang menghancurkan begitu. Daripada menderita lama-lama.”

Aku mengangkat sebelah alis. “Buat ukuran anak muda, pikiran kamu dark banget. Kamu yakin bukan kamu pengarangnya?”

Sekarang pemuda itu tertawa. “Aku mana tega bikin cerita kayak gitu, sih!”

Mataku turun menatap novel yang ada di hadapannya. Novel itu adalah novel anak-anak yang tentu saja tidak memiliki kisah yang gelap. Buku pilihannya adalah buku yang terkenal, jauh lebih terkenal dibanding Transcient Dream yang mungkin malah, hanya segelintir orang saja yang tahu.

Ah, malah aku bersyukur tidak banyak orang yang tahu novel tragis ini.

“Takdir kadang lebih kejam dari pikiran manusia.” Pemuda itu berkata. “Dan kadang … nggak ada sesuatu apa pun yang bisa mengubahnya.”

“Nggak juga, tuh.”

“Eh?”

“Ada, kan, yang bisa ganti?” sahutku santai. “Pengarangnya bisa aja ganti alurnya biar nggak tragis-tragis banget, kan? Biar gimana juga pemasaran dan segmentasi pembaca yang luas juga harus jadi pertimbangan.”

“Maksud kamu membuat akhir yang bahagia?”

Aku mengangguk. “Bisa aja, kan sebenarnya kalau pengarangnya mau?”

“Dan kalau pengarangnya nggak sanggup?”

Aku kembali terdiam dengan heran. “Kan, dia yang bikin bukunya, kenapa dia nggak sanggup?”

Selama sesaat, hanya ada kesunyian di antara kami. Hanya ada suara ketikan dari tangan pemuda itu dan suara ketikan dari laptopku yang terdengar. Suasana jadi canggung.

Apa aku berkata sesuatu yang salah? Ya, mungkin. Dari tadi dia terdengar terus menerus membela pengarang dari Transcient Dream, jadi mungkin dia fans dari sang pengarang. Oh, aku seharusnya minta maaf. Mungkin kata-kataku sedikit keterlaluan. Ini novel terbitan, artinya pengarangnya mungkin punya tujuan untuk membangun dunia yang tragis seperti ini, kan? Penerbit juga menyetujui novel ini terbit, jadi seharusnya aku tidak protes sekerag itu. Dan lagi mungkin memang ada alasan lain.

“Err … soal yang tadi….” Aku berdeham. “Sori, nggak bermaksud sekasar itu.”

Pemuda itu tersenyum, lalu menutup laptopnya sejenak. “Nggak apa-apa, kok. Kamu bilang pendapat kamu aja. Semua orang bebas berpendapat. Pengarang itu juga mungkin menuangkan pendapatnya lewat buku. Kita juga sebagai resensor berhak berpendapat soal buku karangan dia.”

“Benar….” Tapi entah kenapa … aku masih merasa ada yang janggal. Kata-katanya terlalu … tenang.

“Tapi mungkin aja karena akar masalah dari novel itu terlalu jauh, pengarangnya merasa udah terlambat memperbaiki dunia yang udah hancur?” Pemuda itu berpendapat lagi.

“Maksud kamu harusnya pengarangnya perbaikin masalah ini dari tiga ratus tahun sebelum novel ini dimulai?”

Pemuda itu berpangku tangan, tersenyum jahil. “Ide yang nggak buruk-buruk banget, kan?”

“Yah … nggak salah, sih.”

Tapi tiga ratus tahun ke belakang dari sebelum dimulainya kisah Ttranscient Dream, bukankah itu agak berlebihan? Lagipula kenapa bisa ada konflik yang mengakar selama tiga ratus tahun tidak bisa dihentikan sampai berabad-abad lamanya?

Apa yang para tokoh di novel ini lakukan selama jeda waktu panjang itu?

***

“Mohon maaf, hanya ini yang tersisa, Nona.” Marilyn menyerahkan sepotong roti dan segelas air. “Hanya ini yang bisa saya temukan di lemari. Sisanya….”

Ia melirik tempat sampah. Ada sekumpulan gundukan berbau tidak sedap dari sana. Aku tidak perlu jawaban lebih jauh untuk tahu pemborosan macam apa yang sudah dilakukan keluarga ini.

Yah, tapi mereka memang berhak untuk boros.

