APRIL POINT OF VIEW
Menatap rintikan hujan di luar tidak pernah membuatku bosan. Seakan ada cerita baru di tiap bulir air hujan. Sebuah cerita dari langit.
Berada di tengah-tengah tetesan air hujan, membuat sensasi yang ditimbulkan tidak dapat dijelaskan. Perasaan nyaman, selalu ingin memejamkan mata, membiarkan tetesan itu terjatuh dan membasahi wajah.
Seolah-olah menebarkan semangat dalam jiwa.
Orang berkata, di tiap buliran air hujan terdapat sebuah cerita tentang masa lalu. Kurasa itu benar. Aku selalu teringat pada ayah. Dirinya yang memperkenalkanku pertama kali pada hujan. Dirinya-lah yang membuatku cinta mati pada setiap tetesannya. Dan ayahlah yang mengakhiri hidupnya di bawah tetesan air hujan.
Hujan telah membawa ayah pergi. Hujan telah menjadi saksi air mataku kala itu. Dan hujanlah yang membawaku ke dalam dunia baru tanpa seorang ayah.
Tetapi hujan bertanggung jawab. Karena hujanlah aku bisa kembali tersenyum, menutupi semua kekuranganku dengan senyuman, dan yang terpenting, aku bisa kembali menjadi diriku sendiri. Aku tidak perlu memikirkan bagaimana rasanya jika takdir kita ditukar dengan orang yang lebih baik. Aku merasa, kehidupan yang terbaik itu jika memiliki sebuah kekurangan. Dengan begitu, kita bisa saling melengkapi kekurangan orang lain. Bukankah begitu?
"April?"
Aku terkejut. Seseorang sedang berusaha membawa pikiranku kembali ke tubuh. Memalingkan wajah dari jendela, aku menemukan Reyhan yang sedang berdiri di belakangku.
"Kamu melamun."
Kurasa begitu. Salahkan hujan yang selalu mengambil pikiranku.
"Kedainya sudah tutup. Tadi Maddame berpesan padaku ketika kamu sedang melamun...." Reyhan memberi jeda dalam perkataannya, lalu, cowok itu memasang ekspresi memperagakan Maddame barusan. "Yuhu... Aduhai! Tuh, tuh, lihat! Tiap kali hujan datang, dia selalu melamun. Bingung Maddame harus bilang apa. cukuplah. Maddame mau pulang saja! Kamu jagain April, ya. Pantastik! Bye!"
Aku tertawa terbahak-bahak melihat Reyhan yang cocok sekali menjadi roleplay-nya Maddame.
Reyhan tertawa menyentuh perutnya. Aku tahu menertawai seseorang itu tidak baik, tetapi Maddame benar-benar langka. Apalagi ekspresinya yang tidak bisa biasa jika berbicara. Hahaha.
"Udah yuk, pulang." Reyhan menghapus air mata di sisi kelopaknya.
Tapi di luar sedang hujan. Aku menatap jendela lagi.
"Nggak apa-apa. Katanya kamu suka hujan?" kata Reyhan menggodaku untuk terjun ke bawah derasnya air.
Aku membawa sepeda kayuh. Tidak enak jika harus menuntunnya.
Reyhan memasang senyuman lebarnya. Tanpa perlu kujawab--maksudku, tentu saja tidak akan kujawab perkataannya. Aku kan... tuna wicara--Reyhan segera menarik tanganku untuk keluar dari kedai.
"April, hujaaan!!!" seru Reyhan membawaku ke tengah trotoar.
Hujan!!!
Kakiku bergerak tanpa kehendak. Tanganku melayang di udara mengikuti setiap arah air hujan. Rambutku bergerak sesuai irama angin. Jiwaku menari. Kepalaku menengadah ke atas. Tetesan lembut itu menjatuhi mata, hidung, lalu bibirku.
Mungkin aku tidak bisa berkata, tetapi hujan membantuku untuk bisa berkata. Tangan ini berusaha untuk menyentuh tetesan itu. Namun rasanya hampa. Hujan hanya bisa dirasakan tanpa perlu merasakan.
KRING KRING
Aku membuka mata. Reyhan melambaikan tangannya padaku untuk segera duduk di depan sepeda kayuhku. Reyhan ini ada-ada saja akalnya. Dia membantuku untuk duduk di depannya dan sepeda pun melaju.
Sepeda kayuh ini melaju seperti sedang membelah lautan. Cipratannya seolah mempersilakan kami untuk terus melangkah. Di saat semua orang sedang meneduh dari hujan, hanya kamilah yang berani menantang hujan. Hujan tidak semengerikan itu kok. Coba rasakan berdiri di tengah hujan, pejamkan matamu. Rasakan sensaninya di tiap sentuhan. Aku yakin tidak akan ada kata yang mampu menjelaskan.
"April, suka?" tanya Reyhan yang masih mengayuh sepedaku.
