NH 4 - Menangis Bersama Hujan

APRIL POINT OF VIEW

.

.

.

KRING KRING

Aku membuka mata. Reyhan melambaikan tangannya padaku untuk segera duduk di depan sepeda kayuhku. Reyhan ini ada-ada saja akalnya. Dia membantuku untuk duduk di depannya, dan sepeda pun melaju.

Sepeda kayuh ini melaju seperti sedang membelah lautan. Cipratannya seolah mempersilakan kami untuk terus melangkah. Di saat semua orang sedang meneduh dari hujan, hanya kamilah yang berani menantang hujan. Hujan tidak semengerikan itu kok. Coba rasakan berdiri di tengah hujan, pejamkan matamu. Rasakan sensaninya di tiap sentuhan. Aku yakin tidak akan ada kata yang mampu menjelaskan.

"April, suka?" tanya Reyhan yang masih mengayuh sepedaku.

Aku mengangguk sambil merentangkan kedua lenganku. Suka sekali!!! Makasih, Rey. Kamu sudah membuatku menjadi kupu-kupu di bawah air langit.

"Aku tidak bisa menahan senyumanku ketika melihatmu tertawa bersama hujan," bisik Reyhan yang masih cukup terdengar di telingaku.

CIIIT...!

Sepeda ini berhenti di depan sebuah sungai. Tempat favorit di mana kami sering menghabiskan waktu bersama. Rerumputannya yang hijau, dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sungai yang bersih.

Tempat ini menjadi tempat kami berdua. Tempat Reyhan melukiskan hatinya, dan tempatku untuk memandang birunya langit.

"Mau main kejar-kejaran, Pril?" tanya Reyhan di depanku.

Aku mengangguk cepat. Tawa hening itu sedari tadi terus keluar dari mulutku. Aku tidak ingin hujan cepat berakhir. Aku ingin terus merasakan kebahagiaan. Dan aku ingin mengenal hujan lebih dalam.

Reyhan terus mengejarku di atas rerumputan yang basah. Bunyi gemericik air di atas sungai ikut tersenyum memandang kami. Sepeda kayuh itu, ikut mengawasi ke mana kami pergi.

Larian itu kupercepat. Aku tidak menyadari bahwa permukaan rumput semakin licin. Tepat dua detik kemudian, aku terpeleset.

Aw! Mulutku memekik tanpa suara.

Rasanya lumayan nyeri. Kulihat Reyhan buru-buru mendatangiku dan menyentuh kakiku. Wajahnya yang terpancar dari balik air hujan itu menyiratkan kekhawatiran. Dalam hati aku tersenyum. Jika kau tanya siapa yang paling beruntung di dunia ini, jawabannya adalah aku.

Aku memiliki Reyhan yang selalu ada buatku. Shafira yang siap menjadi teman curhatku. Maddame yang selalu membantuku. Adik dan ibuku... menjadi tempat pulangku. Dan hujan... menjadi saksi atas semua yang aku perbuat.

"April, apa yang sakit?" Reyhan membantuku untuk meluruskan kaki.

Tidak ada. Justru aku sangat bersyukur bisa terpeleset. Itu artinya, hujan memperingatiku untuk tidak mempercepat larianku. Jika aku tetap melanjutkan lariku, mungkin saja aku bisa terjatuh dalam lobang, atau jatuh ke dalam sungai.

Reyhan tersenyum di balik kekhawatirannya. "Ya sudah kalau kamu nggak apa-apa. Kita duduk di sini aja ya. Kamu kedinginan?" tanya Reyhan lagi.

Aku menggeleng. Hujan tidak akan semudah itu untuk membuatku sakit. Kurebahkan badanku di atas hijaunya rerumputan. Tenang, aku tidak begitu berat kok, jadi rumput tidak perlu merasa terbebani, hihihi.

"Hujan itu indah ya, Pril," kata Reyhan yang sudah berebah di sampingku. "Tapi... bagiku melihat tawanya di balik hujan itu jauh lebih indah, Pril," kata Reyhan lagi sambil menatapku.

Apa maksudnya? Apa yang lebih indah dari hujan? Lagi-lagi aku tidak mengerti perkataannya. Ayolah, Rey, jangan berbicara dengan perkataan yang membingungkan. Kamu membuatku pusing.

"Aku jadi ingat ketika mendiang ayahmu berkata seperti ini padaku...," jeda Reyhan membuatku terpaku. Ayah. Bayangan itu kembali lagi di benakku. Segera Reyhan menyambung jedanya. "Sebentar lagi, Om tidak bisa melihat April. Tetapi, Om masih bisa merasakan hujan. Om mohon sama kamu, tolong jaga April, tolong jaga 'hujan'-nya Om, jangan kamu biarkan siapa pun membuat April menangis. Om tidak suka melihat hujan dengan air mata." Reyhan tersenyum padaku setelah mengulang perkataan ayah.

Aku jadi teringat ayah pernah berkata seperti itu padaku. Dirinya tidak membiarkanku untuk menangis di tengah hujan. Tetapi apa faktanya? Ayah sendiri yang membuatku mengeluarkan air mata. Ayah bohong! Dulu Ayah berjanji akan menemaniku bermain hujan lagi. Dulu ayah berjanji akan membelikan aku es krim saat hujan. Dulu Ayah berjanji akan buat aku bahagia ketika hujan. Tetapi apa sekarang? Aku memang merasakan kebahagiaan tiada tara jika bersama hujan, tetapi, dengan adanya Ayah di sampingku, semua akan terasa lebih dari sekadar tiada tara.

Aku merindukanmu, Ayah.

Reyhan mengusap air mataku. Aku melanggar janji. Aku menangis! Ayah akan kecewa padaku! Aku tidak boleh menangis! Aku harus terus tersenyum apa pun keadaannya. Aku ingin ayah bahagia melihatku dari sana.

Untuk yang kedua kalinya, aku kembali menangis, bersama hujan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!