Mataku melirik ke sekeliling dapur. Aku tidak tahu alat-alat masak dari masa lalu yang kelihatannya sudah ada sejak abad ke-19 masehi ini, tapi jika ini dapur modern di duniaku, peralatan di dalam sini pastilah termasuk yang paling lengkap. Belum lagi sirkulasi udara, luas ruangan, dan kebersihan yang terjaga. Aku hanya mencium aroma busuk dari sampah kecil yang belum dibuang, sisanya, aku tidak mencium apa pun.

“Apa dapur selalu kosong seperti ini di tengah malam?” tanyaku sambil menggigit potongan roti itu. Keras. Aromanya juga sudah mulai apak. Sepertinya ini roti sisa yang untungnya belum berjamur.

“Dinihari nanti sekitar jam dua, kepala koki akan bangun dan mulai mempersiapkan bahan-bahan.” Marilyn memberi info. “Dia juga akan ke ruang transport di dekat pintu barat untuk mengambil persediaan makanan.”

Untuk ukuran pelayan, Marilyn mengetahui banyak hal bermanfaat yang tidak aku ketahui sebelumnya. Dia menuntunku ke jalan rahasia di balik dinding tepat di sebelah kamarku, menghindari aturan “Tiga langkah di Lorong” yang ditetapkan. Melalui jalur yang tersebar di balik dinding, kami akhirnya sampai ke dapur yang kosong ini. Tanpa pengawas, tanpa ada yang memergoki. Situasi ini jauh lebih baik dari yang aku duga.

“Dari mana kau tahu jam dua?” tanyaku curiga pada Marilyn. “Tidak ada jam di sini.”

“Ah, jam memang hanya ada di aula utama, Nona. Tapi….” Marilyn menunjuk ventilasi udara tempat aku bisa melihat sedikit langit malam dan cahaya bulan. “Saya selalu menggunakan bulan di luar sana. Jika bulan sudah tampak ujungnya, artinya jam dua sudah mulai menjelang.”

Jadi aku harus memerhatikan ventilasi setiap waktu? Dan kalau memang pelayan seperti Marilyn tahu dari bulan, bagaimana dengan para koki?

“Kau tahu banyak soal ruangan ini, ya.”

Marilyn tertawa canggung. “Saya beberapa kali disuruh ke sini dan mencuci bersih seluruh sayuran sampai pagi. Dan ruangan ini belum direnovasi, jadi saya masih ingat.”

Seperti yang aku bilang, berguna, meski aku masih belum bisa percaya padanya.

Baiklah, coba aku pikirkan apa saja info yang sudah aku dapatkan di sini. Pertama, jam dan waktu. Istilah jam di dunia ini sepertinya sama seperti dunia asalku. Lalu istilah penamaan waktunya sepertinya menganut sistem AM dan PM seperti Eropa sana. Lalu untuk bahasa, aku bisa mengerti bahasa mereka dan mereka bisa mengerti bahasa yang aku gunakan, meski kata-kata ini rasanya asing sekali di lidahku.

Apa tubuh ini mengingatnya?

Tapi jika aku bisa sampai menggunakan bahasa yang diingat tubuh ini … apa maksudnya? Apa artinya ingatanku bercampur dengan ingatan tubuh ini? Apa itu wajar? Jika ini bukan tubuhku dan karena aku bukan berasal dari dunia ini … artinya aku tidak mungkin bisa mengucapkan bahasa mereka tanpa belajar seperti ini, kan?

Apa maksudnya ini?

Aku harus menyelidiki ini lebih jauh.

“Aku ingin ke perpustakaan.”

“A—hah?”

Aku mengernyit ke arah Marilyn yang tampak sangat kaget. “Ada apa?” Dan kenapa wajahnya pucat begitu?

Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?

“Ah—ti-tidak, saya hanya sedikit kaget.” Kaget kenapa? “Setelah insiden tempo hari dengan Tuan Jeremy, Anda tidak pernah lagi pergi ke perpustakaan. Syukurlah Anda kembali ingin mengunjungi perpustakaan! Saya senang mendengarnya!”

Insiden? Dengan Jeremy?

Tubuhku bergidik mendengar nama itu.

Aku tidak akan lupa. Nama itu adalah nama dari anak yang menyiksaku tadi. Jeremy. Jadi yang tadi bukan kali pertama aku berselisih dengannya. Dan jika sampai Marilyn bilang aku tidak mau ke perpustakaan lagi setelah insiden dengan mereka, tidak heran tubuh ini jadi bergidik mendengar suara Jeremy tadi.