Aku mengangguk sambil merentangkan kedua lenganku. Suka sekali!!! Makasih, Rey. Kamu sudah membuatku menjadi kupu-kupu di bawah air langit.
"Aku tidak bisa menahan senyumanku ketika melihatmu tertawa bersama hujan," bisik Reyhan yang masih cukup terdengar di telingaku.
CIIIT
Sepeda ini berhenti di depan sebuah sungai. Tempat favorit di mana kami sering menghabiskan waktu bersama. Rerumputannya yang hijau, dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sungai yang bersih.
Tempat ini menjadi tempat kami berdua. Tempat Reyhan melukiskan hatinya, dan tempatku untuk memandang birunya langit.
"Mau main kejar-kejaran, Pril?" tanya Reyhan di depanku.
Aku mengangguk cepat. Tawa hening itu sedari tadi terus keluar dari mulutku. Aku tidak ingin hujan cepat berakhir. Aku ingin terus merasakan kebahagiaan. Dan aku ingin mengenal hujan lebih dalam.
Reyhan terus mengejarku di atas rerumputan yang basah. Bunyi gemericik air di atas sungai ikut tersenyum memandang kami. Sepeda kayuh itu, ikut mengawasi ke mana kami pergi.
Larian itu kupercepat. Aku tidak menyadari bahwa permukaan rumput semakin licin. Tepat dua detik kemudian, aku terpeleset.
Aw! Mulutku memekik tanpa suara.
Rasanya lumayan nyeri. Kulihat Reyhan buru-buru mendatangiku dan menyentuh kakiku. Wajahnya yang terpancar dari balik air hujan itu menyiratkan kekhawatiran. Dalam hati aku tersenyum. Jika kau tanya siapa yang paling beruntung di dunia ini, jawabannya adalah aku.
Aku memiliki Reyhan yang selalu ada buatku. Shafira yang siap menjadi teman curhatku. Maddame yang selalu membantuku. Adik dan ibuku... menjadi tempat pulangku. Dan hujan... menjadi saksi atas semua yang aku perbuat.
"April, apa yang sakit?" Reyhan membantuku untuk meluruskan kaki.
Tidak ada. Justru aku sangat bersyukur bisa terpeleset. Itu artinya, hujan memperingatiku untuk tidak mempercepat larianku. Jika aku tetap melanjutkan lariku, mungkin saja aku bisa terjatuh dalam lobang, atau jatuh ke dalam sungai.
Reyhan tersenyum di balik kekhawatirannya. "Ya sudah kalau kamu nggak apa-apa. Kita duduk di sini aja ya. Kamu kedinginan?" tanya Reyhan lagi.
Aku menggeleng. Hujan tidak akan semudah itu untuk membuatku sakit. Kurebahkan badanku di atas hijaunya rerumputan. Tenang, aku tidak begitu berat kok, jadi rumput tidak perlu merasa terbebani, hihihi.
"Hujan itu indah ya, Pril," kata Reyhan yang sudah berebah di sampingku. "Tapi... bagiku melihat tawanya di balik hujan itu jauh lebih indah, Pril," kata Reyhan lagi sambil menatapku.
Apa maksudnya? Apa yang lebih indah dari hujan? Lagi-lagi aku tidak mengerti perkataannya. Ayolah, Rey, jangan berbicara dengan perkataan yang membingungkan. Kamu membuatku pusing.
"Aku jadi ingat ketika mendiang ayahmu berkata seperti ini padaku..." jeda Reyhan membuatku terpaku. Ayah. Bayangan itu kembali lagi di benakku. Segera Reyhan menyambung jedanya. "Sebentar lagi, Om tidak bisa melihat April. Tetapi, Om masih bisa merasakan hujan. Om mohon sama kamu, tolong jaga April, tolong jaga 'hujan'-nya Om, jangan kamu biarkan siapa pun membuat April menangis. Om tidak suka melihat hujan dengan air mata." Reyhan tersenyum padaku setelah mengulang perkataan ayah.
Aku jadi teringat ayah pernah berkata seperti itu padaku. Dirinya tidak membiarkanku untuk menangis di tengah hujan. Tetapi apa faktanya? Ayah sendiri yang membuatku mengeluarkan air mata. Ayah bohong! Dulu Ayah berjanji akan menemaniku bermain hujan lagi. Dulu ayah berjanji akan membelikan aku es krim saat hujan. Dulu Ayah berjanji akan buat aku bahagia ketika hujan. Tetapi apa sekarang? Aku memang merasakan kebahagiaan tiada tara jika bersama hujan, tetapi, dengan adanya Ayah di sampingku, semua akan terasa lebih dari sekadar tiada tara.
Aku merindukanmu, Ayah.
Reyhan mengusap air mataku. Aku melanggar janji. Aku menangis! Ayah akan kecewa padaku! Aku tidak boleh menangis! Aku harus terus tersenyum apa pun keadaannya. Aku ingin ayah bahagia melihatku dari sana.
Untuk yang kedua kalinya, aku kembali menangis, bersama hujan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments