Sejenak yang begitu menyiksa batin dan jasmani. Aku terkulai lemas menyaksikan kamarku bersama papi Narendra seperti ada duri-duri tajam tak kasat mata yang menusuk-nusukku, membuatku tak nyaman berada di kamar yang telah menjadi saksi percintaan kami, perdebatan kami.
Dan ketika aku lelah dan penat bahkan muak dengan pikiranku sendiri. Setengah jam kemudian, pukul dua belas malam aku mengendarai mobil matic silver peninggalan papi Narendra keluar rumah, keluar dari rumah menuju club mencari hiburan. Namun ketika ingatan akan lara datang membersamai perjalanan ini, tangisku berderai-derai.
Aku memukul stir mobil. Tidak ada yang sia-sia saat aku bertaruh di atas segalanya. Aku bahkan sudah mengenyahkan rasa malu, cacian, kata-kata tidak beradab demi mendapatkan buah hati.
Tapi papi, papi Narendra menyerah begitu saja. Papi cemen. Papi tidak tangguh, papi cuma mau enaknya saja. Sama aku juga iya, tapi aku masih mau bertahan.
"Papi datang terus minta cerai dengan mudahnya. Apa dia nggak sadar semua perilakunya tadi menghujam nalarku. Rasanya aku di buang gitu aja, di lepeh, udah nggak enak!" gumamku sambil berjalan dengan lemas ke dalam club.
Di tengah keramaian irama lagu yang di putar disc jockey, di antara remang-remang keadaan, dan euforia pesta di lantai dansa. Aku mencari keberadaan Sisca. Partner bisnis sekaligus teman sesama anggota arisan itu tidak pernah absen membawa satu pria muda setiap kali ingin berpesta.
"Bella, sini."
Mataku langsung tertuju pada wanita semampai yang hanya mengenakan tangtop putih dan rok mini hitamnya memamerkan kakinya yang mengagumkan bak model kelas menengah ke atas. Ya-ya-ya, Sisca, si molek itu slalu memamerkan keindahan tubuhnya baik dengan orang dekat ataupun orang asing.
"Aku yakin banget Sis, kehidupan Narendra setelah cerai dengan ku sama saja. Dia tetap akan kesusahan memiliki anak, mungkin akan seperti ku juga. Tapi Narendra kejam, Narendra tau-tau minta cerai tiba-tiba, padahal kemarin kita masih anget-anget saja." uraiku tanpa sabar sambil menghentakkan gelas sloki di meja bartender.
"Tuang yang baru dong kak, yang enak. Jangan yang pait, hidupku udah pait." pintaku kepada bartender. Laki-laki bertato dengan paras lumayan nakal itu kemudian menuangkan satu gelas anggur merah ke dalam gelas sloki.
"Lagi–sampai isi botolnya habis!" kataku sambil menghentakkan gelas ku di meja. Rasa hangat yang mengaliri kerongkonganku sama sekali tidak menghangatkan tubuhku yang mulai dingin akan sepi kehilangan papi Narendra.
"Sini kak!"
Sisca meraih botol yang hendak bartender itu tuangkan ke dalam gelas ku. Ia nampak menghela napas sambil menyodorkan botol merlot ke tanganku.
"Elo kalo susah jangan ngajak-ngajak orang susah lah, Bell. Kasian tuh bartendernya ngeri lihat elo begitu."
Aku mendesah sambil melihat diriku sendiri di cermin. Menyedihkan, wajahku mencerminkan rasa kekhawatiran dan ketakutan akan perpisahan dengan papi Narendra.
Selama lima tahun ini semuanya papi Narendra berikan, semuanya. Kasih sayang, kehidupan yang layak dan bagi aku yang sudah sebatang kara di negera zamrud khatulistiwa ini di putuskan secara sepihak oleh papi Narendra rasanya patah. Tak semangat.
Lagipula menenggak langsung anggur merah dari botol itu tidak elegan. Papi bilang tidak cantik. Jadinya aku cuma menaruhnya lagi ke meja bening yang sanggup mempertontonkan deretan botol-botol minuman keras dengan segala merek di club ini.
"Menurutmu papi punya wanita idaman lain nggak, Sis? Soalnya aku curiga papi tiba-tiba nyerah karena punya gandengan baru." keluhku masih sadar meski kepalaku rasanya pening.