Aku benar-benar harus keluar dari tempat ini!

“Aku mau ke perpustakaan sekarang!” Aku menghabiskan roti di tanganku dan bangun berdiri. Setelah makan sepotong roti dan air, energi di tubuhku jadi sedikit pulih. Aku siap untuk berjalan dan mengambil beberapa informasi tambahan. Semakin cepat dan semakin banyak, semakin baik.

“Ta-tapi, Nona … perpustakaan ditutup saat malam hari. Dan jalan menuju ke sana....” Marilyn tampak canggung saat mengatakannya. “Tidak ada jalan yang langsung menuju ke sana. Jalan bawah tanah yang saya tahu, tidak langsung terhubung ke perpustakaan.”

“Asal tidak melewati lorong….” Aku membelalakkan mata. “Aku harus melewati sebuah lorong untuk menuju ke perpustakaan?”

“Karena di sana tersimpan banyak buku yang dijaga ketat oleh Tuan Besar dan bahkan Matriarki sendiri, aksesnya dibatasi. Hanya pelayan pribadi Matriarki dan orang yang Beliau tunjuk yang bisa datang mengunjungi perpustakaan itu,” jelas Marilyn. “Saya … tidak pernah ditunjuk untuk pergi ke perpustakaan.”

Buku yang dijaga oleh Tuan Besar? Siapa Tuan besar ini? Matriarki adalah sebutan untuk kepala keluarga wanita, jadi … mungkinkah Tuan besar itu suaminya? Lalu perpustakaan sampai dikawal seketat itu … hanya menguatkan dugaanku bahwa ada informasi yang berguna di sana. Mungkin saja apa yang aku cari ada di sana.

Hm … peraturan “Tiga Langkah di Lorong” itu dipaksa untuk berlaku tanpa ada pilihan alternatif. Ada jalan masuk tanpa ada jalan keluar. Semua yang masuk dan keluar diawasi. Itu pilihan masuk akal untuk mencegah kebocoran informasi. Tapi info semacam apa yang mereka simpan di sana sampai keamanannya seketat itu?

“Peraturan “Tiga Langkah di Lorong” itu .., dibuat oleh Tuan Helion, kan?”

Marilyn terdiam sejenak. Aku meliriknya dengan mata menyipit. Ada keterkejutan dan keheranan di sana. Oh, tidak, apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?

“A-ah, maaf saya agak melamun tadi, Nona. Be-benar, Tuan Besar yang mengatur peraturan itu agar keamanan di malam hari terjaga.”

“Lebih tepatnya dia mengurung kami semua di dalam kamar,” gumamku.

Jadi … Helion adalah Tuan Besar? Dan dia bilang malam hari … artinya siang hari peraturan itu tidak berlaku, kan? Tapi … aku belum tahu ke mana rute perpustakaan berada. Jika aku tidak mencari tahu sekarang dan menunggu siang, mungkin saja semua akan terlambat.

“Aku tetap akan pergi ke perpustakaan sekarang.” Di sebelahku, Marilyn tampak kaget. Tapi aku berusaha meyakinkannya, tentunya dengan otoritas yang aku miliki. “Seperti katamu, biar bagiamanapun, aku adalah Arcantrina. Pergi ke perpustakaan keluarga, bukan hal yang aneh untuk aku lakukan, kan?”

“Nona….”

Saat itu, aku tidak tahu kenapa Marilyn terperangah seperti itu, seolah ia baru saja melihat sesuatu yang tidak biasa dan membuatnya takjub. Mungkin tingkahku tidak biasa, mungkin saja ia hanya sekadar kagum. Yang mana pun tidak begitu aku pikirkan saat itu, karena prioritasku adalah menemukan informasi lebih banyak.

“Antarkan aku ke jalur paling dekat yang bisa kau tempuh menuju perpustakaan, Marilyn,” perintahku, lalu aku menoleh, tepat ke arah bayang-bayangku yang sekali lagi tampak berombak dan bergerak hidup. Ternyata itu memang bukan ilusi.

Apa mungkin….?

Ya, hanya ada satu cara mengetahuinya.

Aku menoleh ke arah Marilyn lagi. “Sekarang, Marilyn.”

***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!