Terkadang kita perlu merasakan sedih untuk tahu rasanya bahagia, kita perlu kebisingan untuk mengenal keheningan, dan kita perlu kehilangan untuk lebih menghargai kehadiran.
Beberapa telah aku pahami, aku kehilangan dua pilar terbaik dalam hidupku dua tahun yang lalu setelah mereka direnggut oleh maut di jalanan, kini aku mengenal keheningan setelah kebisingan club yang membuatku masih berada di parkiran mobil. Terkulai lemas, hilang sadar sampai pukul tujuh pagi.
Aku mengangguk sewaktu seseorang berpakaian satpam memintaku untuk pulang.
"Iya-iya ini pulang om, jangan galak-galak. Hatiku sedang hancur. Tambah hancur kalo om usir dengan paksa." racauku sambil merenggangkan tubuh, sial, badanku remuk semua tidur di dalam mobil. Rasanya kaku-kaku, tapi aku harap bukan karena faktor u. Ini cuma faktor tidur dengan posisi yang tidak tepat saja.
"Ati-ati Tante!" ucapnya sambil menepuk-nepuk badan mobil.
"Tante-tante, masih muda aku ini! Enak aja bilang aku tante-tante."
Terkutuk sudah satpam itu, aku kasih tanda bintang satu dia bukan satpam yang ramah karena sudah bikin aku tambah keruh.
Si satpam meringis geli sewaktu aku memberi klakson mobil berkali-kali.
"Kasih jalan oyyy!" teriakku lewat celah jendela mobil.
"Pokoknya hati-hati Tante, sein kiri belok kiri, jangan belok kanan!" teriaknya sambil membantuku menyebrang jalan.
Sialan, masih berani anak muda itu godain tante-tante. Aku mendesis sambil memfokuskan pandanganku pada jalanan yang mulai padat merayap.
Apa kabar papi Narendra hari ini? Apa papi sudah sarapan?
Aku mengembuskan napas kasar.
Pagi-pagi begini biasanya kami sedang menikmati sarapan berdua di meja makan, papi minum kopi aku minum susu diet setelah kami mandi bersama sambil manja-manja sebelum pekerjaan memisahkan kami selama berjam-jam lamanya.
"Rasanya kemarin pagi masih utuh, tapi sekarang semuanya tinggal separuh. Nggak banget rasanya, kayak ada yang hilang." kataku sambil memutar stir mobil ke arah rumah. Aku harus menemui kenangan, mandi, sebelum menghadapi kenyataan bahwa aku janda.
"Pokoknya kalo sampai papi jalan sama Debora, aku benar-benar akan balas dendam!"
Buku-buku jari ku memutih saat aku ingat bagaimana mereka bersama, mereka begitu solid dan kompak. Sangat serasi saat berjalan berdampingan. Pokoknya kalau aku ikut mereka jalan, aku malah seperti benalu rusuh yang gangguin mereka.
Lucu kan, enggak lah. Tapi kenyataannya begitu, aku slalu merasa tidak mudah menjangkau papi Narendra. Menjangkau kredibilitasnya. Tapi papi mewarnai hidupku dengan santai dan bagus, makanya aku sayang banget sama papi.
Lima tahun kita sudah menjalani semuanya, aku tahu jika pada akhirnya akan berakhir karena kekurangan kami. Hidupku tanpa papi pasti hambar rasanya, tapi bagaimanapun aku harus bertahan dan membalas perkataan papi dengan bukti.
Aku rela berpisah untuk menjemput bahagia yang baru, terlebih bunyi klakson yang memekak telinga itu menyadarkan aku bahwa mati karena melamun sambil mengemudi itu sangat berbahaya. Tapi konyol adanya.
Aku menginjak rem dengan cepat, si pengemudi motor sport yang melaju kencang dari arah berlawanan oleng ke kiri, meliuk-liuk begitu jauh dan ambruk.
"Aduhhh, mati aku. Anak orang jatuh gara-gara aku."
Dengan gugup aku terpogoh-pogoh mendorong pintu mobil untuk menghampiri anak SMA yang memekik kesakitan itu. Tapi sewaktu aku menginjakkan kaki di aspal rasanya jalanan yang aku lewati ikut bergoyang-goyang dan seketika membuatku ambruk di dekat anak SMA itu.
Aku terkekeh malu dengan posisi tengkurap. Rasanya aku malu banget, udah bikin anak orang celaka, niat mau bantuin tapi malah memalukan diri sendiri akhirnya.
"Adek gak papa? Apanya yang sakit? Tante anter ke rumah sakit yuk." tanyaku sambil mati-matian berusaha beranjak. Nggak enak banget di lihat dari segi manapun. Tengkurap kok di pinggir jalan, mana cuma pakai celana pendek ketat dan blouse yang bau alkohol lagi.
Aku menatap anak SMA yang menggunakan seragam lengkap dan jaket jins hitam itu tersenyum sepele.