"Aku curiga papi main serong sama Debora, sekertarisnya itu! Kemana-mana mereka berdua, kalo aku mau ikut ke luar kota, Debora bilang mami Bella ini kerja, bukan main jadi di rumah aja! Ish...," Aku mendesis jengkel sambil menghentakkan botol merlot ke meja sampai memicu perhatian dari orang-orang sekitar.
Debora itu sok-sokan berkuasa. Sok-sokan menguasai papi Narendra kalau urusan kerjaan. Padahal tetap aku yang nomer satu karena aku yang di pilih papi untuk jadi istrinya. Tapi paling-paling sekarang Debora di atas angin tahu papi resmi menalak aku sambil marah-marah.
"Mending elo selidiki aja deh Bell kalo emang elo curiga sama Debora. Gue nggak jamin bos sama sekertaris cantik nggak ada main, tapi gue nggak akan jadi kompor sekarang. Gue mau elo nggak perlu sia-sia apalagi patah hati sampai berlarut-larut." Sisca tersenyum iba sambil mengelus rambutku.
"Elo move on, bales dendam sama tuh papi mu yang udah ngatain elo mandul. Mulutnya jahat banget itu, kalo gue jadi elo tadi udah gue gampar dulu sebelum tanda tangan surat cerai!"
"Sisca," omelku, "aku nggak seberani kamu! Lagian papi Narendra kalau marah menakutkan. Bisa-bisa tadi aku cuma tinggal nama kalo nolak keinginannya." keluhku dengan takut.
"Ya udah, sekarang mau apa lagi? Narendra nggak peduli kamu mau mabuk sekarang. Dia gak akan peduli lagi dengan kamu, Bell. Narendra cuma mau cerai sama kamu dengan tujuan untuk menikah dengan perempuan lain dan punya anak! Ngerti kamu?" sentak Sisca.
Jantungku melonjak, sontak aku meneguk langsung anggur merah dari botolnya, persetan dengan kata papi kalau aku tidak cantik lagi karena minum langsung dari botolnya. Tapi logika Sisca yang nggak masuk akal sehat membuatku ragu sendiri untuk balas dendam atau tidak.
Balas dendam dengan mengenyahkan kata mandul itu sama aja aku harus menikah lagi atau minimal mempunyai pria waras untuk mendonorkan sperm*anya. Tapi perkaranya nggak semudah itu Bella, hari gini banyak yang mau mendonorkan sperm*anya cuma-cuma. Tapi untuk menantang kehebatan papi Narendra siapa yang berani?
Aku meneguk lagi sisa anggur merah ini sampai habis, sampai beberapa tegukan yang tidak muat di mulutku mengalir ke leherku dan membasahi blouse yang aku kenakan.
"Bayarin dulu ya, Sis. Aku mau balik dulu. Aku pusing." kataku sambil berdiri, sempoyongan kesana-kemari dan menubruk tubuh seseorang. Seseorang itu berbalik dan menatapku jengkel ketika segelas minuman yang ia pegang tumpah ke badan seseorang lainnya.
"Maaf kakak!" kataku sambil cengengesan. "Maaf ya."
"Gue anter balik!" timpal Sisca sambil meraih bahuku dan memapahnya.
"Nggak usah, Sis. Aku bisa balik sendiri, kasian tuh gigolomu kamu tinggal, cuma tolong anterin ke parkiran yach. Aku capek banget kayak habis keliling kampung halaman."
Sisca mengembuskan napas sambil berseru, "Dimas, mami tinggal sebentar!"
"Siap, mami Sisca."
Aku memutar bola mataku malas. Sisca-sisca, mentang-mentang punya duit banyak punya simpenan nggak tanggung-tanggung.
"Yakin nggak mau gue anter pulang?"
"Nggak usah, gue ngantuk, tidur bentar ntar juga sadar lagi."
Sisca tidak menjawab, dia menutup pintu mobil ku seraya berlalu.
"Bales dendam, ya, bales dendam! Papi bakal nyesel cerai sama aku!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Reiva Momi
semangat Bella , buat Papi Narendra menyesal 😤
2022-12-11
1
Neee I
❤❤
2022-12-10
0
Cut SNY@"GranyCUT"
Good Bella.. semangat dan jangan mabok2an..
2022-11-18
1