"Tante habis mabuk semalam, maaf ya adek. Tante nggak konsen. Adek mau minta tanggung jawab? Tante pasti bertanggung jawab kok. Tenang aja, cuma apanya yang sakit sekarang? Boleh Tante periksa?"
Anak SMA yang memiliki mata teduh itu menggeleng cepat sambil beringsut mundur. Seperti takut sama aku, padahal aku nggak gigit.
"Cuma lecet, Tante. Jadi nggak usah tanggung jawab gak masalah kok, nanti di obat merah udah sembuh." jawabnya dengan suara yang manis sekali. Manis seperti wajahnya yang imut-imut. Beda banget sama papi Narendra yang udah nyaris keriput.
Aku bisa tebak usianya baru sekitar sembilan belas tahun. Selisih satu dekade denganku.
"Tapi lihat dulu parah enggak, Tante nggak tenang nih kalo...," Aku menelengkan kepala sambil mengamati wajahnya, "siapa nama adek?"
"Abimanyu." jawabnya malu-malu sambil membuka tangannya yang menutupi lukanya di bagian lutut.
Aku ternganga, iya cuma lecet, tapi lukanya mengangga, merah menyala seperti lipstikku, darahnya merembes sampai celana abu-abunya yang sobek jadi tambah jelek.
"Sakit banget pasti, Abi." kataku prihatin.
Abimanyu cengar-cengir. Matanya seakan berkata nggak apa-apa, biasa mah cowok jatuh begini, cuma aku yakin, sakit sekali ini pagi-pagi udah nyium aspal dan kenyataan baru kalau dia pasti terlambat sekolah. Mimpi buruk yang sempurna bagi Abimanyu ketemu aku yang sedang tertimpa mimpi buruk juga di ceraikan papi Narendra tiba-tiba.
Aku mengembuskan napas. Abimanyu tetap tanggung jawabku sebelum banyak orang mulai heran dengan kami berdua yang duduk-dudukan di pinggir jalan.
"Motormu juga lecet tuh, Abi. Nanti kamu pasti dimarahi orang tua kamu kan, jadi gini aja deh, semua ini Tante yang salah. Motor kamu Tante panggilkan servis online, nanti biar di ambil orang. Sementara kamu ayo Tante anter ke klinik terus ke rumah kamu. Nggak mungkin sekolah juga kan hari ini?"
Abimanyu cengar-cengir sambil menatapku tidak yakin. Kenapa? Apa wajahku nggak meyakinkan? Emang iya sih, aku kusut, letih, dan tidak bergairah.
"Jangan di tolak ya permintaan maaf Tante. Percaya aja deh, tante udah sadar kok, tadi cuma oleng. Sumpah. Tante aja juga sadar kalo Abi ganteng." pujiku sambil memasang wajah cengengesan.
Abimanyu ikut memasang wajah cengengesan sambil mengernyit sakit.
"Tante bantuin berdiriin motornya ya, aku nggak kuat!"
"Oh iya siap! Siap." Aku mengangguk dengan patuh.
Tertatih-tatih Abimanyu mendekati motornya yang tergeletak dengan mesin yang tidak mati sejak tadi.
Detik-detik waktu ‘berdiriin’ motor, aku dalam keadaan lapar dan rapuh mengerahkan seluruh tenaga untuk membantu Abimanyu menegakkan kuda besinya yang besar dan berat.
Huh, lebih mudah menegakkan papi Narendra daripada motor besar ini. omelku dalam hati.
"Aihhh, lecetnya lebih parah motor kamu, Abi. Sedih pasti kamu, tunggangan mu merana seperti aku." Aku mengelus bodi motornya yang baret-baret dan penyok setelah kami titipkan di warung yang baru saja buka.
"Maaf ya, Abi." kataku menyesal.
"Santai aja, Tante. Lagi apes paling jadi gini." Abimanyu nampak menghela napas sambil meraih sebotol minuman dari etalase warung.
"Sama obat merah Bu kalo ada, kapas sekalian." ucapnya.
Aku yang terkesima habis di pegang bahuku oleh Abimanyu langsung sadar. Aku kan mau bawa Abimanyu ke klinik.
"Bayar minumannya aja, Abi. Lukamu biar di obati di klinik." sergahku berharap ibu-ibu pemilik warung itu batal mengulurkan obat merah dan kapas.
Sia-sia, Abimanyu sudah menerimanya, juga membayarnya.
Aku mengerucutkan bibir, walau Abimanyu menolak tentang penyesalan ini. Aku masih bisa menjadi perawatnya terbukti Abimanyu langsung mengajakku ke mobil. Dan ku bawa dia ke rumah ku dengan sengaja. Hihihi. Berasa jadi Sisca, mainnya sama pemuda-pemuda tampan. Bedanya Abimanyu bukan gigolo atau pemuda sewaan. Dia cuma anak SMA yang kedapatan apes karena aku. Huh.
•••
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Emi Wash
nah awal kisah nich....
2023-09-28
1
Emi Wash
nah itu mah mak2 negara +62....😂
2023-09-28
0
Sri Windarti
ceritamu selalu bikin penasaran Thor😍
2022-12-12
1